Negara-negara Otoriter Bersatu dan Makin Kuat, NATO Mulai Was-was & Sebut Jadi Ancaman Bagi Barat

Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Rusia, Vladimir Putin bertemu dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un. Mereka bertemu di lokasi peluncuran roket luar angkasa paling modern di Rusia pada Rabu (13/9/2023).

SERAMBINEWS.COM -- Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mulai wa-was terhadap keberadaan negara-negara yang mereka sebut sebagai 'negara otoriter'.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memperingatkan bahwa negara otoriter tersebut selama ini menjadi penentang dan semakin kuat.

Negara otoriter yang disebut adalah Rusia, Tiongkok, Iran dan Korea Utara. Ia menyebutkan negara-negara tersebut kini mulai bersatu dan selaras serta menjadi ancaman yang besar bagi Barat.

Ancaman tersebut kata dia, kian hari kian menjadi. Keempat negara yang tak mau diatur oleh Barat tersebut telah melakukan kerjasama sendiri hingga mereka semakin kuat.

“Tiongkok menopang ekonomi perang Rusia, mengirimkan komponen-komponen penting bagi industri pertahanan, dan sebagai imbalannya, Moskow menggadaikan masa depannya ke Beijing,” kata Stoltenberg dalam sebuah wawancara dengan BBC, Minggu (7/4/2024).

Sementara Rusia yang sedang berperang melawan Ukraina tersebut, terus menjalin kerjasama memberi teknologi ke Iran dan Korea Utara dengan imbalan dua negara itu memasok senjata.

Karenanya, Stoltenberg meminta kepada para anggotanya agar menjalin kerjasama dengan negara-negara maju yang di luar NATO.

"Perlu kerja sama dengan negara seperti Jepang dan Korea Selatan untuk melawan aliansi kekuatan otoriter yang lebih kuat ini,” ujar Bos NATO ini.

Diberitakan Russia Today, bahwa Moskow dan Beijing memang telah menjalin hubungan dekat sejak masa Uni Soviet.

Belum lama ini mereka berjanji untuk meningkatkan kerja sama bilateral di berbagai bidang.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menyatakan pada tahun 2022 bahwa kemitraan strategis mereka “tidak ada batasnya.”

Tiongkok menolak menyalahkan Rusia atas konflik di Ukraina dan berulang kali menuduh AS dan NATO mempunyai “mentalitas Perang Dingin” dan berusaha memaksakan kehendak mereka pada seluruh dunia.

Putin mengatakan pada bulan Februari bahwa Barat masih mempertahankan “kebiasaan kolonialnya.”

Sementara Iran dan Rusia yang telah lama bekerjasama juga berkolaborasi saat perang Ukraina. Negara Mulah ini mengaku telah mengirimkan sejumlah kecil drone ke Rusia sebelum Moskow melancarkan operasi militernya di Ukraina pada Februari 2022.

Kendati demikian, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan bahwa tentara Rusia hanya menggunakan senjata produksi dalam negeri untuk melawan pasukan Kiev.

Gambar selebaran yang disediakan oleh kepresidenan Iran ini menunjukkan Presiden republik Islam Ebrahim Raisi (kanan) menyambut Presiden Rusia Vladimir Putin di Teheran pada 19 Juli 2022. (AFP PHOTO/IRANIAN PRESIDENCY)
Halaman
12

Berita Terkini