Oleh: Uswatun Nisa*)
BEBERAPA bulan terakhir, chat generative pre-trained transformer (ChatGPT) teknologi berbasis artificial intelligence (AI) buatan perusahaan OpenAI, Inc. menjadi perbincangan dalam masyarakat, termasuk kalangan dunia pendidikan.
Dibanding aplikasi AI lain, ChatGPT ini dapat dikatakan tampil lebih booming. ChatGPT dilaporkan telah melampaui rekor Instagram dan TikTok dalam akuisisi pengguna.
Dalam dua bulanan saja aplikasi ini mendapatkan 100 juta pengguna.
ChatGPT memiliki keunggulan pada kemampuannya memberikan jawaban konkret ketika pengguna mengirimkan perintah membuat sesuatu dalam bentuk teks.
Umpamanya ketika kita ingin dibuatkan essay dengan tema tertentu, dalam hitungan detik teknologi ini mampu memberikan hasil dengan struktur kata yang baik.
• Sisi Gelap ChatGPT dan Tantangan bagi Muslim
Karena itu teknologi ini sering dimanfaatkan penggunanya mengerjakan sesuatu dengan output teks.
Kemudian bagaimana jika aplikasi ChatGPT ini dipergunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia?
Apalagi, saat ini ChatGPT telah mendukung bahasa Indonesia. Para penggunanya bisa membuat perintah dalam bahasa Indonesia dan akan mendapat jawaban dalam bahasa yang sama.
AI dalam Dunia Pendidikan
Kemunculan ChatGPT ini telah mendatangkan berbagai reaksi dari kalangan pendidikan.
Profesor dari Wharton Business School di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Christian Terwiesch, misalnya, pernah melakukan tes dan mendapati Bot ChatGPT3 ini mampu lulus dengan nilai antara B dan B- pada ujian program inti MBA-nya.
Chatbot ini mengungguli sebagian besar mahasiswa yang ikut dalam kuliah tersebut, meskipun dalam soal perhitungan aplikasi ini masih banyak ditemukan kesalahan (kompas.id).
Dapat dikatakan, secara keseluruhan chatbot ini juga tidaklah sempurna.
ChatGPT masih rentan memunculkan kesalahan.
Meski hampir semua jawaban yang terlihat meyakinkan, namun ternyata kurang tepat.
Pertanyaanya, apakah kekurangan seperti itu akan disadari oleh para pengguna yang tidak kritis?
OpenAI juga pernah mengatakan, pihaknya tidak ingin ChatGPT digunakan untuk tujuan yang menyesatkan di sekolah atau di mana pun.
Perusahaan telah mengembangkan mitigasi untuk membantu siapapun mengidentifikasi teks yang dihasilkan. Namun apakah semua orang punya kemauan untuk melakukan identifikasi ulang dari “jawaban meyakinkan” yang telah mereka terima?
Kubu Penentang dan Penganjur
Pada saat mengajar di salah satu kelas, saya bertanya pada mahasiswa “apa di sini ada yang menggunakan ChatGPT?”
Sejumlah mahasiswa menjawab “ada bu, kami pakai”, kata mereka.
Beberapa lainnya mengerutkan kening, masih berpikir apa itu ChatGPT.
Lalu saya bertanya bagaimana pengalaman mereka menggunakan ChatGPT.
Sejumlah mahasiswa mengaku sangat terbantu dengan keberadaan aplikasi ini, terutama saat mengerjakan tugas dan laporan.
Menurut mereka hasil penulisan ChatGPT sudah sangat terstruktur tanpa perlu diolah kembali.
Di satu sisi, penggunaan chatbot ini memunculkan kekhawatiran bahwa dalam karya yang dihasilkan oleh mahasiswa nantinya tidak akan ada lagi pemikiran dari mereka sendiri.
Hal ini tentu saja akan menghilangkan kemampuan berpikir dan kemampuan menulis yang sangat penting bagi mereka.
Kenyataannya, saat chatbot seperti ini belum hadir saja kemampuan bernalar kritis mahasiswa sudah dikikis dengan kemudahan pencarian informasi di internet.
Sebagian besar mereka tidak bisa lepas dari smartphone-nya, bahkan ketika melakukan presentasi atau diskusi di kelas.
Alih-alih memikirkan jawaban dengan modal pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki, mereka lebih memilih mengandalkan jawaban dari google.
Lalu bagaimana ketika teknologi yang semakin ‘membantu’ ini eksis dalam dunia pendidikan kita?
Apalagi yang akan ‘dicuri’ dari mereka melalui teknologi ini?
Pandangan ini tentu menentang penggunaan teknologi ini dalam dunia pendidikan, karena dianggap akan membuat kemampuan berpikir peserta didik sangat terbatas, dan tidak berkembang.
Di sisi lain, kehadiran ChatGPT justru menguntungkan dan penggunaan dalam dunia pendidikan bisa dipandang lumrah.
Hal itu sama halnya ketika para mahasiswa menggunakan kalkulator atau komputer dalam pembelajaran.
Hal yang selama ini selalu dipraktikkan, seperti ketika para mahasiswa menggenggam hp-nya di sepanjang waktu.
Analog dengan itu juga perihal ahli biologi yang menggunakan mikroskop, dan astronom yang menggunakan teleskop.
Salah seorang dosen yang mendukung mahasiswa menggunakan teknologi berbasis AI dalam dunia akademik mengatakan bahwa teknologi selalu bebas nilai.
Perkembangannya tidak bisa dihambat, apalagi dihentikan.
Oleh karena itu, yang harus diperbaiki adalah budaya berteknologi kita.
Jika budaya teknologi kita sudah baik, maka di ranah manapun kita menggunakannya tidak akan ada masalah.
Mengubah Pola Pengajaran dan Penilaian
Untuk menyikapi perkembangan teknologi ini, para pendidik patut mengasah kemampuan literasi digitalnya agar mampu bersinergi dengan kemajuan teknologi berbasis AI.
Dengan begitu para pendidik akan memahami perilaku peserta didiknya, termasuk cara mereka belajar, cara mereka mencari materi, cara mereka menulis, dan cara mereka mengikuti ujian.
Kemudian pendidik dapat mengambil tindakan, bagaimana sebaiknya model pembelajaran yang sesuai dengan perilaku peserta didik saat ini.
Melarang mahasiswa menggunakan teknologi adalah percuma.
Bahkan pengajar pun terkadang menggunakan teknologi tersebut untuk keperluan pengajaran.
Namun para pengajar harus memahami apa tujuan mengizinkan peserta didik penggunaan teknologi.
Sebagai contoh, hanya untuk membantu mahasiswa mendapatkan bahan dan data saja, jangan sampai mendorong mahasiswa menyerahkan semua tugasnya ke mesin AI dan menerimanya mentah-mentah.
Di sinilah tantangan seorang pendidik sekarang.
Pembelajaran saat ini harus ditujukan ke arah kreasi atau penciptaan baru.
Boleh saja mahasiswa mendapatkan semua jawaban melalui AI, tetapi mereka harus diarahkan untuk merefleksikan kembali setiap jawaban yang sudah didapat, sehingga ‘jawaban’ tadi akan kembali menjadi pertanyaan yang harus mereka pecahkan sampai menghasilkan output baru.
Pendidik saat ini tidak bisa hanya berfokus pada jawaban normatif, tetapi jawaban substansial yang memiliki kejelasan konteks.
Pendidik sekarang harus mampu mendesain pertanyaan yang tidak mudah dijawab oleh kecerdasan buatan.
Level pemahaman patut ditingkatkan melalui pertanyaan yang bukan menghafal data dan fakta, mereka perlu diajak berpikir analitis.
Pemberian tugas yang bersifat teoritik tanpa kritik dan uji teori sudah harus dihindari.
Metode pembelajaran yang berfokus pada project based learning lebih diutamakan saat ini.
Metode ini juga akan mengarahkan peserta didik untuk bisa melakukan pemecahan masalah.
Selain sistem pengajaran yang harus dirubah, standar penilaian juga salah satu yang harus dipikirkan ulang.
Tuntutan terhadap hasil berpikir mahasiswa harus ditingkatkan. Ujilah mereka dari pemahamannya, bukan melalui tulisannya.
Bahkan saat ini lebih baik menilai mahasiswa melalui pertanyaannya, bukan jawaban tertulisnya lagi.
Karena saat ini, mencari pertanyaan lebih sulit dibandingkan mencari jawaban.
Terakhir dan yang terpenting, pembinaan karakter tetaplah perlu dilakukan pendidik.
Pengajaran dari segi inilah yang memberi pengaruh besar dalam mensukseskan tujuan pendidikan.
Misalnya membentuk karakter peserta didik untuk bersikap percaya diri dengan kemampuannya, sehingga mereka tidak perlu terlalu bergantung pada teknologi.
Membuat mereka yakin bahwa mereka semua berbakat dan memiliki keunggulannya masing-masing.
Yakinkan, bahwa tidak ada yang salah dengan perbedaan pendapat, perbedaan justru merupakan sesuatu yang ‘kaya’.
Karena pada dasarnya sebagian mereka cukup mampu, namun tidak percaya diri.
Sebagian mereka memiliki pemikiran yang cukup unik, namun khawatir akan berbeda.
Sebagian lainnya, cukup mampu namun perlu dorongan untuk bisa berkembang.(*)
*) PENULIS adalah staf pengajar di FISIP USK
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
• Tarif Tol Sigli-Banda Aceh Mudik Lebaran 2023, Baitussalam hingga Kuta Baro Gratis Mulai Hari Ini
• Kasus 24 Ton BBM Jenis Solar Ditangkap Polda Aceh, YARA Lapor ke Mabes Polri
• Tiga Alat Inovasi Supernova Gampong Ajuen Masuk Radar Penilaian Tingkat Provinsi Aceh