Dalam kunjungan kerja tersebut, Presiden akan melakukan kick-off atau peluncuran penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh khususnya, dan Indonesia pada umumnya secara non-yudisial.
Dikutip dari Kompas.com, Rumoh Geudong dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, Hulubalang atau pemimpin yang tinggal di Rumoh Raya.
Jarak antara Rumoh Geudong dan Rumoh Raya sekitar 200 meter.
Baca juga: Rumoh Geudong, Antara Peng Griek dan Orang Aceh yang Sedang Sakit Sejarah
Semasa perang Belanda, Rumoh Geudong sering digunakan sebagai pos pengatur strategi perang oleh Raja Lamkuta.
Setelah Raja Lamkuta wafat, Rumoh Geudong dipakai adiknya, Teuku Cut Ahmad, kemudian Teuku Keujruen Rahmad, Teuku Keujruen Husein, dan Teuku Keujruen Gade.
Rumoh Geudong juga dijadikan sebagai basis perjuangan melawan tentara Jepang.
Sejak masa Jepang hingga Indonesia Merdeka, rumah itu dihuni oleh Teuku Raja Umar dan keturunannya, anak dari Teuku Keujruen Husein.
Pendapat Mereka Tentang Rumoh Geudong
Pj Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto menolak pembangunan monumen di lokasi Rumoh Geudong.
Alasannya, agar generasi baru tidak lagi mengingat kisah kelam.
"Generasi baru harus lebih cerdas untuk menata Pidie yang lebih maju di masa mendatang," ujar Wahyudi.
Sementara Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi yang menaungi para mantan kombatan GAM meminta Rumoh Geudong tidak dihilangkan atau dialihfungsikan, karena ini adalah salah satu bukti sejarah adanya pelanggaran HAM di Aceh.
Mereka berharap di lokasi itu dibangun gedung museum berbentuk replika seperti Rumoh Geudong yang dulu.
Juru Bicara (Jubir) KPA Pusat, Azhari Cagee, mengatakan, pihaknya bukan tidak setuju dengan rencana pembangunan masjid tersebut. Tapi, di kemukiman itu saat ini sudah ada dua masjid.
Dengan membangun masjid di lokasi itu, sambungnya, KPA menduga ada maksud terselubung tentang penghilangan sejarah atau penghilangan bukti pelanggaran HAM.