Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Kalaulah ada pertanyaan siapa di antara orang dekat Presiden Jokowi saat ini, yang paling jujur terhadap pilihan politiknya, maka orang itu adalah Gibran Rakabuming.
Gibran, sang Wali Kota Solo itu ,- kebetulan anak Presiden RI inkumben, terbukti jernih, jujur dan objektif ketika ia merespons pertanyaan “jebakan” dari anchor kritis Kompas TV, Rosianna Silalahi.
Dalam wawancara selama lebih dari satu jam itu, Rosi mengajukan banyak pertanyaan kepada Gibran.
Ketika Rosi bertanya tentang keinginan sebagian kalangan yang menginginkan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa pemerintahan Presiden Jokowi untuk 2-3 tahun ke depan, Gibran menjawab dengan ekpresi rileks dan tenang.
Ia menjawab Rosi, “ndak usah, ndak usahlah, pulang aja ke Solo.”
Dasar Rosi yang tak mau nyerah, ia bertanya lagi kepada Gibran, “apakah aspirasi itu untuk kebaikan Indonesia, atau jebakan ‘batman’?
Gibran merespons, “biarlah warga yang menilai”.
Ia melanjutkan “agar semuanya menaati tanggal-tanggal”- maksudnya kalender pileg dan pilpres- yang sudah ditentukan.
Gibran bahkan mengeluarkan kalimat pamungkas untuk bapaknya.
“Balik saja ke Solo udah, istirahat”.
Gibran juga melanjutkan “banyak orang lain yang lebih pintar, yang bisa mewujudkan mimpi-mimpi besar Bapak.
Pernyataan Gibran mengingatkan kita tentang sebuah kutipan yang ditulis oleh Profesor Sejarah Universitas Princeton, Stephen Kotkin.
Ia menulis biografi Stalin tiga jilid.
Pada bab pendahuluan, halaman 12 jiid II , Waiting For Hitler, 1929-1941, Kotkin mengutip ucapan Aleksei pada tahun 1917, ketika Nicholas II, Tsar Rusia dan seluruh keluarganya ditangkap oleh pemberontak Bolshevik.
Alexei berkata, “jika Tsar tak ada, siapa yang akan memerintah Rusia?”.
Pertanyaan Alexei atau Aleksey Nikolayevich, anak Nicholas II itu, tidak ada yang menjawab saat itu, sejarah kemudian memberi jawaban terhadap kegelisahan bangsawan laki-laki terakhir dinasti Romanov itu.
Hanya Lenin yang bisa menjawab pertanyaan Alexei terhadap dinasti yang telah berkuasa lebih dari 300 tahun itu.
Jawaban Lenin sederhana “Romanov, lingkarannya, dan asosiasinya wajib hilang dari bumi Rusia yang terbentang dari benua Eropa sampai ke benua Asia.”
Itulah Uni Soviet masa lalu, dan itulah Rusia hari ini, dan itulah jawaban untuk Alexei.
Indonesia jelas bukan Rusia, apalagi Rusia, sama sekali bukan Indonesia.
Sama sekali tak relevan mengaitkan Nicholas II dengan Jokowi, begitu juga sebaliknya.
Geografi, sejarah, bentuk negara, dan zaman, sama sekali tak bisa membuat Indonesia dan Jokowi dapat dibandingkan dengan Imperium Rusia ratusan tahun yang lalu.
Apalagi jika dibandingkan dengan Nicholas II dan mesin pemerintahan dan politik dinasti Romanov itu.
Baca juga: Rahasia! Ditanya Bahas Apa saat Jokowi dan Ganjar Semobil, Gibran Bocorkan Ini: Saya Tahu Semua
Baca juga: VIDEO Demokrat Tolak Wacana Duet Anies Baswedan dan Mahfud MD dalam Pilpres 2024
Gibran Bukanlah Alexei
Pernyataan Gibran kepada Rosi, Kompas TV berbeda seratus delapan puluh derjat dari Alexei, anak Nicholas II.
