Jurnalisme Warga

Pro dan Kontra Lahirnya Prodi Bahasa Aceh di ISBI Aceh

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ICHSAN, M.Sn

ICHSAN, M.Sn., Dosen dan Koordinator Pusat Kerja Sama, Kehumasan, dan Publikasi Ilmiah ISBI Aceh, melaporkan dari Kota Jantho

Selasa, 11 April 2023 menjadi hari bersejarah bagi Aceh. Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh yang merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri (PTN) seni di Aceh dengan usianya yang belia telah mendapat izin membuka Program Studi (Prodi) Bahasa Aceh. Tepat bakda zuhur di Gedung Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti)  Tibang, Banda Aceh, sekitar pukul 14.30 WIB, Kepala LLDikti Wilayah XIII dengan bangga menyerahkan Surat Keputusan kepada Rektor ISBI Dr Wildan  MPd, dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pendirian Prodi Bahasa Aceh dan Prodi Kajian Budaya dan Sastra dengan sebuah harapan dapat terus mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Lahirnya Prodi Bahasa Aceh ini juga merupakan tindak lanjut dari perguruntinggi dalam merespons Qanun tentangBahasa Aceh yang baru saja disahkan.

Hadirnya Prodi Bahasa Aceh ternyata tidak mulus-mulus saja. Kehadiran prodi, khususnya Bahasa Aceh, menuai pro dan kontra di berbagai kalangan. Ada yang setuju, ada pula yang tak setuju dengan berbagai alasan. Tudingan berdirinya Prodi Bahasa Aceh yang ditengarai karena Rektor ISBI hari ini berasal dari FKIP Universitas Syiah Kuala juga menjadi sindiran.

Padahal, perlu diketahui bahwa Rancangan Pembentukan Prodi Bahasa Aceh ini telah disusun sejak Rektor ISBI sebelumnya yang bukan berasal dari FKIP, yakni dari Fakulta Teknik. Yang lebih vulgar lagi adalah, lahirnya Prodi Bahasa Aceh disindir dengan kalimat “ganti saja ISBI menjadi Institut Seni Bahasa Indonesia, kampus seni kok buka prodinya FKIP.”

Atau jika tidak, ganti saja dengan IBA, Institut Bahasa Aceh, begitulah ragam komentar yang lahir dari beberapa doktor asal Aceh yang mengajar di luar Aceh.

Sebuah permakluman yang sejatinya harus disambut dengan arif, apa pun komentarnya. Meski demikian, ada sebuah harapan bahwa komentar atau kritik yang diharapkan adalah konstruktif untuk kemajuan Aceh. Lahirnya Prodi Bahasa Aceh juga bukan untuk menyenangkan semua pihak, termasuk sebagian para penolak lahirnya Prodi Bahasa Aceh. Menurut data Renstra, lahirnya Prodi Bahasa Aceh merupakan buah spirit untuk menjadikan bahasa Aceh tidak hanya sekadar bahasa keseharian, tetapi bahasa ilmu pengetahuan.

Degradasi kemampuan berbahasa Aceh, bahkan malu berbahasa Aceh, tampaknya mulai terasa. Ditambah dengan tidak tersusunnya secara rapi jumlah bahasa yang ada di Aceh menjadi perhatian. Antisipasi tersebut direspons oleh pelbagai kalangan, termasuk DPRA, dan perguruan tinggi, termasuk ISBI Aceh di dalamnya. Berangkat dari problematika tersebut, ISBI mencoba mengambil peran sebagai solution of the problem.

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2022 tentang Bahasa Aceh menyebutkan bahwa berdasarkan amanah ketentuan Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 Undang-Undangn Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, penulisan dan publikasi karya ilmiah untuk tujuan atau bidang kajian khusus, penamaan nama geografi, nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi, inoformasi tentanf produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Aceh, dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum serta informasi melalui media massa dapat menggunakan, dilengkapi, dan atau dapat disertakan bahasa daerah di Aceh.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, dapat dipahami bahwa spirit untuk menjadikan bahasa Aceh sebagai identitas utama dalam keseharian masyarakat di Aceh menjadi skala prioritas dan tugas semua pihak. Sadar atau tidak disadari, seperti ada rasa malu di beberapa kalangan untuk berbahasa Aceh. Berbahasa Aceh di kalangan umum tampak dianggap kolot, kampungan, dan tidak maju. Budaya ini mulai tumbuh. Jika tidak ada langkah antisipatif, bukan tidak mungkin, kemampuan berbahasa Aceh akan memudar khususnya dalam sisi literasinya.

Perlu diketahui pula bahwa bahasa Aceh yang dimaksud oleh ISBI Aceh, bukanlah mempelajari bahasa Aceh yang hari ini disebut bahasa Aceh yang didominasi oleh masyarakat Aceh pesisir. Kurikulum dan renstra yang disusun ISBI Aceh dalam pendidikan Prodi Bahasa Aceh merangkum semua bahasa yang ada di Aceh, seperti bahasa Alas, Gayo, Tamiang, Kluet, Anuek Jamee, dan sebagainya.

Sebagai tahap pertama, ISBI tentu akan melibatkan berbagai pihak dalam mendukung terlaksananya capaian Prodi ISBI Aceh dalam membentuk lulusan yang kompeten dan berkualitas. Apresiasi terbesar hadirnya Prodi Bahasa Aceh di ISBI ini datang dari Balai Pelestarian Budaya (BPK), Majelis Adat Aceh   (MAA), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Aceh, seniman dan budayawan Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, khususnya Bidang Seni dan Bahasa, Balai Bahasa Provinsi Aceh, dan berbagai pihak.

LLDikti Wilayah XIII yang berkedudukan di Banda Aceh secara khusus menyebutkan bahwa pendirian prodi di ISBI ke depan dapat disesuaikan dengan kebutuhan meski tidak sejalan dengan rumpun seni dan budaya.

“Tidak harus seni,” kata M Nur, Ketua Tim Kerja Kelembagaan LLDikti Wilayah XIII.

Ia juga mencontohkan bahwa di IPB ada prodi yang taka da kaitannya dengan pertanian, misalnya manajemen dan ekonomi,

Halaman
12

Berita Terkini