Kupi Beungoh

Rumoh Geudong: Memori Kolektif Aceh dan Janji Para Presiden – Bagian II

Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
 
ORANG Aceh tentu saja akan marah kalau disebut tak tahu diri terhadap segala kebaikan Sukarno.
 
Publik Aceh sepertinya sama sekali tak peduli kepada kebaikan dan “kearifan” Sukarno ketika menunjuk Ali Hasymi menjadi gubernur Aceh.
 
Sukarno seakan mampu “merasa” ada perpaduan energi kebangsaan, keislaman, dan keacehan yang dimiliki oleh Ali Hasyimi yang menggambarkan Aceh ideal.
 
Ketika ia menunjuk Hasyimi menjadi gubernur Aceh pada masa itu, Sukarno seakan telah membaca, sebagian imaginasi Beureueh telah terpenuhi, untuk tidak mengatakan mendekati.
 
Dan Hasyimi, orang yang dipercayainya adalah pilihan yang tepat.
 
Sebagai pembelajar yang tekun Hasymi memerintah dengan piawai.
 
Ia bertangan dingin. Ia benar-benar menjadi elemen final dari Sukarno yang thesis, Beureueh yang anti thesis, dan dirinya sebagai sinthesis.
 
Wajah Islam dan keacehan yang diperkenalkan oleh Hasyimi, utamanya melalui jalur pendidikan menemukan momentumnya.
 
Anugerah daerah istimewa yang diberikan oleh Sukarno untuk Aceh mampu diterjemahkan dengan baik oleh Hasyimi dengan slogan dan realisasi Aceh dari kawasan darul harb-kawasan perang, menjadi darussalam- kawasan damai.
 
Terhadap semua kebaikan Sukarno, ingatan sebagian besar publik Aceh tetap juga tak lepas dibandingkan dengan kesalahannya “menipu” Daud Beureueh, dan mempermalukan Aceh dengan menjadikannya sebagai bagian dari provinsi Sumatera Utara.
 
Ia divonis bersalah, terhadap apapun kejadian buruk antara Aceh dan pemerintah pusat, yang mungkin akan terhapus dalam perjalanan sejarah panjang, yang kita tak tahu kapan akan tiba.
 
Pasalnya? Sebuah janji kepada publik Aceh via Beureueh, apalagi diucapkan dengan menyebutkan nama Tuhan, Allah SWT ketika itu.

Baca juga: Rumoh Geudong, Antara Peng Griek dan Orang Aceh yang Sedang Sakit Sejarah

Tragedi Janji Megawati
 
Tragedi janji yang dialami Sukarno itu kemudian berlanjut ketika Megawati berkuasa.
 
Dalam sebuah pidatonya, ia menyebut dirinya sebagai Cut Nyak-panggilan bangsawan wanita Aceh dan komitmennya untuk mengakhiri konflik Aceh.
 
Ucapan itu tak berlangsung lama.
 
Mungkin saja ia emosi, dan bukan tak mungkin juga ia tulus ketika ia menyebutkan jika dirinya terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2004, sang Cut Nyak tak akan membiarkan lagi setetes darah pun mengalir di Aceh.
 
Belum hilang dari ingatan publik, apa yang dia ucapkan, segera setelah ia menggantikan presiden Abdurrahman Wahid, Mega harus melakukan sesuatu untuk Aceh.
 
Kegagalan perundingan Tokyo, berikut dengan semakin maraknya gangguan keamanan  di Aceh membuatnya tidak punya pilihan lain.
 
Sebagai presiden ia harus membuat keputusan, membiarkan Aceh berlarut-larut, atau melancarkan operasi militer.
 
Dalam penilaian banyak pengamat, keputusan Megawati menjadikan Aceh dalam status daerah darurat militer sudah tepat.
 
Ia dipaksa melakukan operasi militer oleh kekacauan Aceh yang semakin parah.
 
Ia dihadapkan pada sebuah janji kampanye atau menghadapi realitas buruk yang kalau dibiarkan akan menjadi semakin buruk.
 
Megawati melupakan janjinya, ia menerapkan darurat militer untuk Aceh. 
 
Pertanyaannya hipotetisnya adalah, kalau saja ada presiden lain yang bukan Megawati yang dihadapkan dengan pilihan keadaan Aceh pada masa itu, akankah sang presiden itu menerapkan darurat militer yang sama seperti Megawati?
 
Kemungkinan besar jawabannya adalah ya.
 
Dalam konteks mempertahankan keutuhan bangsa dan negara, siapapun akan melakukan seperti yang dilakukan Megawati.
 
Apapun alasannya, publik Aceh tak mau tahu, janji adalah janji, dan ingkar janji mendapat catatan penting yang tak mudah untuk dilupakan.
 
Megawati, kembali mengulangi kesalahan Sukarno.
 
Ia terlalu gampang berjanji, tanpa menghitung resiko terburuk yang mungkin dihadapi.
 
Tindakan Megawati itu kemudian menjadi sebuah “mitos” seolah trah Sukarno berikut dengan paham politik kebangsaan yang dibawanya tak akan pernah bisa berbaik baik dengan Aceh.
 
Ingatan publik Aceh berdampak panjang.
 
Masyarakat Aceh sangat tahu jumah suara pemilih dalam keputusan penting negera, seperti pemilihan presiden tidak besar, dan bahkan tak banyak membantu para kontestan.
 
Publik Aceh tak peduli apakah mereka mengkuti arus besar nasional atau tidak.

Baca juga: Kisah Horor Rumoh Geudong, Penuh Jeritan & Lepotan Darah Manusia Tempat Bersejarah Sejak era Belanda

 
Berimbas Pada Jokowi - JK
 
Korban dari ingatan publik yang buruk terhadap Megawati menimpa presiden Jokowi pada Pilpres 2014.
 
