Seharusnya, tambah Nurzahri, kondisi itu bisa membuktikan bahwa periode 15 tahun Partai Aceh berpartisipasi dalam kepemiluan di Indonesia telah menunjukkan bagaimana ketaatan Partai Aceh terhadap konstitusi.
“Seharusnya Panglima TNI juga adil dalam melihat seluruh partai yang ada di Indonesia, baik lokal maupun nasional karena keduanya dilindungi oleh konstitusi dan aturan yang sah di negara ini.
Bahkan kami menantang Panglima TNI untuk mengeluarkan pernyataan tendensius yang sama terhadap partai-partai nasional yang kader-kadernya ada yang terlibat dengan terorisme dan jaringan-jaringan terlarang di Indonesia,” kata Nurzahri.
Bahkan jika berani, Panglima TNI bisa mengeluarkan pernyataan yang sama terhadap kandidat Presiden yang nyata-nyata tidak menerima hasil pilpres yang telah ditetapkan oleh KPU.
“Atau jangan-jangan, pernyataan Panglima TNI ini hanya sekedar mengalihkan isu terkait dengan penolakan hasil pilpres?” demikian Nurzahri.
Kritikan terhadap Panglima TNI juga disampaikan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Aceh.
Ketua PSI Aceh, Zulkarnaini Syeh Joel menegaskan pihaknya menghormati posisi dan otoritas Panglima TNI dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara, termasuk dalam menyampaikan analisis mengenai situasi di berbagai wilayah, termasuk Aceh.
"Namun demikian, kami juga merasa perlu untuk menyampaikan bahwa pernyataan Panglima TNI justru dapat menimbulkan kesan yang kurang tepat dan potensial memicu ketegangan di Aceh,” ungkap Syeh Joel.
Ia menyatakan, fakta yang telah terjadi sebenarnya menunjukkan bahwa proses pemilihan yang melibatkan partai lokal di Aceh sejak tahun 2009 telah berjalan dengan lancar dan damai serta berangsur normal kondisi keamanan di Aceh dalam situasi pemilu di Bumi Serambi Mekkah.
Ini adalah bukti konkret bahwa masyarakat Aceh telah menunjukkan kematangan dan sudah dewasa dalam berpolitik dan menyukseskan pesta demokrasi. (*)