Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh XII - Pokir dan Cerita Pertemuan di Pesawat Domestik tak Berjadwal

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Oleh Ahmad Humam Hamid*)
 
PUBLIK Aceh dalam dua bulan terakhir disibukkan dengan peristiwa penangkapan Ayah Merin dan pemanggilan mantan gubernur Irwandi sebagai saksi untuk kasus pembangunan  dermaga Sabang tahun 2008-2011.
 
Energi publik daerah sepertinya lumayan terkuras, ketika nama Merin dan Irwandi bersambungan dengan kata gratifikasi.
 
Walaupun Irwandi sudah diputus bebas untuk kasus itu pada pengadilan 2018, karena dugaan jumlah 32.4 miliar rupiah tetap digemakan kembali oleh KPK.
 
Ronde terbaru kali ini ditempuh dengan rute dugaan terbaru via Merin, dan publik Aceh kembali goncang.
 
Sebagian bahkan sudah pesimis, bahwa Irwandi akan dituntut, dan penjara kembali siap menantinya.
 
Irwandi seolah sudah pasti akan menjalani KPK Sukamiskin jilid II.
 
Disebalik Merin dan  irwandi, sebagian publik Aceh juga sangat gembira, karena terbongkarnya praktek “pokir” DPRA yang telah berjalan bertahun-tahun.
 
DPRA tergambar jelas selama ini telah memperdayakan rakyat.
 
Dengan alasan aspirasi rakyat, mereka membagi-bagi dana pembangunan, sambil berbisik-bisik, dan menganggap rakyat sebagai orang orang bodoh yang bisa  ditipu selama-lamanya.
 
Begitu derasnya kutukan kepada DPRA, seolah mereka sendirilah yang salah, dan gubernur Marzuki seolah orang yang tak berdosa sama sekali.
 
Alih alih mendapat kutukan publik, sang gubernur bahkan seolah mendapat apreasiasi yang sepertinya telah membongkar sebuah persekongkolan jahat yang luar biasa.
 
Padahal pada hakekatnya, ia sendiri bersama ketua DPRA, Pon Yahya, adalah  imam dari  jemaah “pokir” itu, kadang begantian, dan tak jarang pula “kolektif”.
 
Tanpa negosiasi antara DPRA dan Gubernur, mustahil praktek “pokir" itu akan terjadi.
 
Sebagian kampus dan para pegiat anti korupsi yang selama ini sibuk mengurus dan ingin Ayah Merin dan Irwandi  segera di Sumamiskinkan, seolah hilang tajinya.
 
Tak jelas apakah mereka “takut” atau “takjub” dengan gubernur Marzuki, karena telah berhasil membongkar kasus Pokir.
 
Luar biasa memang.
 
Yang paling hebat, ketika ketua KPK, Firli Bahuri datang ke Aceh, memberi kuliah di UIN dan ceramah pada acara sebuah partai lokal, tak ada yang mempersoalkan gubernur Marzuki dan Ketua DPRA yang mensponsori pokir Aceh itu.
 
Pada waktu senggangpun, sebelum Firli kembali ke Jakarta juga tak ada yang mempersoalkannya.
 
Tak ada juga ada sedikitpun pertanyaan tentang gratifikasi layanan private Jet-gubernur Marzuki dari Bakrie Group pada bulan Desember 2022.
 
Kesimpulan sementara dari kedaan terakhir ini semakin membuktikan ada semacam kondisi baru yang sedang  dialami oleh mereka yang rajin “mensyiarkan” anti korupsi akhir-akhir ini terhadap tersangka “aktor lokal”.
 
Mereka hebat dan “garang” ketika berhadapan dengan tokoh kelas ringan  seperti Merin, atau Irwandi yang dianggap tajinya sudah patah.
 
Sebaliknya mereka  menjadi ragu, atau jangan-jangan takut, walau hanya bertanya, ketika sampai pada dugaan kasus  korupsi via pokir atau gratifikasi yang terkait dengan Marzuki.
 
Ketika bersuara tentang Merin dan Irwandi, seolah mereka menjadi “manok agam” luar biasa.  Tetapi sebaliknya, mereka segera berobah posisinya menjadi “ayam sayur” ketika sampai pada kasus pokir Marzuki dan DPRA, berikut gratifikasi private jet Bakrie Group terhadap sang gubernur.
 
Menggunakan narasi pembicaran “gampong” di Aceh, persoalan pokir DPRA, bahkan hampir semua DPRK yang ada di Aceh, tak lebih  seperti cerita “ureung lhen” -orang telanjang-.
 
Yang dimaksud adalah, publik tahu namun tak pernah melihat orang telanjang.
 
Yang terjadi sesungguhnya, anggota legislatif itu ketika membahas APBA tahunan, ibarat sekelompok orang yang telanjang dan berkumpul dalam suatu ruangan yang tertutup rapat, siang dan malam.
 
Hanya beberapa orang saja yang sempat melihat mereka telanjang dalam ruangan itu, terutama mereka yang mengantar makanan dan minuman pada waktu-waktu tertentu.
 
Dari merekalah cerita “orang telanjang” itu berkembang ke publik selama bertahun-tahun.
 
Apakah pihak eksekutif tidak ikut telanjang dalam ruangan itu?
 
Pasti mereka juga ikut telanjang, karena tak mungkin satu pihak telanjang, yang lainnya tak telanjang dalam membahas tanggung jawab bersama, apalagi bila memang benar dikaitkan dengan kepentingan bersama.
 
Peristiwa terbongkarnya “pokir" DPRA  kali ini, sebenarnya sangat sederhana.
 
Eksekutif, dalam hal ini, pejabat gubernur masuk kde dalam gedung, sambil bertelanjang.
 
Segera setelah itu ia membuka pintu dan jendela kepada publik selebar-lebarnya dengan sengaja.
 
Publik kemudian melihat kejadian telanjang massal itu dengan terang benderang
 
Uniknya pejabat gubernur cepat menggunakan celana dalam, sehingga ia tidak sangat telanjang.
 
Yang nampak sangat telanjang kemudian adalah pimpinan DPRA berikut para anggotanya.
 
Namun yang pasti, kini publik tahu, semua yang berurusan dengan “pokir”, dari gubernur, pimpinan DPRA, dan para anggotanya, semua telanjang.
 
Kejadian itu paling kurang memberikan dua indikasi sangat buruk terhadap kepemimpinan Ahmad Marzuki.
 
Pertama,apapun alasannya, ia dengan sengaja telah bersekongkol, bukan tidak mungkin mensponsori, dengan legislatif dalam perencanaan anggaran yang berbau penyalahgunaan kekuasaan.
 
Ia bukan tidak mungkin juga telah mendorong para pimpinan DPRA untuk mengalokasikan jumlah dana pokir yang tidak biasa -ketua DPRA Pon Yahya, 135 milliar rupiah, dibandingkan  dengan tahun-tahun sebelumnya.

Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh X - Tampok, Tumpok, dan Ca…

Marzuki tidak hanya telah mempermalukan pemerintah pusat yang “mengirimnya” untuk memimpin Aceh selama satu tahun.
 
Ia juga telah mempermalukan lembaga yang berasosiasi dengan dirinya, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri.
 
Lebih dari itu ia telah mempermalukan berbagai lembaga lain yang berasosiasi dengan dirinya dalam perjalanan karirnya.
 
Sejumlah orang yang meyakinkan presiden Jokowi untuk mengangkat Marzuki sebagai petinggi Aceh, seharusnya juga merasa dipermalukan.
 
Presiden Jokowi sendiri harusnya juga merasa sangat malu, karena telah mengirim orang yang salah ke “daerah akut” yang diketahui oleh presiden berkonotasi buruk dengan “good governance”-pemerintahan yang baik.
 
Presiden tidak hanya malu, tetapi juga seharusnya merasa sangat bersalah, karena telah menunjuk seseorang yang  salah.
 
Seharusnya pilihan presiden akan menjadi contoh yang akan diikuti oleh gubernur Aceh terpilih pada Pilkada 2024 yang akan datang.
 
Ini akan menjadi “tinta hitam” warisan presiden Jokowi untuk rakyat Aceh, sebelum ia lengser sebagai presiden tahun depan.
 
Kedua, gubernur Marzuki secara sangat terencana dan sistematis juga telah mengumumkan kepada publik, bahkan  publik nasional betapa bodoh dan dungunya anggota DPRA.
 
Uniknya, bukan tidak mungkin ia merasa tak bersalah, seolah ia sendiri telah menjadi pahlawan dengan bocornya “pokir” itu.
 
Walaupun secara hukum hal itu sama sekali tak dapat diterima, dan jika terbukti harus dihukum, namun secara kultural bagi rakyat Aceh kasus ini sangat pahit sekaligus menyakitkan.
 
Kasus terbongkarnya “pokir” DPRA adalah pengumuman gubernur Marzuki kepada publik nasional  tentang status “aceh bangai”,-bodoh, dan “ jeut dipubangai”-bisa dibodohi, yang dalam hal ini diwakili oleh DPRA.
 
Inilah salah satu contoh konkrit “dipermalukan.”
 
Apakah layak kata “gratifikasi” dikaitkan dengan nama pejabat gubernur Ahmad Marzuki?
 
Sebenarnya belum sangat layak, karena Marzuki baru saja menjabat sekitar 9 bulan.
 
Namun, karena ada beberapa indikasi yang belum jelas, tidak jelas, dan tak dijelaskan, maka kata gratifikasi untuk Marzuki patut dipertanyakan.
 
Persoalannya sangat sederhana.
 
