Kupi Beungoh

SBY: Perdamaian, Nasib Guru di Aceh

Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Akhsanul Khalis, dosen swasta dan penulis lepas yang di berdomilisi di Banda Aceh.

Oleh: Akhsanul Khalis

Pak SBY begitulah panggilan akrab yang dikenal rakyat Indonesia.

Tanggal 25 Desember 2023, beliau kembali mengunjungi Aceh untuk kesekian kalinya.

Dalam lawatan ini, beliau melakukan sejumlah kegiatan, agenda terpenting tentunya beliau ingin menyapa dan bersilaturahmi dengan masyarakat Aceh.

Memang sosok SBY selalu lekat dalam ingatan rakyat Aceh.

Masyarakat ketika ditanya bagaimana dengan sosok presiden yang keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono?

Semua akan menjawab secara tampilan fisik: berpostur badan tinggi, berwibawa, karismatik dan ganteng.

Tidak salah dengan jawaban itu, namun gambaran fisik sebagai manusia: makhluk baharu akan lekang oleh usia.

Hanya saja ketika ditanya apa jasa SBY untuk rakyat?

Ini yang tidak akan mudah lekang dalam ingatan, pasti dengan jabatan Presiden Indonesia selama 2 periode, banyak sekali jasa untuk bangsa dan negara ini.

Diantara sekian banyak jasa SBY untuk rakyat Indonesia, tentu penulis akan menjawab, bahwa ada jasa beliau paling monumental yaitu selain keberhasilan mewujudkan perdamaian Aceh, juga membela nasib guru.

Apa hubungannya SBY dan guru sehingga harus dikenang?

Jawaban itu tidak terlepas dari pandangan subjektif penulis yang berlatar belakang seorang anak guru yang tinggal di daerah yang notabene baru pulih dari ketertinggalan akibat didera konflik bertahun-tahun.

Tidak hanya anak Aceh, toh kalau ditanya ke seluruh anak guru di Indonesia, mereka pasti merasakan kekaguman serupa untuk pak SBY.

Selaku anak guru yang besar dan tinggal Aceh, melihat,membaca dan merasakan bagaimana konflik bersenjata meluluhlantakan semua aspek sosial di Aceh, pendidikan adalah korban pertama dari situasi ketidakpastian itu.

Konflik Aceh menghancurkan pendidikan Aceh hancur lebur: sekolah dibakar, guru jadi korban penembakan, guru di pelosok Aceh merasa tidak aman ketika pergi mengajar ke sekolah, kehidupan ekonomi guru yang sangat  berkecukupan, tetapi para tenaga pendidik di Aceh di masa itu tidak surut untuk mengabdikan diri untuk anak negeri.

Perubahan generasi muda Aceh saat ini tidak terlepas dari jasa guru-guru yang berani bertaruh hidup di masa Aceh sedang berkecamuk perang.

Hikmah dibalik bencana

Tahun 2004, mungkin situasi paling dramatis di awal pemerintahan SBY. 20 Oktober 2004, SBY dilantik sebagai Presiden ke 6 Republik Indonesia, berselang 2 bulan setelah itu, 26 Desember bencana gempa bumi dan  Tsunami  menerjang pesisir pantai Aceh.

Di kala itu, situasi bencana Tsunami yang dahsyat itu betul-betul menguji kepemimpinan SBY, karena sampai di penghujung tahun 2004, konflik Aceh belum mereda dan status darurat sipil masih berlaku. Aceh masih soliter.

Dalam situasi darurat, beberapa kota di Aceh, hancur, kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi lumpuh total. Krisis kemanusian sudah didepan mata.

SBY mengambil sikap dan keputusan yang tepat: Aceh harus dibuka pintu darurat untuk mendapatkan bala bantuan Internasional.

Kehancuran akibat Tsunami, bantuan internasional untuk korban mengalir deras ke Aceh. Tahun 2005, semua pihak baik itu Gerakan Aceh Merdeka(GAM) dan Pemerintah Indonesia mulai sama-sama menahan diri.

Moment itu dijadikan awal untuk merajut perdamaian di Aceh. Perlahan-lahan kedua pihak membuka diri, dan klimaksnya, 16 Agustus 2005, GAM dan Pemerintah Indonesia sepakat menandatangani perjanjian perdamaian di Helsinki.

Berkat perdamaian yang tercipta di bawah kepemimpinan SBY, situasi Aceh kian berubah, denyut nadi pembangunan terus berjalan.

Perubahan Nasib Guru

Dunia pendidikan di Aceh seiring waktu juga memulihkan dirinya, guru-guru di Aceh mulai ikut merasakan perubahan.

Karena berselang waktu, di tahun 2005 lahirlah kebijakan sertifikasi guru berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008.

Dari itu dimulailah cerita: guru tidak hanya sekedar dianggap “pahlawan tanpa tanda jasa”, seperti yang dikisahkan dalam lagu Oemar Bakri yang dinyanyikan Iwan Fals, lagu yang menceritakan balada kehidupan guru, jauh dari kata sejahtera.

Guru memang dikenang dan dijuluki pahlawan tanda jasa, namun guru juga manusia yang butuh kesejahteraan dan dihargai dalam rangka mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.

Semenjak Indonesia merdeka, profesi guru selalu jauh dari kesejahteraan, terutama sekali di daerah.

Pembangunan Indonesia awal kemerdekaan, Orde Lama sampai awal reformasi, kepedulian terhadap guru dinilai masih sangat kurang.

Begitu juga konsep pembangunan di era Orde Baru berfokus kepada pembangunan fisik dan bernuansa teknokratis.

Awal era reformasi, pemerintah juga masih disibukkan perubahan struktur pemerintahan.

Komitmen terhadap kesejahteraan guru masih  belum tersentuh sama sekali.

Bahkan kita terlalu sering diperdengarkan cerita sejarah, ketika Jepang kalah perang, hal yang pertama ditanya oleh kaisar Jepang adalah guru, dan Jepang berhasil bangkit menjadi negara maju. Itu cerita, status profesi guru masih dikesampingkan.

Setiap era punya warisan tersendiri, maka fakta tak terbantahkan, komitmen terhadap kesejahteraan guru berhasil diwujudkan ketika pemerintahan presiden SBY.

Dengan konsep pembangunan yang menekankan four track strategy: pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro- environment Dan konsep itu tertuang dalam agenda prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Kebijakan sertifikasi guru menjadi andalan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia.

Sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pendidik yang  sesuai standar mutu, hal ini akan mengarahkan guru menjadi profesional.

Status profesional inilah yang tentu akan memberikan reward (gaji tunjangan) lebih kepada guru.

Kebijakan sertifikasi guru solusi untuk mengangkat derajat tenaga pendidik sebagai bagian kelas pekerja yang selama ini rentan dieksploitasi.

Testimoni anak Guru di Aceh

Meskipun aturan kebijakan sertifikasi guru itu bersifat nasional, tetapi guru di Aceh paling merasakan manfaatnya setelah sekian lama hidup soliter akibat  konflik bersenjata. Kondisi itu bukan sekedar dongeng, namun fakta.

Dan itu penulis rasakan sendiri.

Ini kesaksian penulis, saya berhasil menyelesaikan magister di Universitas Gadjah Mada itu berkat kemampuan kedua orang tua saya sebagai guru sertifikasi, biaya kuliah saya murni dari penghasilan mereka sebagai guru.

Rata-rata guru di Aceh yang mendapatkan sertifikasi relatif mampu menyekolahkan anaknya sampai magister. Testimoni yang sama juga pernah diungkapkan beberapa anak guru sertifikasi di Aceh.

Bahkan pengalaman beberapa teman saya yang orang tuanya berstatus guru sertifikasi juga berhasil menempuh kuliah di level magister di kampus ternama nasional.

Ini tidak pernah terbayangkan dalam pikiran anak guru khususnya di Aceh sebelum adanya kebijakan sertifikasi guru.

Anak-anak guru patut bersyukur dengan kebijakan sertifikasi guru yang lahir ketika pemerintahan era Presiden SBY.

Bagi saya pribadi, fondasi kesejahteraan terhadap guru lahir dari keteladanan kepemimpinan SBY, karena dalam sejarah pembangunan Indonesia, guru paling terabaikan dalam ranah pekerja profesional.

Dan SBY menjawab kegelisahan itu, kemudian berhasil merealisasikan kebijakan menyejahterakan guru, sampai kebijakan sertifikasi guru masih berlanjut di era sekarang.

 

Penulis adalah dosen swasta dan penulis lepas yang di berdomilisi di Banda Aceh.

 

Berita Terkini