SERAMBINEWS.COM - Berikut hukum kurban menggunakan uang hasil utang.
Tidak lama lagi umat muslim di seluruh dunia akan merayakan Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriah atau Idul Adha 2023.
Diketahui, Hari Raya Idul Adha diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah.
Jika mengacu pada kalender 2023, 10 Dzulhijjah 1444 Hijriah atau Hari Raya Idul Adha tahun ini jatuh pada tanggal 29 Juni 2023.
Begitu pula dengan SKB 3 Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama yang menuliskan tanggal 29 Juni 2023 merupakan Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriah.
Sementara itu PP Muhammadiyah sudah menetapkan tanggal Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriah jatuh pada tanggal 28 Juni 2023.
"Tanggal 1 Zulhijah 1444 H jatuh pada hari Senin Legi, 19 Juni 2023 M. Hari Arafah (9 Zulhijah 1444 H) jatuh pada hari Selasa Wage, 27 Juni 2023 M. Iduladha (10 Zulhijah 1444 H) jatuh pada hari Rabu Kliwon, 28 Juni 2023 M," bunyi Maklumat bernomor 1/MLM/I.0/E/2023.
Meski begitu patut diingat bahwa pemerintah baru menetapkan Hari Raya Idul Adha pasca menggelar sidang isbat penetapan awal Dzulhijjah 1444 Hijriah yang biasanya diadakan sehari sebelumnya.
Disamping itu, momen Hari Raya Idul Adha merupakan momen penting bagi umat muslim.
Baca juga: Idul Adha 2023, Berikut Cara Memilih Hewan Kurban, Pastikan Terpenuhi Hal-hal Berikut
Sebab bertepatan pada lebaran Idul Adha, ada satu dari dua ibadah utama di bulan Dzulhijjah yang dianjurkan untuk dilakukan oleh umat muslim.
Ibadah tersebut yakni ibadah kurban, yang dikerjakan tepatnya pada hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah.
Mengingat Hari raya Idul Adha yang sebentar lagi tiba, sebagian umat muslim yang berencana akan berkurban pasti sudah mulai melakukan sejumlah persiapan, mulai dari tabungan untuk membeli hewan kurban hingga mencari dan memilih hewan yang akan dikurbankan.
Namun bagaimana jika mereka yang ingin berkurban tahun ini, namun menggunakan uang hasil utang?
Diketahui, ibadah kurban diperuntukkan bagi yang mampu, tetapi belum mendapat kesempatan untuk melaksanakan haji.
Atau bagi mereka yang sudah melaksanakan haji, maka dianjurkan pula untuk tetap melaksanakan kurban setiap tahunnya.
Namun saat momen lebaran haji tiba, mungkin saja kondisi keuangan sedang pas-pasan.
Lalu, dalam kondisi keterbatasan ekonomi tersebut, apakah boleh tetap melaksanakan kurban dengan cara berhutang?
Soal hukum berkurban dengan cara berutang ini sebenarnya sudah pernah dibahas oleh pendakwah nasional Ustadz Abdul Somad atau UAS.
Dalam sebuah video tanya jawab singkat berdurasi 3.50 menit yang diunggah di YouTube resminya Ustadz Abdul Somad Official.
Berikut penjelasan UAS sebagaimana dirangkum Serambinews.com.
Hukum kurban dengan cara hutang
Pembahasan UAS soal kurban dalam tayangan video berjudul BERHUTANG UNTUK BERQURBAN ? | Ustadz Abdul Somad, Lc., MA., Ph.D bermula dari pertanyaan yang dilempar oleh artis yaitu Teuku Wisnu.
"Ustad, apakah boleh berkurban dengan cara meminjam uang terlebih dahulu pada orang?" tanya aktor keturunan Aceh tersebut.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Ustaz Abdul Somad menjelaskan terlebih dahulu jenis-jenis utang yang ada dalam hukum Islam.
Dai berdarah Melayu ini menyebutkan, dalam pandangan Islam, utang terdiri atas dua jenis.
Baca juga: Idul Adha 2023 Sebentar Lagi, Berencana Kurban Tapi Pakai Uang Hasil Utang? Ini Hukumnya Menurut UAS
Pertama yaitu utang yang diharapkan ada pembayarnya.
Kedua, utang yang tidak tahu bagaimana cara membayarnya.
Berdasarkan kategori ini, maka dapat diketahui hukum berkurban dengan cara berutang.
Berikut tayangan video penjelasan lengkap Ustad Abdul Somad soal hukum kurban dengan cara berutang.
Ustad Abdul Somad dalam video tersebut menjelaskan, jika utang tersebut masuk dalam kategori pertama, maka dibolehkan berkurban dengan cara hutang.
"Kalau utangnya jenis pertama, boleh," ujarnya.
Dai yang juga akrab disapa UAS ini pun kemudian memberi contoh soal utang kurban dibolehkan jika jaminan pembayarnya.
Dicontohkan UAS, misalnya saja seseorang yang ingin berkurban meminjam uang, dengan jaminan akan membayarnya saat panen hasil.
"Bayarnya insya Allah panen sawit nanti bulan depan. Nyembelihnya akhir bulan ini," ucap UAS.
"Ada yang diharapkan untuk membayarnya. Maka kalau hutangnya jenis ini boleh," terangnya.
Namun yang tidak boleh, lanjut UAS, berkurban dengan cara berhutang yang tidak tahu kapan akan membayarnya.
"Yang tidak boleh meminjam uang, tapi tak tahu kapan membayarnya," tegas Ustaz Abdul Somad.
Sebab, tambahnya, yang demikian itu selain membebani orang lain, juga tidak ada kejelasannya.
Sementara dalam Islam, utang-piutang harus ada kejelasannya, yaitu punya batas waktu tertentu.
Baca juga: Hukum tak Menyaksikan Proses Penyembelihan Hewan Kurban, Begini Penjelasan Ustadz Abdul Somad
Hukum kurban secara patungan
Selain mengenai hukum kurban dengan menggunakan uang hasil utang, pembahasan lain seputar ibadah kurban yang juga sering dibahas setiap momen Lebaran Idul Adha tiba yakni terkait hukum kurban secara patungan.
Mengenai soal ini, pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Buya Yahya telah memberikan penjelasannya.
Dalam sebuah tayangan video yang diunggah di YouTube Al-Bahjah TV pada 29 Juni 2022, Buya Yahya mengatakan, mengenai hukum kurban secara patungan, ada yang sah dan tidak sah.
"Dalam patungan hewan kurban ini, ada yang sah dan ada yang tidak sah," ujar pengasuh Lembaga Pengembangan Da'wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah tersebut, sebagaimana dikutip dari video unggahan YouTube Al-Bahjah TV.
Berikut tayangan video penjelasan lengkap Buya Yahya soal hukum kurban secara patungan.
Dalam video itu Buya Yahya menjelaskan, kurban secara patungan atau patungan kurban sendiri berarti bergabungnya beberapa orang dalam hal mengumpulkan dana untuk membeli hewan kurban.
Namun dalam hal patungan kurban ini, kata Buya Yahya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yang berujung pada sah dan tidak sahnya kurban.
Hukum patungan, jelas Buya Yahya, menjadi tidak sah jika sekumpulan orang berkurban dengan satu kambing.
Dalam hal ini, Buya Yahya mencontohkan kurban yang dilakukan di lingkungan sekolahan.
"Satu kelas kumpul duit beli satu kambing, kurban dengan satu kambing. Maka yang demikian ini dianggap tidak sah sebagai kurban," jelas Dai yang bernama lengkap Prof. Yahya Zainul Ma'arif, Lc, MA, PhD tersebut.
Namun meski tidak sah menjadi kurban, sembelihan seekor kambing tersebut tetap menjadi sebuah pahala untuk menyenangkan sesama di Hari Raya Idul Adha.
"Artinya tidak ada kurban patungan (dengan seekor kambing) semacam ini," imbuh Buya Yahya.
"Makanya kalau di SMP SMA ada patungan kurban, itu namanya saja kurban. Tapi (secara hukum) bukan kurban. Tapi jangan dilarang juga, kan lumayan ada 10 kambing itu. Biar tidak jadi kurban, maka ia tetap mendapatkan pahala untuk menyenangkan orang di hari itu dengan sembelihan kambing," sambungnya.
Buya Yahya menambahkan, sembelihan seperti itu tidak disebut sebagai kurban, lantaran hewan yang disembelih hanyalah seekor kambing.
Baca juga: Simak Baik-baik! Ini Penjelasan Abu Mudi Terkait Boleh atau Tidaknya Ayam Dijadikan Hewan Kurban
Sementara hewan itu diperuntukkan bagi seluruh siswa dalam satu kelas.
"Gak ada satu kambing untuk satu kelas," ujar Buya Yahya sekali lagi.
Sementara itu, patungan kurban dianggap sah, apabila patungan dilakukan semisal tujuh orang mengumpulkan dana untuk membeli seekor sapi.
"Satu sapi tersebut dijadikan kurban untuk tujuh orang tersebut. Maka patungan yang seperti ini adalah sah sebagai kurban," jelas Buya Yahya.
Selain itu, Buya Yahya juga memberikan contoh bagaimana pelaksanaan kurban di lingkungan sekolah agar sah menjadi kurban.
Misalnya saja seluruh siswa dalam satu kelas berpatungan uang untuk membeli seekor kambing.
Lalu kambing tersebut diberikan kepada salah seorang yang ada di lingkungan sekolah tersebut sebagai kurban atas dirinya.
Maka kurban tersebut sah.
"Kurban diberikan kepada salah satu dari mereka. Dia yang kurban. Maka sah jadi kurban. Kita dapat pahala membantu orang berkurban," papar Buya Yahya.
Jadi kurbannya hanya satu orang. Satu kambing untuk satu orang" sambungnya.
Lebih lanjut Buya Yahya mengatakan, penting untuk menerapkan cara berkurban dengan benar di lembaga pendidikan khususnya yang sering melaksanakan kurban.
"Misalnya para siswa di sekolah mengumpulkan dana untuk membeli satu ekor kambing atau satu ekor sapi, kemudian diberikan kepada guru mereka untuk dijadikan kurban. Maka kambing atau sapi tersebut sah dianggap menjadi kurban dengan catatan setiap guru diberikan satu kambing, atau satu sapi untuk tujuh guru," kata Buya Yahya.
"Dalam hal ini sang murid memang gak berkurban. Sang murid mendapat pahala besar karena membantu gyrunya, dan sang guru mendapat pahala kurban," pungkasnya.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI