Oleh: T Dhahrul Bawadi*)
“ABF, jangan Layu Sebelum Berkembang”.
Judul “Salam Serambi” edisi Sabtu 18 Juni 2023, begitu menohok hingga ke sanubari.
“Oma... hana geut sagai judul lagoe, kiban jeut ke layee, meu ta tanom hana lom baroe ta jak kaleun-kaleun lampoh ka di peugah layee... Sedih that judul koran nyan.”
Begitulah di antara pernyataan yang mengemuka dalam grup WA kami ketika mengomentari postingan link serta foto tulisan yang merupakan tajuk rencana Harian Serambi Indonesia.
Kira-kira terjemahan bebasnya begini:
“Kurang elok judul macam ini. Kenapa dibilang layu, padahal ditanam pun belum, baru proses lihat-lihat kebun, sudah dibilang layu. Sedih sekali membaca judul seperti ini.”
Seorang wartawan yang juga bergabung dalam grup ini menimpali.
Baca juga: Kiprah Saudagar Dalam Aceh Bisnis Forum
Bahwa memang seperti itulah tipikal tajuk rencana sebuah media.
Harus kritis, dengan mendasarkan pada data dan fakta, sehingga bisa menjadi rujukan dan memberi edukasi bagi pembaca.
Seorang sahabat saya yang merupakan pelaku UMKM di Aceh terlihat setuju dengan penjelasan itu.
“Tajuk nyoe manteng pemanasan..... agen maken lambong maken brat.... si geogeo di hayon turbulence harus siap.”
Katanya, pengusaha harus siap dengan segala macam tantangan, apalagi jika hanya sekedar kritikan.
Sedikit saya kilas balik tentang tajuk rencana atau Salam Serambi yang menjadi topik diskusi kami.
Tajuk yang mengangkat judul “ABF, jangan Layu Sebelum Berkembang” ini mengupas tentang semangat baru yang muncul di kalangan pengusaha, khususnya para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Aceh, beberapa pekan terakhir.
Semangat ini bermula dari sebuah pertemuan di basecamp PT Trans Continent di Krueng Raya, Aceh Besar, ketika ratusan pelaku UMKM sepakat membentuk sebuah wadah bernama Aceh Bisnis Forum (ABF).
Baca juga: PT Trans Continent Terima Penghargaan Supplier of The Year 2023, Berikut Profil Ismail Rasyid
Sejak itu, ABF yang ditopang oleh 4 pilar yaitu, PP Taman Iskandar Muda (TIM), wirausahawan/pelaku UMKM Aceh, Universitas Syiah Kuala (USK), dan Ikatan Alumni USK Jabodetabek, melakukan roadshow dan sosialisasi ke Medan, Jakarta, hingga ke Perth Australia.
Terbaru, delegasi ABF yang dipimpin Ismail Rasyid (Ketua IKA USK Jabodetabek) dan Muslim Armas (Ketua Umum PP TIM) melakukan roadshow bisnis ke Malaysia.
Selama tiga hari di Malaysia, Minggu-Selasa (11-13 Juni 2023) delegasi ABF berkunjung ke Westports di Klang, Selangor, melakukan “Bincang Niaga” di Hotel Grand Hyatt, serta bertemu Wakil Duta Besar RI di Kuala Lumpur.
Kedatangan delegasi ABF mendapat sambutan baik dari banyak kalangan.
Tak kurang dari Wakil Menteri Dalam Negeri Malaysia, Datuk Sri Shamsul Anuar Nasarah turut hadir dan ikut memberikan sambutannya pada pembukaan “Bincang-Bincang Perniagaan” yang dilaksanakan ABF di Grand Hyatt Hotel Kuala Lumpur, Senin (12/6/2023) malam.
Tak hanya sebatas itu, keesokan harinya, delegasi ABF berkunjung ke Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur.
Di sini pun, delegasi ABF disambut hangat oleh para pejabat KBRI.
Sambutan hangat penuh optimis ini terlihat dari kehadiran Wakil Duta Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Rossy Verona, bersama Koordinator Fungsi Ekonomi Hendra Purnama Iskandar, serta beberapa pejabat KBRI dalam pertemuan itu.
Mereka menyahuti dan mendukung penuh keinginan ABF untuk menjajaki dan mewujudkan konektivitas langsung antara pelabuhan Klang dengan pelabuhan di Aceh, terutama pelabuhan Malahayati yang berjarak sekira 40 kilometer dari Kota Banda Aceh.
