Kupi Beungoh

Celengan Masjid, Kiprah MPU Aceh, dan Solidaritas untuk Palestina

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Iska Hardeka adalah pemerhati sejarah, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Merupakan alumni Dayah Pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa Aceh Besar.

Oleh: Iska Hardeka*)

MENJELANG satu pekan konflik bersenjata antara Israel dan Palestina, belum terlihat tanda-tanda pertempuran tersebut akan mereda. Bahkan, beberapa pengamat dan ahli mengatakan adanya kemungkinan konflik tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, mengingat pertempuran kali ini adalah yang terbesar dalam sejarah setelah konflik tahun 1967 dan 1973.

Tentu, konflik kali ini, sebagaimana juga konflik-konflik sebelumnya, menuai beragam respon dari berbagai pihak, baik secara internasional maupun di dalam negeri kita sendiri.

Jika kita klasifikasikan, respon yang heterogen itu agaknya tetap menjadi dua kelompok.

Pertama, kelompok kontra yang mengutuk aksi Hamas melakukan serangan kejutan ke wilayah Israel yang menjadi awal mula terjadinya konflik ini. Kelompok ini agaknya merupakan kelompok mayoritas, yang mengambil sumber informasi dari media-media internasional yang diklaim “paling kredibel”, seperti BBC, CNN, dan lainnya.

Kedua, kelompok pro yang membela aksi Hamas melakukan serangan pendahuluan. Kelompok ini mengambil informasi dari sumber-sumber antimainstream, dari orang-orang yang berada di Palestina misalnya.

Di Indonesia, sumber-sumber semacam ini datang dari vlog para WNI yang berdomisili di Jalur Gaza, seperti Muhammad Husein Gaza atau Abdullah Onim.

Kelompok ini mendukung aksi Hamas karena ada counterinformation dari sumber-sumber informasi tersebut yang menyatakan bahwa aksi tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh adanya kebocoran informasi intelijen yang menyatakan bahwa Israel sedang mempersiapkan serangan besar terhadap Jalur Gaza dalam waktu dekat.

Hal itu membuat para petinggi Hamas langsung mengambil kebijakan “satu langkah maju” dengan melakukan serangan lebih dahulu kepada Israel dengan metode “serangan kejutan” yang notabenenya merupakan metode yang sering dilakukan Israel dalam periode-periode penyerangan sebelumnya.

Selain itu, wilayah yang diserang oleh pasukan Hamas juga bukan wilayah Israel, melainkan teritorial Palestina yang direbut dan didiami secara paksa oleh para pemukim ilegal Israel. Sekali lagi. Ilegal.

Lagipula, semua orang tahu bahwa seluruh wilayah yang diklaim sebagai Negara Israel hari ini nyatanya adalah tanah bangsa Palestina yang diambil paksa dan diklaim sepihak.

Namun, tulisan ini tidak akan membahas kelompok mana yang benar dan salah. Penulis justru tertarik pada respon dalam negeri, terutama Aceh, terhadap konflik tersebut.

Dua hari lalu, seperti juga diberitakan di media ini, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menyerukan masyarakat untuk melantunkan Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu sebagai wujud dukungan dan solidaritas kepada warga Gaza dan Palestina.

Selain itu, MPU juga meminta Pemerintah Aceh untuk melakukan galang dana bagi masyarakat Palestina yang terdampak konflik.

Keduanya, menurut Ketua MPU, harus dilaksanakan sebagai wujud “jihad dengan segala upaya” untuk membela Muslim Palestina.

Pernyataan heroik ketua MPU tersebut sesungguhnya patut diapresiasi, utamanya untuk seruan Qunut Nazilah, kendati baru dikeluarkan dua hari lalu, atau setelah tiga hari konflik tersebut meletus, mengingat seruan seperti ini jarang terdengar dari MPU.

Buktinya dalam penelusuran Penulis, selama berkali-kali terjadinya agresi Israel terhadap Jalur Gaza dalam dua dekade terakhir, seruan semacam ini bahkan masih kurang dari hitungan jari sebelah tangan.

Setidaknya begitu yang terekam dalam jejak digital yang bisa Penulis temukan sehingga respon cepat MPU kali ini, walau tetap kalah cepat dengan majelis atau persatuan ulama di negara-negara lainnya, pantas untuk kita acungkan jempol dan kita laksanakan bersama.

Meskipun demikian, Penulis merasa pernyataan Ketua MPU terkait penggalangan dana masih “kurang greget”.

Pasalnya, sejak beberapa kali seruan serupa dikeluarkan MPU, untuk persoalan donasi, selalu saja MPU hanya menghimbau Pemerintah untuk melaksanakan hal tersebut.

Dengan kata lain, MPU hanya “berpangku tangan” pada Pemerintah. Padahal kita berharap ada kebijakan yang lebih nyata dari MPU terhadap hal ini.

Misalnya, MPU bisa saja menyerukan kepada masjid-masjid di seluruh provinsi Aceh untuk menggalang dana solidaritas melalui “celeng-celeng” tabungan amal masjid.

Penulis teringat pada apa yang disampaikan oleh Ustadz Masrul Aidi, Lc., salah satu da’i kondang Aceh yang juga Pimpinan Dayah Babul Maghfirah Aceh Besar.

Suatu ketika dalam salah satu pengajian yang beliau pimpin, beliau menyinggung persoalan penggalangan dana solidaritas oleh Pemerintah Aceh yang terkesan sangat lambat.

Waktu itu kebetulan bertepatan dengan momen musibah Gempa Bumi yang melanda Turkiye dan menggugurkan lebih dari 45.000 korban jiwa.

Berminggu-minggu penggalangan donasi tersebut, tak kunjung selesai. Sementara kejadian musibah tersebut saja sudah hampir satu bulan lamanya.

Padahal Turkiye, termasuk salah satu negara yang paling awal mengulurkan tangannya untuk membantu Rakyat Aceh di hari-hari pertama saat musibah Gempa Bumi dan Tsunami melanda tahun 2004 silam.

Beliau mengkritisi, mengapa tidak masjid-masjid diberdayakan dalam penggalangan dana tersebut. Misalnya, sumbangan masyarakat untuk masjid yang dimasukkan dalam celeng atau kotak-kotak amal masjid dialihkan dalam jangka waktu tertentu untuk donasi tersebut.

Tentunya, hal tersebut diberitahukan terlebih dahulu pada masyarakat di sekitar masjid tersebut sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.

Bahkan, masyarakat yang ingin berdonasi untuk para korban gempa dimaksud juga diarahkan untuk menyumbang melalui celengan tersebut.

Beliau yakin, dalam rentang waktu satu pekan saja, dana yang terkumpul sudah melebihi dana yang selama ini dikumpulkan oleh Pemerintah Aceh selama berminggu-minggu tersebut.

Penulis kira, kritik tersebut merupakan masukan inovatif yang agaknya dapat dilakukan oleh MPU hari ini. Melalui celengan masjid, donasi untuk Palestina akan sangat cepat tergalang, mungkin dengan nominal yang di luar bayangan kita selama ini, mengingat jiwa dermawan masyarakat Aceh yang begitu tinggi.

Selama caranya mudah, masyarakat tentu tidak sungkan dan “ribet” untuk menyalurkan donasinya. Lagipula, hal itu tidaklah bertentangan dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) MPU.

Dalam Pasal 4 huruf b Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang MPU Aceh disebutkan bahwa salah satu fungsi MPU adalah “memberikan nasehat dan bimbingan kepada masyarakat berdasarkan ajaran Islam.”

Himbauan penggalangan dana melalui celengan masjid tersebut tentu termasuk dalam salah satu bimbingan yang dimaksudkan dalam Pasal 4 huruf b di atas. Bentuknya bisa melalui surat himbauan, edaran, atau bahkan fatwa, sebab dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Qanun tersebut menyebutkan bahwa di antara fatwa yang dapat dikeluarkan oleh MPU adalah mengenai sosial budaya dan kemasyarakatan.

Oleh karena itu, menurut Penulis, MPU tidak perlu khawatir untuk melaksanakan masukan Ustadz Masrul Aidi tersebut. Justru kita menunggu keberanian lembaga para cendikia tersebut untuk “unjuk gigi” kali ini, dua tiga langkah lebih maju dari sebelumnya, agar eksistensi lembaga mulia tersebut benar-benar menjadi suluh bagi Rakyat Aceh dan hal itu tentu akan mendapatkan dukungan penuh masyarakat.

Lagi pula, bila aksi tersebut berhasil, bukankah hal itu akan baik bagi lembaga ini? Siapa tahu, dengan keberhasilan tersebut, kewenangan MPU semakin diperluas. Bukan begitu?

*) PENULIS adalah pemerhati sejarah, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Merupakan alumni Dayah Pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa Aceh Besar.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkini