Muhammad Yasir Yusuf, Ketua Yayasan Wakaf Haroen Aly
DISKUSI wakaf semakin hangat di komunitas masyarakat Aceh saat ini. Tentunya dengan berbagai isu, problematika, peluang dan harapan untuk pembangunan Aceh yang lebih baik di masa depan. Karena, wakaf di samping zakat merupakan pranata keagamaan dalam Islam yang memiliki hubungan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat.
Wakaf merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi yang cukup penting. Menurut sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin, baik di bidang ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan publik, kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta peradaban Islam secara umum.
Perkembangan sektor wakaf di Indonesia mengalami pertumbuhan yang luar biasa pada tahun 2022. Berdasarkan Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama (2022), tanah wakaf di Indonesia tersebar di 440,5 ribu titik dengan luas total 57,2 ribu hektare. Selain itu, potensi sektor wakaf di Indonesia khususnya wakaf uang diperkirakan mencapai 180 triliun rupiah per tahun.
Badan Wakaf Indonesia mencatat perolehan wakaf tunai mencapai 1,4 triliun rupiah per Maret 2022. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan perolehan wakaf tunai yang terkumpul selama 2018-2021 senilai 855 miliar rupiah. Sebagai Negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, potensi wakaf di Indonesia memiliki prospek yang cukup signifikan. Data potensi dan realisasi harta wakaf di atas menunjukkan bahwa aset wakaf di Indonesia sangatlah besar malah mengalahkan potensi dari harta zakat itu sendiri.
Di Aceh, perkembangan wakaf dapat dikatakan tidak mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan perkembangan pengumpulan zakat. Berdasarkan Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama Aceh(2023), tanah wakaf di Aceh tersebar di 18.520 titik dengan luas total 9.508 hektare, yang sudah punya sertifikat sebanyak 8.833 buah, selebihnya 9.687 belum mempunyai sertifikat.
Sebagian besar peruntukan tanah wakaf tersebut masih terbatas untuk tujuan sarana ibadah. Sisanya untuk lembaga sosial keagamaan, sekolah dan pemakaman. Sedikit saja tanah wakaf yang digunakan untuk kegiatan yang bersifat produktif.
Namun demikian, tidak dapat dinafikan juga beberapa upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam pengembangan wakaf seperti Komunitas Hutan Wakaf yang menginisiasi wakaf hutan, wakaf kurma yang digagas Yayasan Wakaf Baitul Mal Barbate Aceh, dan wakaf produktif yang dipelopori oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di jajaran Kementerian Agama Kabupaten Aceh Tengah dalam bentuk swalayan yang diberi nama “Ihmal Market” (Serambinews.com; 2020), dan Yayasan Wakaf Hareon Aly sebagai satu-satunya saat ini yang menjadi nazir penerima wakaf tunai di Aceh.
Sementara itu, wakaf tunai di Aceh masih minim sosialisasi dalam masyarakat dan terkadang masih terjadi silang pendapat, sehingga potensinya belum tergali secara optimal. Padahal wakaf tunai memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan ekonomi yang berbasis wakaf. Potensi wakaf tunai di Aceh juga sangat besar untuk pengembangan lahan tidur yang strategis dan bernilai ekonomis.
Sebagai contoh, BPS merilis bahwa jumlah PNS di Aceh sepanjang tahun 2018-2019 berjumlah 129.989 orang. Jika saja setiap PNS mewakafkan tiap bulan 5000 rupiah maka akan terkumpul dana 649.945.000 rupiah. Maka dana yang terkumpul tiap bulan ini dapat dijadikan modal dalam mengembangkan wakaf produktif.
Satu tawaran
Salah satu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di saat zakat belum maksimal menekan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah mengoptimalkan upaya pengelolaan aset wakaf secara ekonomis untuk kesejahteraan masyarakat di Aceh.
Aset wakaf bisa dikembangkan dan diupayakan secara maksimum dan inovatif dengan berbagai instrumen keuangan yang ada bagi menumbuhkan nilai ekonomis dari aset wakaf yang bisa digunakan untuk pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Pengelolaan wakaf di Aceh akan memberikan kesejahteraan kepada umat apabila penanganan wakaf dilakukan secara terintegrasi antar kelembagaan baik nazhir yang menerima dan mengelola harta wakif, adanya regulasi yang menyeluruh mengatur pengelolaan wakaf di Aceh, adanya pengurusan administrasi wakaf yang tertib dan baik serta keterlibatan lembaga keuangan syariah guna mendorong produktivitas harta wakaf.
Kegiatan yang harus dilakukan meliputi penguatan sosialisasi dan literasi, adanya produk legislasi terhadap pengelolaan aset wakaf, adanya forum kenazhiran wakaf guna membangun sinergisitas baik dalam pengembangan aset dan distribusi efektif manfaat wakaf serta penggunaan teknologi dalam membangun sistem data dan aset wakaf yang akurat.
Kegiatan di atas melibatkan institusi pendidikan untuk melakukan edukasi wakaf sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dengan membekali pemahaman mendasar terkait kegiatan wakaf untuk mendorong pertumbuhan ekonomi umat yang menyejahterakan. Di sisi lain, Baitul Mal Aceh harus menjadi lembaga kenaziran yang bisa mengelola aset wakaf baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Bila merujuk kepada Qanun No. 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, pada pasal 3 (b) “bahwa penyelenggaraan Baitul Mal ditujukan untuk melakukan pengawasan terhadap nazir dan melakukan pembinaan terhadap pengelolaan dan pengembangan harta wakaf”, maka terlihat Qanun Baitul Mal No. 10 tahun 2018 ini membatasi kewenangan Baitul Mal hanya sebatas mengawasi dan membina nazhir dalam pengelolaan wakaf.
Hal ini secara otomatis membatasi ruang gerak Baitul Mal yang telah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh No. 11 Tahun 2006, pasal 191 ayat (1) bahwa “zakat, harta wakaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Kabupaten/Kota.” Pasal ini menjadi amanah bagi Baitul Mal untuk menjadi pengelola harta wakaf, artinya Baitul Mal bisa menjadi nazhir harta wakaf.
Kewenangan Baitul Mal menjadi nazhir wakaf saat ini belum diakomodir dalam Qanun Baitul Mal No. 3 Tahun 2021. Ini menjadi tantangan bagi Baitul Mal untuk menjadi institusi yang mengelola zakat sekaligus wakaf untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat.
Keberadaan kementerian agama serta jajaran di bawahnya dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) perwakilan Aceh menjadi perangkat pendukung utama guna mengerakkan pengelolaan wakaf di Aceh. Integrasi informasi wakaf dan sertifikasi wakaf menjadi hal penting yang sampai saat ini belum terselesaikan secara akurat.
Dengan sinergisitas kelembagaan pengelolaan wakaf Baitul Mal, Kanwil Agama, BWI dan Lembaga Keuangan Syariah akan menjadikan aset wakaf Aceh tumbuh dan berkembang dengan baik demi kemaslahatan masyarakat.
Untuk merealisasikan hal itu, setidaknya ada empat langkah yang mesti dilakukan: Pertama, langkah pengurusan administrasi wakaf. Pengurusan administrasi wakaf menjadi suatu hal yang penting dalam mengoptimalkan pengembangan wakaf di Aceh.
Dengan administrasi yang baik dapat berdampak pada pengelolaan yang baik sehingga dapat membuat masyarakat memiliki pertimbangan baik terhadap lembaga pengelola wakaf di Aceh.
Kedua, Pemerintah Aceh menunjuk pengelolaan aset wakaf di Aceh oleh Baitul Mal, Baitul Mal bisa menjadi Nazir Wakaf. Jika aset wakaf ada di nazir yang lain, maka bisa berkolaborasi dengan Baitul Mal untuk pembiayaan produktifitas aset wakaf melalui dana infak di Baitul Mal. Begitu juga dengan Pemerintah daerah, memiliki fungsi dalam menyukseskan pengembangan dan pengelolaan wakaf di Aceh melalui Baitul Kabupaten/Kota.
Dalam hal ini, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus bersinergi dalam membuat kebijakan dan strategi dalam mengembangkan wakaf di Aceh. Langkah pembentukan qanun atau Pergub tentang wakaf menjadi langkah yang sangat strategis yang perlu dilakukan segera.
Ketiga, langkah strategis berikutnya adalah menghimpun nazhir dalam suatu kelembagaan untuk memungkinkan semua kegiatan nazhir terarah dalam satu komando sehingga wilayah kerja dan kinerja dapat terlaksana secara optimal. Keempat, langkah selanjutnya pemerintah dapat membuat kelembagaan yang bertugas untuk mengelola wakaf yang ada di Aceh, lembaga yang bersifat badan usaha milik daerah, sebagai contoh adanya PT Pembangunan Wakaf Aceh (PWA) yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah Aceh (BUMD/BUMA) yang mengelola dan memproduktifkan aset wakaf sebagaimana PT Pembangunan Aceh (PEMA) yang berfungsi sebagai badan yang meningkatkan pembangunan, perekonomian serta Pendapatan Asli Aceh.
PWA bertujuan untuk meningkatkan produktifitas pengelolaan aset wakaf Aceh untuk kesejahteraan umat lewat berbagai upaya yang bisa dilakukan. Formulasi kebijakan pengelolaan dan pengembangan wakaf Aceh harus dilakukan secara terintegrasi antar kelembagaan baik nazhir yang menerima dan mengelola harta wakaf, adanya regulasi yang menyeluruh mengatur pengelolaan wakaf di Aceh dan Indonesia, adanya pengurusan administrasi wakaf yang tertib, adanya Lembaga yang mengelola aset wakaf (PWA) serta keterlibatan lembaga keuangan syariah guna mendorong produktivitas harta wakaf adalah suatu keniscayaan.
Perlu keberanian dan keseriusan dari berbagai pihak terkait hal ini jika ingin wakaf dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat dan mengurangi angka kemiskinan di Aceh. Wallahu’alam.