Alexei melihat ayahnya sebagai sebuah keniscayaan untuk imperium Rusia pada masa itu, dan mungkin pada saatnya nanti akan dilanjutkannya oleh ia sendiri, menjadi Nicholas III.
Ia sangat berbeda dengan Gibran yang pernah menjadi anak orang biasa, lalu menjadi anak Wali Kota, kemudian menjadi anak gubernur, dan bahkan kemudian menjadi anak Presiden dua periode.
Alexei tidak, ia lahir dan besar dalam laku, nafas, dan desah aristokratis yang telah berumur ratusan tahun, di istana kawasan Kremlin, jantung kota Moskow.
Alexei, semenjak lahir tak pernah menjadi orang biasa, apalagi menjadi proletariat, seperti apa yang pernah dialami oleh Jokowi ketika bekerja di PT Kertas Kraft Aceh di Lhokseumawe.
Alexei lahir dalam suasana kehidupan dinasti yang sudah melembaga selama 300 tahun.
Sekalipun ia mempunyai penyakit hemophilia yang sangat serius, namun ia sangat cerdas,-menguasai tiga bahasa, dan sangat dihormati dan dicintai oleh birokrat dan tentara kaisar Rusia pada masa itu.
Dalam hal Gibran, ia memulai hidupnya sebagai anak orang biasa, namun berpendidikan mancanegara- alumni sekolah manajemen terbaik Singapore, dan juga Universitas Teknologi Sidney, Australia.
Walaupun mungkin jika tanpa bapaknya Presiden, ia tak mungkin jadi Wali Kota Solo, Gibran adalah pembelajar dan pekerja keras.
Paling kurang tak ada ekspose yang aneh-aneh tentang Kota Solo, dan jika itu benar, membuat ia menjadi politisi baik dan berhasil.
Banyak orang tak tahu, Gibran adalah salah satu penggemar Rocky Gerung.
Ia tak peduli dengan omongan keras Rocky kepada bapaknya.
Ia bahkan rela membolos sekolah kepemimpinan PDI Perjuangan yang sedang dia ikuti belasan bulan yang lalu, hanya untuk bertemu dan berdiskusi dengan Rocky Gerung.
Alasan Gibran sangat sederhana, namun dalam artinya.
Rocky berani dan jujur menyatakan apa ia yakini.
Dan Gibran, sampai hari ini masih terus berhubungan dan berdiskusi dengan Rocky Gerung.
Kita tak tahu, mungkin saja Rocky menjadi salah satu instrument pengukur cuaca politik nasional bagi Gibran.
Sebenarnya tanpa Rocky pun, jika Gibran menimbang kondisi hari ini secara akal sehat, sampai kapan pun ia pasti akan menjawab sama seperti responsnya kepada Rosi.
Berbalik dengan Gibran, banyak orang di lingkaran Jokowi justeru bersikap seperti Alexei.
Berkebalikan dengan Gibran yang jernih dan jujur, lingkaran inti Jokowi justeru melihat keberlanjutan sang presiden di pucuk pemerintahan republik sebagai sebuah keniscayaan.
Bahkan Jokowi nyaris dipersepsikan sebagai messiah- juru selamat negara dan bangsa Indonesia di tengah ketidakpastian global akibat Covid-19 dan perang Ukraina.
Gibran menjadi sangat dewasa, sementara lingkaran inti Jokowi menjadi anak-anak belum cukup umur dalam konteks kearifan dan kedewasaan, persis seperti Alexei.
Kenapa skenario mempertahankan kekuasaan dibuat dalam sejumlah versi yang sulit diterima oleh akal sehat?
Kenapa ada ide presiden tiga periode?
Kenapa ada ide memasangkan Jokowi dengan Prabowo, layaknya mencontoh Rusia di mana pasangan Medvedev-presiden dan Putin-perdana menteri, setelah Putin habis jabatan presidennya pada 2008?
