Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (XIV) - Van Heustz: Transformasi Kapitalisme dan Oligarki Kolonial

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahmad Humam Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (Foto Maret 2022).

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

BANYAK pemerhati perang dan penjajahan kolonial Belanda di Aceh sering terperangkap melihat Aceh pada periode itu hanya dari persoalan perang semata.

Mungkin sebagian abai, bahwa tujuan penjajahan dimanapun di dunia, termasuk di Aceh, lebih didasari kepada eksploitasi ekonomi, dengan menghalalkan berbagai cara.

Dalam perjalanan sejarah penjajahan, persoalan keadilan, kewajaran, dan berbagai perangkat lainnya yang secara substansial berurusan dengan moral, tidaklah menjadi perhatian.

Hal ini tentu saja sangat beralasan, karena logika moral sama sekali tidak bisa dipertemukan dengan logika penjajahan yang secara hakekatnya ibarat minyak dengan air yang tak pernah bisa dipersatukan.

Apa yang menarik dengan Van Heustz selama ia memerintah Aceh 1898-1904, adalah soal kemampuanya menciptakan suasana Aceh lebih aman dan  “lebih dapat diperintah” dari  masa sebelumnya.

Bahwa kemampuan itu dibangun atas dasar pembunuhan rakyat nonkombatan dan bumi hangus, bagi Kerajaan Belanda, itu tak lebih dari produk sampingan yang dimaknai dengan logika penjajahan tersendiri.

Terlepas dari segala sepak terjang dan kebijakan Van Heustz yang tak beradab, ia adalah seorang Gubernur Militer yang mempunyai wawasan ekonomi dan pembangunan yang mumpuni.

Ia meletakkan dasar-dasar ekonomi moderen di Aceh yang menjadi fondasi penting perkembangan dan pembangunan Aceh, tidak hanya pada masanya, namun jauh melintasi zaman, sampai hari ini.

Kemampuannya membangun ekonomi Aceh memberikan gambaran yang lebih konkrit bagi Kementerian Urusan Penjajahan Belanda yang mempunyai catatan khusus untuknya.

Van Heustz seolah mempunyai formula tentang bagaimana mengelola ekonomi dan pembangunan di daerah kawasan konflik dan perang yang tak pernah selesai seperti Aceh.

Apa yang dilakukan oleh Van Heustz ketika ia menjabat Gubernur pada hahekatnya lebih merupakan jawaban terhadap sebuah arus besar ekonomi global yang sedang bertransformasi dengan sangat deras dari  sistem kapitalisme merkantilis, ke sebuah fase baru, sistem kapitalisme modern yang mempunyai bentuk dan ciri yang sangat berbeda.

Ketika Marx dan Engels menulis The Comunist Manifesto pada tahun 1848, mereka meramalkan kapitalisme modern yang telah mulai tumbuh pada awal abad ke 19, akan menyebar ke seluruh dunia pada penghujung abad itu, dan akan terus merasuk ke berbagai pelosok Asia dan Afrika pada awal abad ke 20 dan seterusnya.

Ada sejumlah ciri menonjol dari sistem kapitalis moderen dimana peran kuat swasta yang memiliki tanah, pabrik, sistem komunikasi, dan transportasi.

Sistem ini didominasi oleh sekelompok kecil kelas yang menginvestasikan uang atau modal dan seringkali berasosiasi dengan pasar modal.

Sebelum terjadi transisi, wajah ekonomi Eropa dan dunia sangat diwarnai oleh kapitalisme merkantilis yang sesuai dengan namanya, lebih berasosiasi dengan perdagangan internasional, kontrol dan regulasi ketat dari pemerintah, kerja paksa, proteksionis, dan monopolistik.

Dua ikon besar kapitalisme merkantilis adalah VOC di Indonesia, dan London East India Company di India, serta jajahan Inggris di Afrika.

Apa yang baru dengan sistem kapitalis moderen, atau disebut juga dengan kapitalis industri adalah minimnya keterlibatan pemerintah, dominannya aktor nonnegara dalam kepemilikan modal, kegiatan perdagangan, dan industri.

Promosi kebebasan individu adalah bawaan penting dari spesies baru kapitalisme moderen, yang semuanya menyatu dengan modernisasi sosial ekonomi, kemajuan teknologi, serta kemajuan hukum ekonomi.

Revolusi industri Eropa yang terjadi pada abad ke 18, telah melahirkan anaknya-kapitalis modern- yang sedang tumbuh remaja dan menanjak dewasa.