Jokowi-JK kalah di Aceh.
 
Sulit menjelaskan secara sosiologis kenapa Jokowi-JK kalah di Aceh.
 
Seorang wali kota sukses, dan gubernur sukses didampingi oleh seorang matan Wakil Presiden  sebelumnya yang menjadi aktor utama perdamaian Aceh, kalah dalam pemilu di daerah ini.
 
Padahal lawannya adalah mantan Jenderal TNI, Prabowo Subianto yang merupakan representasi, bahkan ikon dari penindasan dan kekerasan yang dialami oleh masyarakat Aceh sekitar tiga dekade.
 
Kenapa memori kopassus, bahkan komandan kopassus yang melekat pada Prabowo tidak menjadi masalah.
 
Publik Aceh juga tak peduli dengan kadar penghayatan dan praktık keislaman Prabowo yang berada dibawah rata-rata.
 
Mereka tak memilih sang mantan wali kota Solo dan gubernur DKI dan sosok JK yang paling populer.
 
Pasangan itu mendapat dukungan dimana-mana.
 
Apa alasan masyarakat Aceh tak memilih Jokowi? Jawabannya hanya satu.
 
Jokowi berasosiasi dengan nama pemimpin “ingkar janji”- Megawati.
 
Kesalahan Mega hanya satu.
 
Bukan karena ia memutuskan status darurat militer untuk Aceh, akan tetapi, kenapa ia berjanji.
 
Ketika Pilpres 2019 berlangsung, rakyat kembali bergeming, Prabowo menang lagi di Aceh.
 
Gambaran kekerasan, pelanggaran HAM, dan berbagai nestapa  operasi militer di Aceh, mengalahkan seseorang yang salahnya hanya karena berasosiasi dengan partai yang dipimpin oleh sosok yang tak menjaga ucapan dan janjinya kepada rakyat Aceh.
 
Adakah presiden lain yang pernah berjani kepada masyarakat Aceh, dan kemudian mengingkarinya?
 
Suharto sangat mahal mengeluarkan kalimat janji.
 
Apapun yang ia ucapkan yang berhubungan dengan janji pembangunan selalu bersifat generik.
 
Apalagi untuk Aceh, ia tak pernah berjanji, sekalipun banyak yang ia kerjakan memberi tempat tersendiri bagi masyarakat Aceh.

Baca juga: VIDEO - Negara Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Peristiwa Rumoh Geudong hingga Simpang KKA Aceh

Gus Dur dan Janji yang Ditepati
 
Bagaimana dengan Gus Dur? Apakah ia pernah berjanji?
 
Ya , ia pernah berjanji memberikan syariat Islam untuk Aceh via pertemuannya dengan para ulama  Aceh, dalam beberapa kesempatan.
 
Apa yang ia ucapkan segera ia tunaikan.
 
Tak peduli dengan  berbagai ketakutan yang diteriakkan oleh berbagai fihak, Gus Dur memenuhi janjinya dengan  UU No 44 tentang keistimewaan Provinsi Aceh, terutama mengenai pelaksanaan syariat Islam.
 
Ia tahu GAM tidak minta syariat islam, tetapi ia merespons permintaan para ulama.
 
Tak ada yang paling kontroversial tentang Gus Dur ketika ia merespons pertanyaan kemungkinan referendum untuk Aceh, seperti apa yang terjadi di Timor Timur ketika  Habibie berkuasa.
 
Tak jelas apakah ia berguyon atau bukan, jawabannya sempat menggemparkan Aceh dan Indonesia.
 
Kalau Timtim bisa kenapa Aceh tidak?, tukasnya.
 
Statemen Gus Dur itu kemudian membuat Aceh haru biru yang ditandai dengan parade panjang dan dan rapat umum besar yang digerakkan oleh berbgai elemen.
 
Ada pemuda, mahasiwa, dan santri seluruh dari seluruh Aceh yang dikenal dengan SIRA yang memperjuangkan referendum.
 
Alih-alih menerima ataupun marah, Gus Dur membangun komunikasi intens dengan para tokoh muda referendum Aceh dan para ulama, ia tak lari dari tanggung jawab.
 
Apa yang ia lakukan kemudian?
 
Dengan tenang dan pasti ia keluar dari sebuah protokoler ketat Republik yang telah berjalan selama 44 tahun dalam urusan dengan pemberontakan.
 
Ia melanggar norma baku tak tertulis.
 
Komunikasi pemerintah dengan pemberontak tidak boleh melalui pihak ketiga, apalagi orang asing.
 
Gus Dur tak peduli, ia mengundang Henry Dunant Center, lembaga nirlaba perdamaian yang berpusat di Jenewa untuk memecahkan kebuntuan komunikasi dan negosiasi antara pemerintah dan pemberontak Aceh Merdeka.
 
Itulah lembar sejarah pertama penanganan konflik dan pemberontakan Aceh yang kemudian memberikan jalan yang berlanjut.
 
Akhirnya negosiasi perdamaian Aceh ditangani oleh lembaga nirlaba CMI-Crisis Management Initiative yang dipimpin oleh Martti Ahtisaari, ketika SBY-JK berkuasa.
 
Komunikasi Gus Dur dengan para tokoh Aceh, mulai dari ulama, mahasiwa, santri, dan berbagai elemen strategis lainnya kemudian mendemonstrasikan kesungguhan dan keikhlasan Gus Dur untuk menyelesaikan masalah Aceh dengan sebaik-baiknya.
 
Keceplosan Gus Dur tentang referendum tak pernh dianggap janji serius seorang presiden oleh rakyat Aceh.
 
Komunikasi dan kebijakannya mendapat tempat tersendiri bagi rakyat Aceh.


 
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
 
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
 
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI 

Berita Terkini