Kenapa Presiden Jokowi awalnya ngotot Ganjar, dan sekarang beralih kepada Prabowo?
Kenapa ia mensponsori Koalisi Indonesia Bersatu, dan ia kini menjadi “ayah angkat” Koalisi Besar.
Akhirnya, kenapa ia sangat anti Anies Baswedan?
Seorangpun tak tahu kenapa Jokowi, jangankan berkata manis, bersikap netral pun ia tak mau ketika menempatkan posisinya tentang siapa penggantinya.
Ia bahkan kini secara terbuka menganjurkan cukup dua calon saja untuk Pilpres.
Jika Anies tak terbendung, cukup Anies dan calon yang disponsori oleh dirinya saja yang bertanding.
Kesalahan dan “drakula” macam apa yang telah menggerayangi Anies sehingga ia dianggap berbahaya untuk masa depan Indonesia oleh Jokowi?
Bagaimana mungkin seorang presiden terpesona dengan narasi murahan dedengkot PSI dan para buzzer, sehingga dari mulutnya keluar “capres politik identitas”?
Bukankah AS yang cukup peka penciumannya tentang “fundamentalis” juteru mempertontonkan kepada publik nasional bahwa Anies ndak masalah ketika G 20 di Bali?
Bukankah undangan makan siang Anies di Bali tak ubah bagai “proklamasi” formal, “we have no problem with this guy” dari pemerintah AS via Dubesnya Sung Yong Kim.
Jika memang Anies melekat dengan “politik identitas”, bagaimana mungkin salah satu Universitas tertua dan terhebat di Dunia,-Universitas Oxford, menempatkan Anies untuk menjadi anggota dewan pendiri internasional, pada Institute of ASEAN studies.
Masih cukup banyak lagi lembaga dan “orang besar” di berbagai negara yang memberi penghargaan kepada Anies yang mustahil, kalau memang ia terkontaminasi dengan Islam garis keras.
Lihat saja misalnya ketidaksukaan AS dan Uni Eropa kepada Erdogan yang dituduh tidak moderat, walaupun Turki anggota NATO.
Bukankah segala posting buzzer dan statemen Jokowi tentang Anies menjadi tak relevan?
Bukankah semua pengakuan dan penghargaan itu menjadikan orang-orang yang mengaitkan Anies selama ini dengan politik identitas seperti Ade Armando, Dany Siregar, dan Ruhut Sitompul, masuk dalam kelas “cicak mengkarung”?.
Kesalahan, tepatnya prestasi Anies yang menganggu mereka yang tak mau melihatnya menjadi presiden, tidaklah banyak.
Anies mengalahkan Ahok, membatalkan proyek reklamasi teluk Jakarta, menjalankan program yang membuat Jakarta menjadi “liveable city”, menempatkan Jakarta dalam deretan kota internasional untuk balapan tahunan mobil listrik, menjalankan “good governance” dan “clean government”, dan memperkenalkan realisasi keadilan sosial dan kesetaraan dengan cara baru dan unik.
Kita tidak tahu apa yang diucapkan Gibran kepada Rosi, di Kompas TV itu telah atau akan disampaikannya kepada presiden Jokowi.
Berbeda dengan lingkaran Jokowi yang bertanya bagaimana Indonesia tanpa Jokowi atau tanpa pemimpin besutan Jokowi, Gibran justeru lain.
Ia berkesimpulan bapaknya “pulang ke Solo, dan istirahat.”
Rona wajah Gibran cukup serius ketika menggucapkan kalimat itu kepada Rosi.
Adakah kemungkinan Jokowi sendiri yang berkebalikan dari Gibran?
Mungkinkah presiden Jokowi mengucapkan kalimat yang sangat sulit dipercaya akan keluar dari mulut seorang presiden RI pertama kali terjadi dalam sejarah.
Cukupkah alasan baginya untuk gundah tentang nasib Indonesia, ketika ia, atau orang yang ia percaya bukan presiden?
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI