Kupi Beungoh

Pak Kun, Integritas, dan Keberuntungan Aceh – Bagian II

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kuntoro Mangkusubroto

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

KUNTORO memulai pekerjaannya dengan membawa tim kecil yang sangat efektif dari Jakarta.

Dia mulai berinteraksi dengan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari korban tsunami, elemen pemerintahan lokal, akademisi dan lembaga perguruan tinggi, aktivis NGO lokal dan nasional, dan juga berbagai NGO internasional.

Pada level yang lebih tinggi BRR berkordinasi dengan berbagai lembaga vertikal nasional, negara-negara donor, lembaga multi lateral, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Dunia, dan berbagai lembaga PBB.

Di tengah kompleksitas koordinasi berbagai pemangku kepentingan, dan status darurat milter tak membuat Kuntoro gentar.

Clash kekuatan pemerintah dengan 30.000 tentara dan 12.000 polisi berhadapan dengan ribuan pejuang dan simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memang agak mereda, sekalipun status belum dicabut.

Pertemuan pertama saya setelah beberapa hari Kuntoro di Aceh, sedikitpun ia tidak menampakkan tanda-tanda cemas, apalagi takut.

Perlahan, namun pasti ia dan lembaga yang dipimpinnya sudah berada pada posisi “fully in charge.”

Ia mulai merekrut personel -kebanyakan putera-puteri Aceh untuk semua level, baik dari kalangan kampus, aktivis pekerja sosial kemasyarakatan, sampai kepada level terbawah, semisal untuk tenaga keamanan.

Karena dimensinya sangat luas dan berbagai tingkatan, Pak Kun  mengikuti kebutuhan itu.

Ia tak segan “membajak” sejumlah personel mumpuni dari berbagai instansi vertikal.

Karena level Ketua BRR sama dengan menteri dan mempunyai mandat prioritas pertama, maka keputusannya meminta personil dari instansi nasional dengan mudah dapat dilakukan.

“Ini adalah pekerjaan rehab-rekon, tidak hanya infrastruktur,” tegasnya.

Baca juga: Pak Kun, Integritas, dan Keberuntungan Aceh - Bagian 1

Kuntoro sangat meyakini, apa yang ia kerjakan menyangkut dengan pembangunan manusia, apalagi untuk kawasan yang telah didera oleh konflik yang cukup lama.

Pak Kun dalam sebuah percakapan menyatakan bahwa justru Pak SBY yang menyemangati dirinya ketika mereka negosiasi isi Perpu BRR, bahwa membangun Aceh pascatsunami adalah membangun bangsa.

Debut pertama Kuntoro ditandai dengan 45 hari pertama keberadaan BRR, ia dan timnya telah berhasil menangani penyelesaian rencana proyek yang berjumlah sekitar 1.5 miliar dollar.

Padahal kegiatan itu telah mandek selama berbulan semenjak tsunami terjadi.

Selanjutnya, 182 proyek yang diajukan oleh bebagai LSM internasional dan negara donor berhasil diperiksa dan disetujui oleh BRR dengan nilai lebih dari setengah miliar dolar.

Kejadian ini tidak hanya menunjukkan ia mampu menyelesaikan masalah dengan cepat, namun juga memberi optimisme bagi berbagai pemangku kepentingan, terutama LSM internasional, lembaga multilateral, negara donor, dan bahkan PBB sekalipun.

Kemampuan BRR untuk menangani rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias di bawah kepemimpinan Kuntoro sangat menjanjikan.

Ia segera bergerak meminta pemerintah pusat merevisi anggaran tahun 2005.

Jumah yang diminta juga bukan sedikit, mencapai 863 juta dollar yang terdiri atas hibah, utang, dan penundaan pembayaran utang. 

Hal itu sangat mustahil bisa terjadi, tanpa bukti kapasitas dan kepiawaiannya dalam melobi Kementrian Keuangan dan berbagai Kementrian terkait dan DPR RI.

Kuntoro dan BRR yang dipimpinnya segera menunjukkan “taringnya” sebagai “lembaga super” ketika menyederhanakan jalur birokrasi dari kementerian dan lembaga terkait.

Hal yang menjadi fokusnya terutama yang menyangkut lalu lintas barang dan orang yang terkait dengan proses rehab-rekon Aceh.

Ada 1300 kontainer barang-barang bantuan yang sudah tertahan selama beberapa bulan di Pelabuhan Belawan, karena aturan birokrasi yang sangat rumit.

Hal itu segera ditangani melalui kontak dengan Dirjen Bea Cukai dan Kementrian Keuangan.

Ia juga menelepon Kapolri meminta pengurusan izin pekerja asing untuk program rehab-rekon disederhanakan, dari yang sedang dikerjakan oleh Polda Aceh, yang hanya mengikuti aturan yang berlaku.

Pemandangan barisan antrian panjang pria wanita  dari berbagai warna kulit dan wajah yang mengurus izin kerja dengan bayaran 50 ribu rupiah mendadak hilang setelah itu.

Hal lain yang juga tidak kalah rumitnya urusan visa pekerja asing.

Untuk kunjungan wisatawan apalagi pekerja reguler, urusan seperti itu dianggap biasa.

Tetapi jika standar itu diberlakukan kepada pekerja kemanusian untuk mengurus “mega bencana” seperti itu, seharusnya lembaga yang menangani membuat terobosan tersendiri.

Baca juga: Mantan Kepala BRR Aceh Kuntoro Mangkusubroto Meninggal Dunia, Sosok di Balik Pemulihan Pasca Tsunami

Kuntoro membuat improvisasi, tepatnya inovasi dalam hal visa.

Hasilnya ada jenis visa baru di Indonesia.

Namanya “visa on location”, bukannya visa on arrival yang hanya untuk keperluan wisatawan saja.

Seperti pernah diceritakan kepada beberapa media, dengan izin Kuntoro, hanya sekedar melalui email seorang pekerja kemanusian di belahan bumi Eropa, akan keluar visa kerjanya hanya dalam hitungan satu hari saja.

Atas penglaman itu akhirnya BRR membangun sendiri “one stop shop” kantor satu atap untuk pergurusan imigrasi, bea cukai, dan keperluan lain yang berurusan dengan  kelancaran kinerja BRR yang terkait bukan wilayah “non domestik”.

Ini adalah bukti betapa perlunya terobosan-terobosan dari model pikiran “out of the box” yang ditekuni dan diperkenalkan oleh Kuntoro, utamanya dalam menangani kawasan bencana.

Kuntoro telah berhasil membangun sebuah “birokrasi mega bencana” yang efisien.

Pembangunan “partisipatif” adalah sebuah konsep yang kemudian dijadikan “jargon” pembangunan.

Ini seakan menjadi ayat kitab suci yang wajib diamalkan oleh banyak kalangan, terutama birokrat pemerintah.

Enak dihapal, namun sulit dilakukan adalah kalimat pamungkas untuk menyimpulkan realitas pembangunan sehari-hari, di desa, di kota, dan dimana-mana tentang partisipasi itu.

Hal inilah yang sangat tidak diharapkan Kuntoro terjadi dalam penanganan rehab-rekon di bawah komandonya.

Kuntoro tahu disamping pendekatan participatory itu ideal, karena menempatkan korban tsunami sebagai subjek, bukan objek pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Ia juga sangat hapal semua donor, baik negara maupun nonnegara, mensyaratkan proses partisipatif dalam proses rehab-rekon yang dilakukan BRR.

Tentang bagaimana komitmennya terhadap keniscyaan pembangunan partisipatif sebenarnya dimulai ketika memberikan pidato pertama setelah ia dilantik sebagai ketua BRR, di depan presiden SBY.

Ia menyebutkan prioritas pertamanya adalah bertemu dengan masyarakat untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan masyarakat setempat.

Ia yakin proses rekonstruksi yang akan dijalankan oleh lembaganya lebih dari sekedar pembangunan fasilitas fisik.

Program apapun, terutama proyek-poyek perumahan dan pemukiman tidak dapat dipisahkan dari partisipaisi masyarakat, karena di situ akan ada ketangguhan dan kebijaksanaan masyarakat lokal.

Istilah yang kemudian sangat populer di kalangan pemangku kepentingan rehab-rekon Aceh Nias adalah “community driven development.”

Masyarakat gampong yang menjadi korban tsunami menjadi penentu dan acuan dasar dalam proses rehabilitasi kehidupan mereka.

Hal itu terjadi melalui proses dialog yang tak pernah putus dari  BRR, maupun dari donor, ataupun LSM yang menanganinya.(Bersambung)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

 

Berita Terkini