Khairil Miswar, Founder POeSA Institute
SEBELUM masuk terlalu dalam, kiranya perlu dibedakan dulu frasa syariat Islam sebagai produk Ilahi yang sakral, suci dan kudus dengan frasa formalisasi syariat Islam sebagai produk politik yang pastinya sangat profan karena diliputi unsur-unsur politik dan juga kepentingan sekuler.
Diferensiasi keduanya patut diperhatikan dengan sangat-sangat tekun agar kita tidak terjebak dalam perdebatan buta yang sama sekali tidak produktif, untuk tidak menyebut destruktif. Frasa syariat Islam dalam pengertian pertama tentu harus diterima tanpa reserve karena ia bersifat doktrinal dan Ilahiah. Sementara frasa dalam pengertian kedua selalu saja terbuka untuk diperdebatkan karena ia hannyalah konsensus politik yang tentunya tidak terlepas dari ragam kepentingan.
Tulisan ini hanya akan mengupas syariat Islam dalam frasa kedua. Lagi-lagi, penegasan ini menjadi penting agar kita tidak terperosok dalam laku takfiri yang tanpa babibu menuduh orang lain sebagai anti-syariat hanya karena memiliki pandangan yang berbeda dengan ortodoksi tertentu. Dalam hal ini teologi mayoritas atau aturan pemerintah. Dalam konteks Aceh, hal ini perlu diingatkan berulang-ulang, karena tanah kita dipenuhi dengan cerita-cerita demikian, tidak hanya di masa lalu, tapi juga sekarang.
Dalam konteks Aceh, bahkan mungkin di Nusantara, isu agama selalu saja “seksi” untuk diperdagangkan dan dijual dengan harga murah. Faktanya berbagai kelompok kerap menggunakan isu ini tanpa segan dan malu. Anehnya lagi, isu agama yang sakral acap kali digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan sekuler. Hal ini bisa kita lihat dalam perhelatan politik elektoral di Indonesia, di mana politisasi agama seolah menjadi sesuatu yang niscaya demi tercapainya tujuan-tujuan kekuasaan.
Pada Pilpres 2014 misalnya, kita menyaksikan bagaimana “semangat Perang Badar” yang diembuskan simpatisan Prabowo Subianto mampu membelah publik di tanah air. Fenomena serupa terulang pada Pilpres 2019, di mana nama Tuhan yang suci “dijual” di mana-mana hanya untuk kepentingan kursi.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Sosok yang dianggap “mewakili” Tuhan justru “menyeberang” dalam lingkaran pemenang. Kalau sudah begitu, neraka mana yang paling cocok untuk kita diami?
Ayunan penguasa
Christian Snouck Hurgronje ketika menjadi penasihat Kolonial—setelah melalui riset—menyarankan kepada pemerintah Belanda untuk tidak menghalangi ritus-ritus keagamaan dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Di sini terkesan bahwa Snouck sangat religius, ditambah lagi dengan penyamaran yang ia lakukan di mana ia mengaku sebagai seorang ulama yang kemudian dikenal sebagai Teungku Puteh.
Bahkan Snouck juga meminta pemerintah Belanda untuk memfasilitasi perjalanan haji bagi umat Islam agar pemerintahan mereka tidak dipandang sebagai kontra agama. Namun, kecerdasan Snouck tidak berakhir di sana, di waktu yang sama dia juga menyarankan kepada Belanda agar tidak memberi ampun kepada kelompok Islam politik yang menggelorakan jihad atas nama Tuhan. Artinya, spirit agama tidak boleh masuk dalam ruang politik karena akan membahayakan kolonialisme. Snouck menginginkan orang-orang itu dihancurkan.
Praktik dua muka yang digagas Snouck ini bertujuan untuk “mengayun” rakyat Aceh agar terbuai dalam ritus-ritus keagamaan, baik personal maupun komunal sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk membangun perlawanan politik berbasis agama. Dengan kata lain, pemerintah Kolonial sengaja mengurung masyarakat dalam “ayunan syariat” sebagai sebuah strategi untuk membunuh pergerakan mereka.
Konsepsi yang dibangun Snouck di masa lalu tersebut tidak serta merta hilang pasca berakhirnya era Kolonial di Aceh. Strategi demikian masih digunakan hingga saat ini. Cuma saja pelakunya bukan lagi Kolonial, tapi telah beralih ke tangan oknum politisi dan juga penguasa, tentunya setelah melalui beberapa modifikasi.
Ayunan-ayunan politisi dan penguasa atas nama syariat masih bisa kita saksikan sampai sekarang. Kampanye syariat Islam di ruang-ruang publik: soal pakaian, larangan konser, larangan mengangkang adalah contoh konkret tentang bagaimana rakyat “dibuai” sehingga mereka melupakan berbagai “kebobrokan” yang terjadi dalam pemerintahan.
Dengan kata lain, mereka seolah ingin mengatakan: “Urus saja soal ibadah, pakaian dan pergaulan kalian, tapi jangan ganggu kami yang sedang sibuk dengan korupsi, pungli, proyek fiktif, SPPD bodong dan seterusnya”.
Kalimat-kalimat imajiner tersebut memang tidak pernah mereka ucapkan, tapi dari kenyataan yang ada, sulit untuk tidak menduga demikian. Lihat saja bagaimana korupsi terus bersemi; pungli dengan berbagai dalih terus menguntum; pelayanan publik terus berbelit plus kondisi ekonomi yang membuat rakyat terus terlilit.
Lalu patutkah mereka kita anggap sebagai pembela syariat hanya bermodal surat edaran? Bukankah perbaikan pelayanan publik, pemberantasan korupsi, penghapusan pungli dan peningkatan ekonomi rakyat juga merupakan perintah syariat?