Itulah pekerjaan penting Van Heustz di Aceh, memastikan Aceh menjadi bagian penting dari sistem baru itu.

Baca juga: 5 Peninggalan Sejarah Kerajaan Samudera Pasai yang Harus Diketahui, Apa Saja?

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?

Capaian Penting Van Heustz

Penetrasi kapitalisme moderen di Indonesia, dimungkinkan dengan dimulainya periode liberalisasi ekonomi Belanda yang terjadi selama tiga dekade sebelum akhir abad ke 19, dan Van Heustz menjadi aktor penting dari proses bersejarah itu.

Komponen-komponen penting ekonomi modern yang berlanjut setelah kemerdekaan Indonesia di Aceh, sangat terkait dengan nama Van Heustz.

Jalan kereta api, pelabuhan Ulelheue, Pelabuhan Sabang, Pelabuhan Langsa, perkebunan swasta karet di Tamiang dan Aceh Timur, dan pertambangan minyak bumi di Tamiang dan Peureulak  adalah sejumlah capaian penting Van Heustz.

Wajah ekonomi Aceh selama lebih dari empat ratus tahun sebelumnya  tergantung kepada pada sistem kapitalis merkantilis, dimana perdagangan internasional berikut dengan menonjolnya monopoli, dan intervensi kerajaan merupakan ciri utama, berangsur mulai pudar.

Menyambut datangnya kapitalis moderen, Van Heustz memberi perhatian besar pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas, baik internal -kereta api, maupun eksternal-pelabuhan dalam kaitannya dengan lalu lintas perdagangan global.

Pembangunan jalan kereta api  Atjeh Tram atau ASS -Atjeh Staatspoorwegen yang dimulai pada 1874 yang menghubungkan Banda Aceh dengan Ulelheue, oleh Van Heustz dilanjutkan dengan menjangkau seluruh wilayah pantai timur, mulai dari Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur.

Van Heustz menggagas pembangunan jalan kereta api di Langsa yang siap pada tahun 1906.

Langsa dapat disebutkan menjadi tipikal kota moderen industrial pertama di Aceh, dimana kereta api menghubungkan daerah pedesaan, pusat kota, dan pelabuhan Langsa.

Setahun sebelumnya, di kota Langsa juga dibangun kantor Pos yang mempercepat arus informasi.

Van Heustz dengan cepat menggantikan pelabuhan tradisional Idi dan Bireum Rayeuk dengan pelabuhan Langsa yang disiapkan bersamaan dengan mulai lancarnya transportasi ke pelabuhan itu pada tahun 1907, ketika Van Heustz  dilantik menjadi  Gubernur Jenderal di Jakarta.

Visi Van Heustz untuk melayani arus besar kapitalisme moderen kemudian terbukti pada tahun-tahun berikutnya ketika karet, kelapa sawit, minyakbumi,-yang sepenuhnya merupakan swasta asing diekspor melalui pelabuhan Langsa.

Rakyat Aceh Timur juga diuntungkan dengan kehadiran pelabuhan Langsa, dimana komoditi mereka seperti pinang dan kopra diekspor lewat pelabuhan itu.

Hanya dalam tempo dua tahun setelah Van Heustz berhenti menjadi Gubernur Militer Aceh, dan menjadi Gubernur Hindia Belanda, pelabuhan Langsa yang ia gagas telah melayani 36 kapal dalam sebulan, baik pelayaran domestik, dan utamanya luar negeri-Pulau Penang.

Apa yang dikerjakan oleh Van Heustz adalah memfasilitasi beroperasinya sebagian besar perusahaan yang berafiliasi dengan lembaga keuangan internasional.

Dua wajah ekonomi baru di Aceh pada masa Van Heustz adalah perkebunan karet, dan pertambangan minyak bumi yang terkait dengan dua entitas yang terlibat dalam kegiatan produksi kedua komoditi itu.

Pertama adalah kapitalis pemilik uang yang memberikan pinjaman, dan yang kedua adalah kapitalis industri yang mengkombinasikan pinjaman uang, teknologi, manajemen, dan konsesi hak pengusahaan yang didapatkan dari pemerintah kolonial.

Aceh Timur mendapat perhatian khusus dari Van Heustz sebagai ajang percobaan pasifikasi akibat perang yang mempunyai kelebihan tersendiri, terutama dalam menarik penanaman modal asing.

Letak Aceh Timur yang berbatasan dengan wilayah Sumatera Utara, luas lahan yang secara agroklimat sangat cocok untuk karet dan kelapa sawit, keamanan yang relatif lebih baik dari kawasan lain di Aceh, dan ditemukannya sejumlah potensi minyak bumi adalah modal besar yang dimiliki wilayah itu.

Apa yang diperlukan, dan itu yang dikerjakan van Heustz adalah membuat dan memperkuat sarana transportasi yang mempercepat mobilitas manusia, komoditi, dan berbagai barang lainya.

Van Heustz memberi perhatian khusus kepada pertambangan minyak bumi di kawasan Aceh Timur.

Sekalipun sumur minyak di Rantau Panjang Peureulak telah mulai dieksploitasi pada tahun 1875,  upaya eksplorasi besar-besaran baru dimulai ketika Van Heustz memerintah Aceh.

Tidak kurang 21 izin eksplorasi diberikan oleh Van Heutsz antara tahun 1902-1903 untuk seluruh Aceh, dan lima diantaranya dilanjutkan dengan pengeboran- Langsa, Peudada, Idi, Julok Rayeuk dan Cunda (Carmejole, 1931).

Ia juga menindak tegas perusahaan yang telah mendapat izin, namun tak melakukan kegiatan apapun.

Pada tahun 1899 ia mencabut izin penelitian perusahaan PMSR-Petroleum Maatschappij Sungai Raja -, karena perusahaan yang telah mendapat izin itu belum melakukan penelitian.

Van Heustz mempunyai pandangan tersendiri dalam hal pembangunan ekonomi Aceh untuk mempercepat pasifikasi dan pemulihan keamanan.

Ia bahkan seolah mempunyai “politik ekonomi” Aceh yang unik yang kemudian berbenturan dengan kepentingan oligarki minyak yang menguasai perpolitikan Belanda.

Kali ini ketegasan Van Heustz berhadapan dengan KMEPNI-Koninklijke Maatschappij tot Exploitatie van Petroleum- bronnen in Nederlandsch-Indië,- atau tepatnya Maskapai Kerajaan untuk Eksploatasi Sumber-Sumber Minyak Tanah di Hindia Belanda.

Seperti ditulis oleh van’t Veer (1973) Koninklijke yang memperoleh  berkah minyak di Langkat dan  memberikan devidennya 46,5 persen kepada pemegang saham  pada tahun 1896, tiba-tiba sumurnya menjadi kering.

Sementara itu perusahaan ini tidak mempunyai sumur cadangan.

Itu artinya perusahaan ini akan segera anjlok harganya di pasar saham, dan itu artinya kiamat bagi pemiliknya.

Pada tahun itu juga Koninklijke mengakusisi sumur minyak milik Holland-Perlak Petroleum Maatschappij yang belum berproduksi, karena kawasan Peureulak memang masih dilanda perlawanan rakyat melawan Belanda dan penyeludupan hebat.

Adalah seorang tokoh perlawanan di kawasan Idi dan Peureulak, Teungku Tapa yang membuat investor pertambangan minyak bumi tak mungkin melakukan eskplorasi, apalagi eksploitasi.

Padahal berita yang berkembang di Batavia dan Amsterdam menyebutkan di kawasan Rantau Panjang, minyak bumi bahkan muncrat keluar dari permukaan tanah.

Dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin sendiri oleh Van Heustz pada 1898, dengan satu divisi marsose, dan satu batalyon infantri, dari Pidie ia bergerak menyusuri Aceh Utara dan Aceh Timur.

Ia segera mengamankan Idi, dan kemudian menggempur Teungku Tapa yang selanjutya menyingkir dari Peureulak ke tempat lain.

Van Heustz kini punya alasan menyalahkan hulubalang Peurelak, karena bersekongkol dengan Teungku Tapa.

Hulubalang Peureulak oleh Van Heustz diwajibkan membayar denda 150.000 dolar, dan di Pereulak kemudian ditempatkan pasukan Belanda.

Denda itu kemudian dibayar oleh Hulubalang Peureulak ketika dimulainya eskploitasi minyak bumi di wilayahnya.

Tak berlebihan kemudian, ia menjadi hulubalang terkaya di Aceh, karena pendapatan dari minyak bumi.

Koninklijke yang nyaris bangkrut mendapat izin eksploitasi şumur Rantau Panjang Peureuak dari Van Heustz pada akhir tahun 1899, dan hanya dalam tempo tujuh hari pengeborannya berhasil menemukan sumur minyak yang melimpah.

Koninklijke tidak hanya selamat, tetapi sahamnya di bursa segera meroket.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos?

Aceh Tak Layak Dikorbankan

Ketika haru biru berita gembira itu melanda Batavia dan Amsterdam, Van Heustz berpikir lain.

Ia menerawang, berpikir apa manfaat hasil minyak bumi yang melimpah itu untuk Aceh?

Van Heustz tahu Koninklijke mempunyai kilang refinary-penyulingan minyak di Pangkalan Berandan, Sumatera Timur, dan perusahan itu ingin mengalirkan minyaknya melalui pipa dari Peureulak ke Pangkalan Berandan untuk pengolahan selanjutya.

Ia tidak setuju.

Ia berprinsip Aceh harus mempunyai basis ekonomi yang kuat, dan itu artinya industri-seperti pengolahan minyak, dan perkebunan Eropa mesti beroperasi di Aceh.

Ia tidak hanya berargumen dengan pihak Koninklijke, tetapi juga menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang keberatan itu.

Ia berpandanganAceh akan rugi besar kalau hasil minyaknya dibiarkan untuk diolah di tempat lain.

Dalam memori kepada Gubernur Jenderal, Van Heustz menulis Aceh tidak layak dikorbankan demi keuntungan besar sebuah perusahaan swasta.

Ia bahkan dengan tegas menyebutkan ia tidak mau berurusan dengan menjaga kepentingan-kepentingan yang tak biasa dari maskapai besar.

Van Heustz boleh saja hebat dalam berperang, dan sampai tingkat tertentu dalam pemerintahan.

Tetapi yang dia hadapi kali ini tidak biasa, koalisi politisi dan korporasi.

Dalam hal koneksi ke pusat kekuasaan Koninklijke bukanlah perusahaan kaleng-kaleng.

Manager lapangannya adalah Hugo Loudon, putera Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang membuat keputusan memerangi Aceh pada tahun 1873.

Loudon diketahui mempunyai kemenakan yang kebetulan menjabat sebagai kepala perundang-undangan Kementerian Wilayah Jajahan.

Tidak cukup dengan Hugo Laoudon, Koninklijke juga punya koneksi kuat di Den Haag dan Batavia.

Dua orang komisarisnya adalah bekas orang kuat Belanda yakni Van der Wijck, bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan ahli keuangan sekaligus mantan Menteri Jajahan, Sprenger van Eyk.

Oligarki itu bertambah kuat dengan dipegangnya jabatan Menteri Jajahan oleh bekas kampiun kolonial di Deli yang sangat memihak korporasi J.T Cremer, yang serta merta menyetujui proposal Loudon dan Koninklijke.

Van Heustz akhirnya kalah, dan terpaksa mengizinkan minyak Rantau Panjang Peureulak dialirkan untuk penyulingan sekalgus pemberian nilai tambah melalui pipa ke Pangkalan Berandan, di Sumatera Timur.

Van Heuszt mempunyai banyak wajah di Aceh.

Ia pembunuh dan pembantai paling keji di Aceh.

Ia adalah Gubenur Militer pertama yang mampu mengurangi api perlawanan sehingga investasi dapat berjalan dengan baik.

Ia juga pencipta perjanjian pendek -Korte Verklaring yang memaksa penguasa lokal mengakui wilayahnya sebagai bagian dari Pax Nederlandica. 

Wajah Van Heustz yang lain adalah tentang komitmen dan realisasi yang dilakukannya terhadap konektivitas, infratstruktur, dan investasi modal asing.

Sekalipun dalam konteks penjajahan kolonial, apa yang ingin dilakukan Van Heustz adalah mempercepat Aceh masuk kedalam integrasi ekonomi global yang pada waktu itu sedang dimotori oleh kapitalisme industri.

Komitmen itu terbukti ketika ia melawan Batavia dan Den Haag yang membiarkan korporasi minyak bumi Koninklijke memberi nilai tambah minyak Rantau Panjang Peureulak bukan di Aceh, melainkan di Pangkalan Berandan, Sumatera Timur.

Ia mengimpikan Aceh mempunyai basis ekonomi tersendiri yang salah satunya adalah berbasis industri sumber daya alam yang dimilikinya.

Dan salah satu mesin besar yang mampu melakukan itu adalah penanaman modal asing.

Sayang ia kalah dengan oligarki minyak Belanda pada masa itu.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkini