Pengungsi Rohingya

PBB Naikkan Jatah Makan Pengungsi Rohingya dari Rp 31 Ribu Jadi Rp 155 Ribu per Orang

Penulis: Sara Masroni
Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anak-anak pengungsi Rohingya yang tinggal sementara di Balee Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh. PBB resmi menaikkan jatah makan pengungsi Rohingya dari 2 USD (Rp 31 ribu) menjadi 10 USD (Rp 155 ribu) per orang.

SERAMBINEWS.COM - Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi menaikkan jatah makan pengungsi Rohingya dari 2 USD (Rp 31 ribu) menjadi 10 USD (Rp 155 ribu) per orang di Bangladesh.

Program Pangan Dunia (WFP) pada Selasa, (2/1/2024) mengucapkan terima kasih kepada para pendonor yang sudah menyelamatkan upaya kekurangan uang badan internasional itu.

PBB tahun lalu telah memotong bantuan pangan kepada para pengungsi sebesar sepertiganya, menjadi 8 USD (Rp 124 ribu) setiap bulannya.

Hal itu karena dana yang terkumpul kurang dari setengah yang dibutuhkan untuk mendukung mereka atau sekitar 876 juta USD (Rp 13,6 miliar).

Diketahui hampir satu juta anggota minoritas Muslim dari Myanmar tinggal di kamp bambu dan plastik di distrik perbatasan Cox's Bazar di Bangladesh.

Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari tindakan keras militer pada tahun 2017.

“Memburuknya situasi pangan dan gizi di kamp-kamp pengungsian sangat mengkhawatirkan,” kata Dom Scalpelli, direktur WFP di Bangladesh dalam sebuah pernyataan melansir Reuters, Jumat (12/1/2024).

 

 

Dia mengatakan, semua ini berkat kontribusi mereka yang murah hati untuk komunitas donor mendukung Rohingya.

"Kita sekarang dapat memperoleh peningkatan ini dan juga menambahkan beras yang diperkaya secara lokal ke dalam paket bantuan pangan WFP," kata Scalpelli.

Baca juga: Cerita Warga Lampineung Setelah Rohingya Sebulan di Balee Meuseuraya Aceh, Pernahkah Buat Onar?

Baca juga: Nasi Kebuli dan Tangan Kecil Dira untuk Rohingya

WFP mengatakan survei terbaru menunjukkan malnutrisi di kamp-kamp Rohingya di Bangladesh berada pada titik tertinggi sejak gelombang pengungsi masuk pada tahun 2017.

Dan kondisi ini telah melampaui ambang batas darurat sebesar 15 persen, menurut klasifikasi darurat Organisasi Kesehatan Dunia.

Mohammed Mizanur Rahman, komisaris bantuan dan repatriasi pengungsi Bangladesh di Cox's Bazar, mengatakan target saat ini adalah menaikkan jatah menjadi 12,5 USD per orang per bulan.

"Pemotongan tahun lalu berdampak besar pada pengungsi Rohingya," kata Rahman, berterima kasih kepada Amerika Serikat karena telah meningkatkan kontribusinya kepada WFP.

"San merupakan penyebab utama kekurangan gizi di kalangan anak-anak yang tinggal di kamp-kamp tersebut," tambahnya.

Kini, semakin banyak warga Rohingya yang pergi bersama anak-anak mereka pada tahun 2023, naik perahu untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Hal ini seiring memudarnya harapan untuk kembali ke Myanmar atau dimukimkan kembali dan kehidupan di kamp pengungsi semakin sulit, kata kelompok bantuan.

Hingga 30 November, 3.468 warga Rohingya melakukan perjalanan perahu yang berisiko pada tahun lalu.

Hampir setengah dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, kata WFP. Sebagian besar menuju Indonesia atau Malaysia.

“Anak-anak kami kekurangan gizi. Setidaknya kami sekarang dapat membeli bahan-bahan pokok dan memberi mereka makan,” kata pengungsi Rohingya Shafiqur Rahman, ayah dari seorang putra berusia dua tahun.

Baca juga: VIDEO Momen Abu Mufayyas Anak dari Pengungsi Rohingya Bacakan Ayat Suci Alquran

WFP mengatakan masih ada kesenjangan pendanaan sebesar $61 juta untuk menaikkan jatahnya menjadi $12,5.

“Kenaikan ini tidak akan cukup karena harga kebutuhan pokok meroket. Tapi ini masih bagus,” kata Mohammad Taher, seorang pengungsi Rohingya di Cox’s Bazaar.

“Dunia tidak boleh melupakan kita. Mereka harus maju dan membantu kita semampu mereka,” pungkasnya.

Cerita Warga Lampineung Setelah Rohingya Sebulan di Balee Meuseuraya Aceh

Sementara di sisi lain, sudah sebulan pengungsi Rohingya ditempatkan sementara di Balee Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh sejak tiba pada Senin (11/12/2023) lalu.

Berbagai cerita pun disampaikan oleh warga yang tinggal tepat di sekitar Gedung BMA Lampineung itu.

Salah seorang warga Gampong Kota Baru, Kecamatan Kuta Alam mengatakan, sejauh ini belum ada informasi terkait para pengungsi Rohingya yang berbuat onar dan bersinggungan langsung dengan masyarakat setempat.

"Belum ada ya, karena memang mereka dijaga ketat oleh polisi dan ada garis batas yang tidak boleh dilewati," kata warga setempat yang tidak ingin disebutkan namanya saat ditemui Serambinews.com, Minggu (7/1/2024).

Secara umum, pengungsi Rohingya berdasarkan pantauannya rutin melaksanakan shalat berjamaah walau tidak semua.

"Ya, seperti kita juga ada yang shalat dan tidak. Tapi saya pernah tes bacaan Alquran mereka di sana, bisa ternyata walau tidak semua," ungkap pria tersebut.

Dia sendiri secara pribadi pernah memberikan sedekah kepada para pengungsi sebagai sesama muslim dan manusia.

Meski demikian tetap tidak sepakat bila negara memfasilitasi mereka untuk tinggal di Aceh dan tidak dipulangkan ke negaranya.

Menurut dia, pemerintah pusat harus membangun komunikasi dengan Kedubes Myanmar terkait solusi mengembalikan para pengungsi ini ke negara asalnya dalam keadaan baik dan selamat.

Hal yang sama diungkapkan oleh Alif Rizki Mujla, warga yang berjualan tepat di depan BMA.

Dia mengaku sejauh ini para pengungsi tidak pernah berbuat onar.

Walau sepakat menolak, namun dia tidak setuju dengan gerakan masif yang dilakukan di media sosial terkait penyebaran hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian untuk para pengungsi Rohingya.

"Saya ingin mereka dipulangkan atau jangan di Aceh lah, tapi tak sepakat dengan sebar hoaks. Kasian kalau ada apa-apa, banyak anak kecil juga di sana," ucap Alif.

Pendapat yang sama juga disampaikan warga setempat lainnya.

Pihak penegak hukum diminta menjaga laut sekitaran Aceh agar tidak lagi masuk pengungsi Rohingya ke provinsi paling ujung barat Indonesia ini.

"Tapi yang di sini setahu saya mereka tidak pernah buat onar, kita warga di sini pun tidak ada yang reaktif dan arogan misal mendemo mereka keluar," kata wanita penduduk asli Gampong Kota Baru itu.

"Kita cuma menolak mereka dengan memasang spanduk-spanduk kecil seperti di pagar (BMA) itu dan mendesak pemerintah agar segera mencari solusi, itu saja," pungkasnya.

(Serambinews.com/Sara Masroni)

BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkini