Adapun permasalahan terkait pembuktian terbalik ini, dalam hal terkait dengan jenis korupsi menerima suap gratifikasi pada Pasal 12B adalah suatu jenis tindak pidana suap pasif. Cara merumuskan tindak pidana korupsi suap gratifikasi ini tidak lazim.
Dalam rumusannya tampak seolah-olah subjek hukumnya adalah si penyuap, tetapi sesungguhnya bukan.
Alasannya ialah oleh Pasal 12B tidak diberikan ancaman pidana pada pemberi suap gratifikasi. Justru yang diancam pidana pada ayat (2) adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi.
Oleh karena itu rumusan suap gratifikasi bukan ditujukan pada subjek hukum pemberi suap, tetapi ditujukan pada penerima suap/menerima gratifikasi. Ancaman pidananya jelas ditujukan pada pegawai negeri.
Pasal 12B ayat (1) merumuskan secara sumir tentang sistem pembebanan pembuktian terbalik. Ketentuan pasal ini juga menerangkan hal syarat mengenai jumlah (rupiah) menerima suap gratifikasi yang beban pembuktiannya pada terdakwa.
Sedangkan selebihnya tidak cukup membuat terang setidak-tidaknya tentang bagaimana prosedur atau cara terdakwa dalam mebuktikan dan syarat-syarat (standar) yang harus ada untuk dapat dinyatakan terdakwa berhasil membuktikan dan tidak berhasil membuktikan.
Baca juga: Lagi, Polisi Berulah tak Senonoh, Tulis "Sarang Korupsi” dan “Sarang Pungli” di Dinding Mako Polres
Apabila tidak diatur lain, pembuktian harus sesuai dengan KUHAP. Artinya masalah seperti di atas, sepanjang tidak jelas dalam UU Tindak Pidana Korupsi, maka kembali pada KUHAP. Apabila dalam hubungannya dengan KUHAP belum terang juga, maka diserahkan pada praktik hukum melalui penemuan hukum.
Membuktikan kesalahan terdakwa adalah membuktikan adanya hubungan batin (subjektif) terdakwa dengan terwujudnya tindak pidana yang didakwakan.
Oleh karena itu pada tahap akhir pembuktian terhadap dua objek yang berbeda (yang satu objek kekayaan yakni sumbernya dan yang lain mengenai unsur-unsur tindak pidananya) dengan sistem beban pembuktian yang berbeda.
Dengan begitu, bisa saja menghasilkan sesuatu yang berbeda. Apabila perbedaan hasil pembuktian, misalnya terdakwa berhasil membuktikan sumber kekayaanya (yang belum didakwakan) adalah sumber yang halal, tidak ada masalah meskipun perkara pokoknya terbukti dan terdakwa dipidana karena perbuatannya itu.
Sebaliknya akan menjadi masalah hukum, apabila disatu pihak terdakwa tidak berhasil membuktikan sumber kekayaan misalnya sebuah deposito 12 miliar rupiah, tetapi dilain pihak Jaksa juga tidak berhasil membuktikan misalnya dakwaan menggelapkan uang negara (Pasal 8 UUTPK).
Perbedaan hasil pembuktian tersebut menimbulkan akibat hukum yang ganjil. Deposito Rp 12 miliar bisa dirampas untuk negara, tetapi dibebaskan dari perkara pokok Pasal 8 karena tidak terbukti.
Keganjilan itu bisa terjadi dikarenakan pembuktian Pasal 8 adalah membuktikan semua unsur-unsurnya.
Sedangkan membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah tentang sumber (yang halal) dari mana diperoleh deposito Rp 12 miliar tersebut.
Baca juga: TERUNGKAP Sosok Christian Rudolf Tobing Pembunuh Wanita Dalam Plastik, Pernah Jadi Pendeta Muda
Walaupun dengan adanya ketentuan Pasal 38B ayat (6) hal perampasan barang tidak boleh dilakukan. Namun masalah tersebut tidak bisa dijawab dengan hanya tidak menjatuhkan pidana perampasan barang.