Kehadiran Timbalan Mendagri Malaysia dalam “Bincang-Bincang Perniagaan” di Hotel Grand Hyaat, serta sambutan hangat di KBRI Kuala Lumpur, mungkin inilah yang membuat redaksi Serambi optimis dengan kehadiran ABF ini, sehingga sampai perlu menjadikannya sebagai tajuk rencana.
“Meski belum terbentuk dengan sempurna, ABF telah memberikan harapan baru bagi para pengusaha, terutama pelaku UMKM di Aceh,” demikian di antara poin di tajuk rencana itu.
Redaksi Serambi menganggap ini adalah awal yang bagus bagi ABF untuk menjadi wadah silaturahmi, membuka jaringan (networking), serta pangsa pasar di level lokal, regional, nasional, hingga internasional.
Tapi, di sebalik itu, tentu ada juga suara-suara yang meragukan kiprah ABF di masa hadapan.
Bukan apa-apa, karena sudah sering lembaga seperti ini lahir, bikin gebrakan, lalu hilang tak berbekas.
“Maka, sangat wajar jika kita berharap agar ABF yang disokong oleh 4 pilar ini, yaitu PP TIM, wirausahawan/pelaku UMKM Aceh, Universitas Syiah Kuala (USK), dan Ikatan Alumni USK Jabodetabek, ini jangan sampai layu sebelum berkembang. Semoga,” demikian bunyi kalimat penuh harapan yang menjadi penutup tajuk rencana atau Salam Serambi edisi Sabtu 18 Juni 2023.
Karena ABF Berbeda
Yang saya ulas di atas itu adalah pendapat redaksi yang menyajikan data dan fakta, meski hanya sekilas saja.
Lalu bagaimana pendapat saya?
Sebagai pelaku UMKM dan dipercaya oleh teman-teman untuk menjadi Ketua Asosiasi Saudagar Industri Aceh (ASIA), saya pikir judul “ABF, jangan Layu Sebelum Berkembang” yang dipilih untuk tajuk rencana Serambi Indonesia, sangat cocok dengan kondisi di Aceh saat ini.
Baca juga: ABF Jajaki Konektivitas Langsung Port Klang-Banda Aceh
Selama ini, sangat sering para pengusaha sangat menggebu-gebu saat mendirikan sebuah organisasi.
Di awal semua mengebu-gebu, tapi pas sedang atau mau jalan, semua tarik ulur dan saling menyalahkan satu sama lain.
Ujung-ujungnya organisasi itu menjadi layu atau stagnan (terhenti) dengan sendirinya.
Dari beberapa pengalaman itu, saya berpendapat, butuh sosok yang sudah mumpuni di bidangnya untuk untuk mempersatukan pengusaha di Aceh.
Dengan pengalaman dan usahanya yang sudah mapan, sosok motor penggerak ini akan memberikan keyakinan kepada anggota, sekaligus menepis berbagai asumsi dan prediksi yang sering sekali hanya bersifat dugaan tak berdasar.
Anggota tidak akan memikirkan hal-hal negatif terhadap tujuan dan apa yang ingin dicapai oleh ketua/pengurus organisasi.
Kenapa demikian? Karena selama ini sering sekali anggota organisasi, termasuk di dunia usaha, dibuat kecewa, ternyata organisasi yang menaungi mereka, hanya bertujuan untuk mengambil uang dari pemerintah atau hanya sekedar menunggu bantuan.
Namanya organisasi pengusaha atau istilah kerennya kamar dagang dan industri, tapi roda organisasi ini baru berputar ketika adanya kucuran dana dari pemerintah. Agak aneh kedengarannya kan?
Nah, saya melihat kriteria “sosok pemimpin yang bisa menjadi motor penggerak organisasi pengusaha” di Aceh ini ada pada Bang Ismail Rasyid.
Sejak awal ABF ini dicetuskan, dengan dimotori oleh Bang Ismail, saya sangat yakin ini ABF ini akan bisa berkontribusi untuk membangun Aceh yang lebih baik.
Di bawah kepemimpinan Ismail Rasyid dan didukung oleh pakar serta pengusaha yang semuanya sudah senior di bidangnya, insya Allah ABF akan berkembang dan membawa manfaat untuk Aceh.
Karena yang bergabung di dalam ABF ini adalah pengusaha yang real alias nyata punya usaha, di bidang dagang maupun usaha ekspor impor, bukan pengusaha yang hanya mengharap proyek dan dana pemerintah.
