Opini

Kampanyetainment dalam Panggung Politik Modern

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Saiful Akmal, Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Saiful Akmal, Guru Besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh

MUSIM kampanye di tahun politik membawa warna dan semangat tersendiri bagi masyarakat. Selain menjadi ajang untuk menawarkan visi dan solusi, musim kampanye juga menjadi panggung bagi praktik “kampanyetainment” saat kampanye bertemu dengan hiburan atau entertainment. Fenomena ini melibatkan penggunaan strategi hiburan, baik yang positif maupun negatif untuk menarik perhatian publik.

Selain itu “kampanyetainment” juga berupaya menciptakan interaksi antara aktor politik dengan calon pemilih dan membangun citra positif kandidat yang diinginkan atau sebaliknya merekayasa citra negatif kandidat rival. Inilah saatnya di mana pemasaran politik dalam wujud kampanye bertemu dengan hiburan, dimana kita bisa melihat dengan jelas bagaimana drama dan ketegangan politik berpadu padan dengan sorotan panggung dan kilatan cahaya kamera para kuli tinta.

Fenomena ini awalnya memang berasal dari apa yang dikenal dalam komunikasi dan pemasaran politik sebagai politainment (Nieland, 2008; Schicha, 2003) atau politicotainment, sebuah hiburan politik. Nah, kampanyetainment yang merupakan derivasi atau turunan dari praktik politik berorientasi pasar atau konsumen ini persis layaknya ketika pemirsa mencari hiburan untuk keluar dari hiruk pikuk keseharian bekerja dengan menyaksikan sinetron, telenovela, drama Korea atau film-film aksi laga, dan mendengarkan lagu-lagu yang enak didengar.

Masyarakat ingin keluar dari kepenatan, kejenuhan dan kebosanan politik model lama, atau bisa juga kita sebut sebagai eskapisme, untuk mencari hal-hal yang pada dasarnya tidak selalu dan tidak semuanya substansial. Bahkan, jika mau lebih terang-terangan, konten “kampanyetainment” lebih ke hal-hal yang ringan, remeh-temeh, dan bukan substansial. Sehingga, pada akhirnya sering kali “kampanyetainment” selalu dikelilingi oleh para seleb politik dengan semua konten sensasionalnya (Grabe, Zou & Barnet, 2001).

Meskipun sebenarnya jika mau dikembangkan lebih lanjut, “kampanyetainment” bisa juga memasukkan informasi politik serius dengan formula yang ringan-ringan saja dan dibuat dalam serial konten yang dikemas apik dan kreatif.

Rekayasa Medsos

Pentingnya media sosial dalam kampanye politik tidak bisa diabaikan. Para kandidat menggunakan platform di media sosial baik YouTube, X (dulu Twitter), TikTok, Instagram dan lain sebagainya sebagai alat untuk menciptakan konten kampanyetainment yang dapat dengan cepat menyebar alias mudah diviralkan. Video pendek yang lucu, meme, sticker dan wawancara santai menjadi senjata ampuh dalam menjangkau pemilih muda yang cenderung aktif di media sosial.

Ambil contoh kampanye kandidat presiden No.1 yang sempat viral seperti “Roasting Anies” di sosial media oleh para influencer, tayangan “Desak Anies”, netizen fanspage “AnisBubble” layaknya ikon K-Pop  panggilan “Abah Online” dan “Live Kampanye TikTok”.
Selanjutnya selepas debat kandidat presiden perdana di televisi, sang calon presiden melakukan gerakan tangan simbolik layaknya di film seri pahlawan super Holywood, dan menutup pidatonya dengan ucapan “Wakanda No More: Indonesia Forever”, sebuah slogan modifikasi dari film seri pahlawan super kreasi Marvel berjudul “The Black Panther: Wakanda Forever” di tahun 2022.

Sejumlah aktivitas “kampanyetainment” di atas adalah salah satu model dari sekian banyak ketika rekayasa citra di media sosial dilakukan untuk menyampaikan informasi dan program politik secara tidak biasanya.

Kemudian kandidat nomor urut 2 juga dengan twist yang sedikit berbeda, mencoba mencari istilah-istilah baru lewat Gibran misalnya. Saat debat cawapres, ia menggunakan istilah “SGIE” sebagai senjata kepada kandidat cawapres kandidat nomor urut 1, Cak Imin dan istilah “Greenflation” sebagai amunisi untuk bertanya kepada kandidat nomor urut 3, Prof Mahmud MD.

Kemudian di sosial media para fans dan netizen langsung viral dengan nama pelesetan “Gibran Raka Booming”. Tidak berhenti di situ, Gibran juga berlagak seolah-seolah berusaha mencari jawaban yang tidak ditemukan ala karakter Sun Go Kong dalam serial sinetron “Monkey King” yang pernah popular tahun 2000-an di stasiun televisi nasional dalam prosesi debat cawapres kedua saat merespons jawaban Prof Mahfud MD, cawapres nomor urut 3. Kandidat nomor urut 2 juga semakin lengket dengan istilah “gemoy” dari media sosial.

Meskipun kandidat nomor urut 3 cenderung belum seaktif dan seheboh kandidat lainnya dari sisi sensasionalisme sosial media, mereka juga sepaham bahwa kampanyetainment di sosial media menjadi penting. Hal ini dibuktikan dengan upaya mereka merekrut konten kreator untuk berinteraksi dengan calon pemilih.

Di sisi lain merespons Gibran, Prof Mahfud MD dalam program yang juga unik, “Tabrak Prof!”, juga menyebut pertanyaan tersebut sebagai “receh” alias tidak perlu dijawab. Prof Mahfud disebut – sebut oleh netizen pendukungnya sebagai orang yang “berkelas” karena tidak menghiraukan  provokasi calon lain saat debat dan tetap tenang.

Dukungan publik

Kerja sama dengan selebritas atau tokoh terkenal dapat memberikan keunggulan besar. Endorsement dan testimoni dari mereka tidak hanya meningkatkan daya tarik kampanye, tetapi juga dapat memperluas jangkauan pesan politik.

Pemilih yang mungkin tidak terlalu tertarik pada politik dapat terpengaruh oleh dukungan tokoh idola mereka. Selain itu seleb politik juga bisa dimaknai dengan politisi yang pengikutnya banyak, sudah lama terjun di politik atau punya representasi visual menarik.

Dalam praktik spin doctor di dunia kampanye, komunikasi dan pemasaran politik, endorsemen, propaganda dan testimoni dari orang-orang terkenal secara tradisional bukanlah hal baru.

Hanya saja di tengah pertarungan antar media yang sudah tidak lagi apolitis, dinamika dan fenomena seleb politik semakin mendapatkan tempatnya. Apalagi di “kampanyetainment”, ketika seseorang harus mampu merepresentasikan diri secara popular di mata masyarakat, tidak peduli apakah itu benar atau tidak.

Kehadiran selebritas dalam dunia politik membawa dampak yang signifikan, tidak hanya dalam meraih popularitas bagi kandidat tetapi juga dalam membentuk persepsi publik terhadap isu-isu politik.

Artis, atlet, komedian, ustaz dan tokoh populer lainnya saat ini begitu berperan dalam dunia politik, membawa pengaruh mereka ke dalam arena kampanye. Dengan pengikut, pendengar dan keterjangkauan yang luas mereka menjadi motor utama untuk meraup suara bagi partai politik.

Selain itu dalam konteks follower di media sosial, seleb politik juga memainkan peran kunci dalam memperkuat hubungan antara selebritas dan politik. Postingan dukungan, dan interaksi langsung dengan penggemar melalui platform digital menciptakan keterlibatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Selain itu dalam proses “kampanyetainment”, produk merchandise kreatif dan identitas visual jika dikombinasikan dengan seleb politik akan menjadi begitu luar biasa. Produk-produk kampanye seperti kaos, topi, dan stiker sering kali menjadi medium yang efektif untuk menyebarkan pesan politik.

Desain kreatif dan slogan yang cerdas menciptakan identitas visual yang kuat, membantu pemilih mengingat dan mengidentifikasi kandidat dengan mudah. Dukungan seleb politik meski demikian bukan hanya tentang politik, namun juga tentang upaya menciptakan koneksi emosional antara pemilih dan kandidat. Penggemar yang memiliki ikatan dengan seleb politik cenderung membawa simpati dan dukungan mereka ke dalam arena politik.

Meskipun “kampanyetainment”, dan saudara dekatnya yaitu selebritas politik dan rekayasa pencitraan di media sosial bisa membuat politik terkesan sebagai sebuah hal yang ringan, namun sebagaimana yang diingatkan oleh Nieland (2017), ia juga bisa menimbulkan ketergantungan, khususnya terhadap “ekstasi” kenikmatan yang didapatkan dari “junk food politic” alias asupan gizi politik yang tidak sehat.

Misalnya, kontroversi yang melibatkan selebritas dan terlalu fokus pada hiburan dapat berdampak negatif pada citra kandidat yang mereka dukung, mengingat hubungan erat antara politik dan opini publik terus berubah. Belum lagi jika terjadi aksi lompat pagar para seleb antar partai politik demi meraup suara, berbasis hoax dan mengelabui etika dan substansi.
Sebagai penutup, “kampanyetainment” telah menjadi elemen tak terpisahkan dari strategi politik modern. Inilah zaman di mana politik tidak hanya harus dipahami, tetapi juga dinikmati!

Berita Terkini