Oleh: Mahasiswi UIN Ar-Raniry, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan, Program Studi Ilmu Politk (Rafiqa Rahmah, Nabila Amira Septiana, Aulia Fathan, Alqadri Naufal Akbar, Awy Syah Putra, Muhamad Kemal, dan Radjafaj Maulana)
ACEH merupakan provinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sumatra, Indonesia, telah menjadi saksi berbagai peristiwa sejarah yang kaya dan kompleks. Salah satu aspek yang mencolok dari sejarah Aceh adalah konflik identitas yang tumbuh subur di tengah-tengah masyarakatnya.
Konflik ini tidak sekadar mencerminkan pertarungan atas identitas budaya dan agama, akan tetapi juga memunculkan kekecewaan yang mendalam dan, pada tingkat tertentu, mendorong gerakan separatisme yang kuat.
Sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, Aceh mengalami perubahan signifikan sepanjang sejarah modernnya. Meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah, Aceh merasakan dampak pembangunan nasional yang tidak selalu merata, sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasan di kalangan penduduknya.
Baca juga: Mantan Panglima GAM Ayah Merin Dituntut 5 Tahun Penjara dalam Kasus Korupsi Dermaga Sabang
Di tengah dinamika ini, unsur-unsur identitas lokal seperti adat istiadat, bahasa, dan agama Islam yang kuat menjadi pendorong konflik.
Konflik identitas di Aceh telah membentuk lanskap sosial dimana politik provinsi ini selama beberapa dekade. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, di Aceh mengalami berbagai perubahan yang memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakatnya.
Kekecewaan ini, dalam banyak hal, berkorelasi dengan ketidaksetaraan pembangunan antara Aceh dan wilayah lain di Indonesia. Namun, lebih dari sekadar ketidakpuasan, konflik ini mendorong sebagian masyarakat Aceh menuju gerakan separatisme yang kuat.
Pentingnya identitas lokal dalam konflik ini tidak bisa diabaikan. Aceh memiliki kekayaan budaya, bahasa, dan nilai-nilai keagamaan yang unik. Identitas ini menjadi landasan kuat bagi aspirasi separatisme, yang dipimpin oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Separatisme ini, pada dasarnya, mencerminkan semangat untuk mempertahankan identitas Aceh yang dianggap terancam oleh pengaruh pusat di Jakarta.
Awal mula konflik
Konflik identitas di Aceh merupakan sebuah narasi pahit yang mencerminkan dinamika rumit antara kekecewaan dan semangat separatisme.
Sejarah panjang konflik ini bermula dari ketidakpuasan Aceh terhadap perlakuan pemerintah pusat, yang dianggap meremehkan dan mengabaikan identitas unik dan budaya lokal. Kekecewaan ini, seiring berjalannya waktu, tumbuh menjadi api separatisme yang membara, mengancam stabilitas wilayah dan merugikan kedua belah pihak.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Aceh menjadi bagian dari negara Indonesia. Hal ini menimbulkan kekecewaan bagi sebagian masyarakat Aceh, yang merasa bahwa identitas dan budaya mereka terancam.
Baca juga: Mantan Kombatan GAM Pimpin Partai SIRA Aceh Timur, Targetkan Kursi di Setiap Dapil
Kekecewaan tersebut semakin diperparah oleh berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak menguntungkan Aceh. Misalnya, kebijakan pemerintah yang membatasi otonomi Aceh dan kebijakan pemerintah yang dianggap diskriminatif terhadap masyarakat Aceh.
Kebijakan-kebijakan tersebut semakin memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat Aceh, dan akhirnya memicu konflik identitas.