Akan Kembali ke Aceh
Optimisme saya kepada ABF semakin nyata ketika 3 pertemuan yang berlangsung di Krueng Raya, Australia, dan Kuala Lumpur berlangsung tanpa campur tangan pemerintah.
Baca juga: VIDEO ABF Jajaki Peluang Pasarkan Produk UMKM Aceh ke Australia
Artinya, ABF tak harus menunggu kucuran dana dari pemerintah untuk bergerak mewujudkan cita-citanya, menjalin silaturahmi, membua networking, serta membuka akses pasar produk Aceh ke luar daerah dan mancanegara.
Di sini, peran Ismail Rasyid yang merupakan pengusaha multimoda transport kelas internasional, menjadi motor penggerak, menanggung penuh biaya tempat dan makan para peserta pertemuan.
Kami dan para pengusaha lainnya dipilih diundang untuk hadir, dengan menanggung biaya transportasi dan akomodasi sendiri, tanpa perlu menunggu kucuran dana dari organisasi.
Inilah yang membuat saya optimis terhadap ABF, dan memberikan semangat kepada saya akan kembalinya para pengusaha asal Aceh yang kini bertebaran di luar daerah dan luar negeri, untuk ikut berkontribusi membangun “Nanggroe Indatu”.
Saya termasuk satu di antara sejumlah orang Aceh yang memutuskan ke luar dan memilih membangun usaha di luar Aceh.
Kenapa? Karena pengalaman pahit yang saya alami di Aceh semenjak berkecimpung di dunia usaha sejak tahun 2015.
Permasalahan yang dihadapi Bang Ismail Rasyid, terutama di KIA Ladong yang gagal setelah investasi ratusan juta Rupiah, menambah keyakinan saya untuk ke luar dari Aceh.
Tekad saya sudah sangat bulat, karena dengan kondisi dan situasi saat ini sangat sulit bagi sebuah industri untuk berkembang di Aceh.
Bukan karena Acehnya, tapi karena SDM orang-orang di pemerintahan tidak akan pernah singkron dengan dunia usaha, ditambah lagi para pengusaha di Aceh yang dekat dengan pemerintah, didominasi oleh para kontraktor.
Mereka hanya berpikir bagaimana setiap tahunnya bisa mendapatkan proyek dari pemerintah, bukan berpikir untuk memajukan industri dan dunia usaha di Aceh.
Tiap tahun yang program kerjanya adalah tentang proyek pengadaan copypaste, bukan untuk membuat daerah maju dengan membuka kawasan industri.
Dengan kondisi seperti ini, saya berkeyakinan, industri di Aceh bisa jalan hanya untuk kawasan Aceh.
Baca juga: Ismail Rasyid Tegaskan ABF akan Menjadi Forum Dialog Bisnis: Tidak Ada Urusan Politik di Dalamnya
Kalau untuk menjangkau ke nasional/internasional sampai saat ini belum bisa, karena kita masih sangat banyak keterbatasan, terutama di sisi perizinan, SDM pemerintah, dan infrastruktur yang sangat terbatas.
Dalam beberapa forum, saya sangat kritis mengkritik oknum di Pemerintah Aceh, agar mereka lebih peduli dengan program membuka kawasan industri yang memberi hasil nyata, bukan hanya sekedar proyek.
Tapi hasilnya yang ada kita diadu domba karena mereka anggap saya mengganggu proyek mereka.
Saya kemudian belajar pada senior-senior yang sudah sukses di bidang usaha.
Tapi anehnya, kebanyakan dari pengusaha Aceh yang sukses ini tidak tinggal di Aceh.
Mereka meraih kesuksesan setelah puluhan tahun melanglang buana di negeri orang.
Sering saya bertanya “ka lagee nyoe sukses, pakon ureng droen hana neutinggai di Aceh?”
Hampir semua jawaban yang saya dengar intinya sama. Hanya ada beda rasa karena dengan bumbunya dari masing-masing.
“Di Aceh hana pereulee ureung-ureung lagee tanyoe, jadi percuma tatinggai di Aceh, yang na dale lam dawa sabe keudroe-droe,” demikian inti jawaban.
Sengaja saya tidak menerjemahkan pertanyaan dan jawaban ini, karena ini adalah konsumsi orang dalam sahaja.
Akhir kata, saya berpendapat, banyak PR yang harus diselesaikan oleh ABF di Aceh.
Dan saya yakin ABF akan mampu mengatasi semua masalah dan kendala yang akan dihadapi dalam perjalanan nantinya. Aamiin.
*) PENULIS adalah Pelaku UMKM asal Aceh dan kini menetap di Jakarta.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI