Jurnalisme Warga

Punggahan, Tradisi Menyambut Ramadhan di Langkat

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

RISMA, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik Kampus UBBG Banda Aceh, melaporkan dari Langkat, Sumatera Utara

Contohnya seperti di kota tempat saya tinggal, Kabupaten Langkat, tepatnya di desa Suka Mulia. Di sini tradisi Punggahan berbeda-beda di setiap kecamatan, bahkan antarlorong atau RT/RW juga berbeda. Di lingkungan tempat tinggal saya mayoritas penduduknya suku Jawa dan Melayu. Di sini tradisi Punggahan ada yang dilakukan di rumah dan di masjid, tetapi lebih sering dilakukan di masjid. Setiap tahunnya di desa saya selalu dilangsungkan budaya Punggahan. Dari rumah, warga membawa bungkusan berisi makanan, lalu dikumpulkan di suatu tempat, tanpa ditandai makanan milik siapa.

Lalu para warga berkumpul di dalam masjid untuk berdoa bersama. Setelah angenda pembacaan doa selesai, barulah menyantap hidangan yang telah dibawa dari rumah masih-masing, makanan dibagikan secara acak. Saat masih kecil saya sangat gemar dengan tradisi ini, saya mengatakannya dengan tukaran makanan.

Jika tradisi Punggahan dibuat di Rumah maka tuan rumahlah yang menyiapkan semua hidangan, serta mengundang tetangga saudara dan ustaz untuk memimpin pembacaan doa tahlil dan pembacaan surah Yasin. Setelah selesai pembacaan doa maka makanan dibagikan untuk dibawa pulang ke rumah, masyarakat Jawa mengenalnya dengan bontot, secara umumnya disebut bekal. Penyelenggaraan Punggahan di rumah merupakan salah satu sarana untuk mendoakan orang tua si tuan tumah yang sudah meninggal dunia. Hal tersebutlah yang membuat sedikit perbedaan untuk penyelenggaraan Punggahan di Rumah dan di Masjid.

Keluarga saya tahun kemarin baru saja membuat acara tradisi Punggahan ini di rumah, tetapi kami tidak melaksanakannya di hari 2-3 sebelum Ramadhan, melainkan di saat Ramadhan ke-27. Keluarga melakukan tradisi Punggahan di hari ke-27 Ramadhan karena kami masih berada di Banda Aceh, baru mudik sekitar Ramadhan ke-27. Tradisi Punggahan dilakukan secara bersamaan dengan acara buka puasa bersama dan kirim doa kepada keluarga yang telah meninggal. Masih sama dengan Punggahan pada umumnya, acara dimulai dengan pembacaan doa, dan tahlil  yang dipimpin oleh orang tua setempat serta pembacaan Yasin yang dipimpin oleh ustaz. Pembacaan doa digelar sebelum Iftar (buka puasa). setelah pembacaan doa selesai, barulah suara beduk dari musala terdengar, langsung saja saya dan keluarga mengeluarkan hidangan (takjil) untuk berbuka puasa. Jika ada yang ingin makan makanan berat, maka makanan sudah disiapkan di dapur. Makanan dihidangkan secara prasmanan. Salain makan jalan para tamu dan ustaz juga di bawakan bontot untuk dibawa pulang, bontot tersebut berisikan nasi urap.

Tradisi seperti ini dapat dijadikan momentum bagi seluruh masyarakat untuk mempererat kesatuan dan persatuan antarsesama. Dengan adanya kebiasaan ini, membuat masyarakat berkumpul, saling menyapa, dan saling bersilaturahmi. Selain itu, tradisi ini juga mempererat kerukunan warga dalam bermasyarakat.

Semoga tradisi seperti ini masih terus melekat dalam diri kita, jadikan adat dan budaya daerah menjadi sebagian dari jiwa. Juga mengenalkan adat dan budaya daerah ke  ranah internasional. Mempromosikan kebudayaan bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Apalagi dengan adanya bantuan teknologi digital seperti saat ini . Di era globalisasi seperti sekarang, budaya asing bisa saja masuk ke tengah-tengah masyarakat dengan sangat mudah,maka dari itu marilah kita untuk tetap mempertahankan budaya kita sendiri sebagai identitas diri.

Berita Terkini