Taufiq Abdul Rahim, Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh
PERHELATAN demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak akan digelar pada Rabu 27 November 2024. Ini bermakna pelaksanaan Pilkada akan diselenggarakan secara nasional berdasarkan keputusan Peraturan Komisi pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024, Tentang Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota tahun 2024.
Dengan demikian Aceh semestinya mengacu kepada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang merupakan landasan hukum “Lex Specialist” Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, yang mengatur tentang Pemerintahan Aceh Pasal 65 Ayat 1 tentang Pemilihan Kepala Daerah di Aceh.
Dalam hal ini UUPA memerintahkan Pilkada 5 tahun sekali, mesti dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sebagai pemegang kekuasaan politik eksekutif dan legislatif di Aceh yang sangat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dan penegakan UUPA tersebut bagi kepentingan Aceh dan seluruh rakyat Aceh.
Karena itu, jika pelaksanaan dilakukan secara serentak pada 27 November 2024, artinya Aceh tidak lagi memiliki kekhususan terhadap UUPA sebagai landasan pemerintahan serta kehidupan secara keseluruhan. Yang awalnya berlaku Pilkada Aceh pada tahun 2006 dan seterusnya, ternyata pada tahun 2022 Pilkada Aceh tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan UUPA sebagai “Lex Spesialist”.
Ini berarti dan tidak merupakan kebanggaan bagi rakyat Aceh, meskipun itu merupakan turunan dari perjanjian MoU Helsinki. Hal ini bermakna, bahwa Aceh tidak memiliki kekhususan lagi, yang mengatur kehidupan rakyat Aceh.
Secara politik UUPA terhadap kebijakan politik, tidak memiliki arti lagi; mandul, hancur lebur, kecuali aturan tentang Lembaga Wali Nanggroe, Partai Politik Lokal, Komisi Independen Pemilihan dan Panitia Pengawas Pemilihan.
Selebihnya jika berlandaskan pemahaman serta praktik politik di Aceh, semuanya mengacu kepada pemerintah pusat. Seperti halnya undang-undang pemerintahan, kekuasaan politik, kebijakan Pilkada, hubungan luar negeri, urusan pengelolaan pemerintahan dan berbagai kebijakan publik, kebijakan anggaran belanja publik, kebijakan keuangan moneter dan fiskal sepenuhnya ditentukan pusat.
Perilaku elite
Dengan demikian, Pilkada sebagai wahana untuk menentukan pemimpin politik eksekutif (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota), harus tunduk dan patuh sesuai dengan aturan, ketentuan serta keinginan politik pusat pemerintahan Jakarta.
Maka politik sistem yang sentralistik, seluruh keinginan politik (political will) pemimpin politik di Aceh, mesti mengikuti selera, aturan-main, gagasan, ide dan urusan politik pemerintahan sesuai dengan kebijakan politik pusat. Sehingga tidak ada pemimpin Aceh politiknya bukan kepentingan rakyat Aceh. Karena diatur oleh sistem lingkungan politik tidak demokratis, autoritariant terpusat disetujui oleh para elite pemimpin dan penguasa politiknya, sehingga rakyat hanya diperlukan pada saat Pilkada saja untuk mendapatkan kursi kekuasaan politik.
Menurut Easton (1953) bahwa, politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif. Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik langsung berhubungan dengan negara. Sehingga sistem politik yang dibangun secara sentralistik, ini akan menentukan berbagai kebijakan serta ketentuan dengan menurut dan tunduk patuh kepada aturan sistem politik secara terpusat.
Landasan pemikiran politik yang terpusat ini juga selaras dengan pemikiran Almond (2004) yaitu, ...kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, dimana kendali ini didukung melalui instrumen yang sifatnya otoritatif (berwenang secara sah) dan koersif (bersifat memaksa), politik yang mengacu pada penggunaan instrumen otoritatif dan koersif ini--siapa yang berhak menggunakannya dan dengan tujuan apa.
Sehingga tidak mengherankan semua elite politik Aceh, partai politik, penguasa politik memiliki kewenangan sah mesti tunduk patuh secara struktural fungsional kepada pusat. Maka tidak mengherankan para politisi dan pemangku kekuasaan politik di Aceh secara sistemik, instrumen otoritatif dan koersif patuh kepada ketentuan pusat saat berhadapan dengan elite pemimpin serta pemangku kekuasaan pemerintahan pusat.
Bahkan mudah ditarik-tarik, digiring, diarahkan sesuai kepentingan politik pusat, juga ada elite politik Aceh memimpin partai lokal menjadi pengurus partai politik nasional. Ini sangat ambigue terhadap politik dan rakyat Aceh. Ini memperlihatkan elite pemimpin politiknya sama sekali tidak berpikir terhadap kepentingan politik Aceh dan rakyat Aceh agar kehidupannya lebih baik, makmur serta sejahtera.
Neocolonialism