Menurut sejumlah foto dan beberapa pemberitaan yang tidak pernah dibantah oleh gubernur Marzuki, pada tanggal 31 Desember 2022, kira kira pukul 16:12 WIB, ia menumpang pesawat jet pribadi terdaftar PK-TWY type Gulfstream IV-SP, No Penerbangan: PKTWY
 
Pesawat jet itu adalah milik PT. Transwisata Prima Aviation, dan terdaftar sebagai pesawat domestik tidak berjadwal (Domestic Unschedule Flight).
 
Pesawat yang ditumpangi itu berangkat menuju Jakarta.
 
Pesawat dengan crew empat orang itu membawa beberapa penumpang yang di dalam manifest, salah satunya disebutkan bernama Indra Usmansyah Bakrie dan sejumlah penumpang lain.
 
Bersama Indra terdapat 7 orang penumpang lain, termasuk Ahmad Marzuki.
 
Sebenarnya, persoalan seseorang menjadi penumpang jet pribadi tidak menjadi masalah sama sekali.
 
Marzuki sebagai penumpang jet pribadi menjadi masalah karena ada status yang melekat padanya, sebagai Pejabat Gubernur Aceh.
 
Bahkan tanpa pertemuan pun, karena pada Marzuki melekat jabatan penyelengara negara-pejabat gubernur Aceh, maka baginya itu menjadi masalah.
 
Statusnya sebagai penyelenggara negara yang menumpang jet pribadi menjadi masalah besar, dan bahkan sangat serius, berdasarkan penjelasan pasal 5 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi.
 
Indra Usmansyah Bakrie adalah pengusaha yang namanya terkait dengan Bakrie Group, yang saat ini mempunyai urusan migas dan pertambangan emas.
 
Untuk kedua urusan itu Bakrie Group mempunyai masalah, baik dengan pemerintah daerah maupun dengan rakyat Aceh.
 
Salah satu anak perusahaan Bakri Group PT EMP  Aceh adalah mitra BUMD Aceh, PT Pema Global Energi yang mengelola blok B di Aceh Utara.
 
Kawasan itu adalah eks ladang perusahan multinasional Exxon Mobil yang sempat dikelola beberapa tahun oleh PT Pertamina Hulu Energi.
 
Ada urutan kejadian yang membuka ruang pertanyaan besar terhadap kerjasama blok B, yang bahkan berpeluang masuknya KPK, yang dilakukan oleh BUMD Aceh dengan anak perusahaan Bakrie itu.
 
Sekalipun hal itu terjadi dan dimulai pada pemerintahan sebelum Marzuki menjabat gubernur, namun ada kesinambungan yang mesti diproses dan diselesaikan oleh Marzuki, untuk memastikan kerjasama itu legal dan berlanjut.
 
Disamping itu juga ditengarai sedang terjadi pengurusan dan penyelesaian izin usaha pertambangan PT. Linge Mineral Resources, dimana Bakrie Group juga mempunyai saham di dalam perusahaan itu.
 
Izin PT. Linge Mineral Resources kini berada dalam status “bermasalah” karena bertentangan dengan ketentuan UUPA/11/ 2006 tentang kewenangan Aceh dalam pertambangan batu bara dan mineral.
 
Ada sejumlah “akrobat” hukum yang dibuat dengan sengaja dan sistematis oleh lembaga pemerintah pusat, terutama kementrian ESDM dan Badan Kordinasi Penanaman Modal yang intinya mencabut kewenangan yang telah ditetapkan dalam UUPA/11/2006 itu.
 
Ini adalah sebuah persoalan besar dalam perjalanan sejarah perdamaian Aceh.
 
Gratifikasi yang dberikan Bakrie Group kepada Ahmad Marzuki  dipermukaan memang nampaknya sangat sederhana.
 
Itu  tak lebih penerbangan Banda Aceh - Jakarta, selama kurang dari tiga jam yang nilai rupiahnya mungkin tidaklah sangat besar.
 
Akan tetapi karena Bakrie Group sedang memperjuangkan kepentingannya untuk kedua kasus itu, kita tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi yang bukan di “permukaan”.
 
Ketika hari ini kasus korupsi/gratifikasi Gubernur Papua Lukas Enembe ditulis dan diberitakan di berbagai media, disamping berbagai bukti lain, ada banyak cerita yang tersambung dengan gratifikasi tumpangan jet pribadi perusahaan swasta.
 
Tidak hanya Lukas Enembe, ada beberapa pejabat lain di berbagai tempat dan tingkatan, yang juga terkait dengan layanan penerbangan Jet pribadi yang diberikan, yang seringkali menjadi kunci pembuka dari berbagai kasus korupsi KPK.
 
Apakah gratifikasi yang diterima Marzuki dapat menjadi pintu masuk untuk perkara besar yang akan menyusul?
 
Hanya Marzuki yang tahu, dan mungkin lembaga yang berurusan dengan perkara itu yang tahu.
 
Itupun jika mereka mau tahu.
 
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
 
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
 
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
 

Berita Terkini