Opini

Baitul Asyi dan Jamaah Haji Aceh

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Al Yasa' Abubakar, Dosen Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry

Al Yasa' Abubakar, Dosen Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry

IN sya Allah dalam beberapa hari ke depan jamaah haji asal Aceh akan berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan ziarah ke Madinah.

Untuk itu marilah kita berdoa agar semua jamaah akan beribadah dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, sehingga memperoleh haji yang mabrur. 

Kita juga berdoa bahkan kalau perlu mengingatkan para jamaah agar selalu sadar sehingga tidak terperosok ke dalam berbagai cobaan yang sering muncul di sana tanpa disadari jamaah, sehingga dapat mengurangi kekhusyukan beribadah.

Misalnya saja menyalahkan orang lain, mementingkan diri sendiri sampai  merugikan orang lain, bergunjing, bahkan mengambil barang/hak orang lain.

Salah satu ‘godaan’ yang sering sangat mengganggu bagi sebagian jamaah adalah keinginan untuk berbelanja secara berlebihan.

Dalam hubungan ini sejak tahun 2006 jamaah haji asal Aceh mendapat sebuah keistimewaan yang relatif tidak didapat oleh jamaah lain, yaitu pemberian uang oleh Nazhir Wakaf Baitul Asyi.

Uang ini berasal dari hasil harta wakaf seorang dermawan asal Aceh lebih dua ratus tahun yang lalu.

Banyak jamaah yang tidak mengetahui asal usul uang ini sehingga menganggapnya sebagai “rejeki nomplok”, yang dengan gampang dibelanjakan secara boros atau untuk sesuatu yang tidak terlalu bermanfaat.

Tulisan ini ingin memberikan beberapa catatan tentang Wakaf Baitul Asyi sebagai wakaf produktif.

Dalam Akta Ikrar Wakaf (asli) yang tersimpan pada Nazhir, disebutkan bahwa harta ini merupakan wakaf dari seorang hartawan dan dermawan asal Aceh Habib bin Bugak.

Dari tulisan yang tertera dalam ikrar, akan diketahui secara mudah dan jelas bahwa Habib merupakan nama bukan gelar, begitu juga Bugak merupakan nama orang bukan nama tempat, yaitu Habib bin Bugak.

Bukan seseorang yang bergelar Habib yang berasal dari daerah Bugak.

Dalam ikrar tidak ada keterangan tentang asal usul atau tempat tinggal dari Wakif ini.

Jadi kalau ada pihak-pihak tertentu yang menganggap Habib merupakan gelar dan beliau mempunyai nama asli yang lain, maka tentulah mesti didasarkan kepada sumber lain yang dapat dipercaya.

Dengan kalimat lain kalau ada pihak yang berpendapat bahwa Habib bin Bugak yang disebutkan dalam Ikrar Wakaf adalah gelar dan beliau mempunyai nama yang lain, maka mesti jelas sumbernya, tidak boleh asal-asalan secara begitu saja.

Penulis sendiri pernah menganggap Habib bin Bugak masih merupakan gelar, namun setelah meneliti Akta Ikrar Wakaf dengan teliti, penulis yakin Habib bin Bugak bukan gelar atau samaran tetapi nama asli.

Dalam ikrar yang ditulis tahun 1222 H (sekitar 1808 Miladiah, sebelum Aceh dijajah oleh Belanda), disebutkan bahwa rumah yang diwakafkan tersebut diperuntukkan bagi jamaah haji asal Aceh dan orang asal Aceh yang bermukim (menetap) di Mekkah.

Menurut Nazhir, sejak diwakafkan dahulu, rumah wakaf ini selalu ditempati oleh Jamaah asal Aceh apabila mereka memilih Syeikh (pembimbing haji) asal Aceh yang menjadi Nazhir rumah wakaf tersebut sebagai Syeikh selama berada di Mekkah.

Mulai tahun 1980, ketika Pemerintah Arab Saudi mengubah cara pelayanan jamaah haji dari sistem syeikh yang bersifat individual menjadi sistem muassasah yang bersifat kelembagaan, maka rumah tersebut tidak dapat lagi ditempati jamaah haji asal Aceh.

Rumah bagi jamaah haji Indonesia disewa oleh Pemerintah Indonesia. Jadi jamaah haji asal Aceh sama seperti jamaah haji asal Indonesia lainnya ditempatkan di rumah yang dipilih/disewa oleh Pemerintah Indonesia, bukan lagi di rumah yang disewa/dikelola oleh para Syeikh.

Setelah pembahasan yang panjang (mulai tahun 1980-an sampai 2005) antara Nazhir Wakaf dengan Pemerintah Provinsi Aceh, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama dan Pemerintah Arab Saudi dalam hal ini Kementerian Haji mereka dan juga setelah mendapat izin dari Mahkamah Syariah Mekkah, maka dicapai kesepakatan sebagai berikut.

Nazhir atas izin bahkan perintah Mahkamah wajib membangun ulang rumah wakaf tersebut menjadi tempat penginapan yang lebih representatif (hotel) sehingga manfaat harta wakaf ini akan diperoleh secara optimal.

Nazhir diberi izin menyewakan rumah wakaf tersebut kepada jamaah Haji dan jamaah Umrah sesuai dengan peraturan yang berlaku di Arab Saudi, dan sebagian uangnya diserahkan kepada jamaah haji asal Aceh sebagai pengganti biaya tempat tinggal mereka selama berada di Mekkah.

Jamaah haji asal Aceh akan tinggal di Mekkah di tempat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia dan akan diurus oleh Pemerintah Indonesia.

Nazhir akan memberikan uang pengganti sewa tempat tinggal selama berada di Mekkah kepada jamaah haji asal Aceh, sesuai dengan kemampuan Nazhir.

Pemerintah Arab Saudi, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh akan membantu dan memberikan fasilitas sehingga pembagian/penyerahan uang tersebut dapat dilakukan dengan lancar dan tepat sasaran (hanya untuk jamaah haji asal Aceh).

Para Ulama Aceh berkumpul dalam sebuah jamuan makan, bersama pengelola wakaf Baitul Asyi Syeikh Abdul Latif Baltou, pada Minggu (19/11/2023). (For Serambinews)

Kesadaran berwakaf

Alhamdulillah sejak musim haji tahun 2006 sampai sekarang, Jamaah Haji asal Aceh telah menerima uang dari Nazhir Wakaf sebagai pengganti biaya sewa rumah selama berada di Mekkah, yang pada tahun-tahun awal berjumlah SR 1200 dan pada tahun lalu saya dengar sudah berjumlah SR 1500.

Dalam hubungan ini jasa Syeikh Abdul Gani al-Asyi sebagai Nazhir tidak akan dapat dilupakan.

Beliau warga negara Arab Saudi keturunan Aceh, dan pernah menjadi wakil Kerajaan Arab Saudi untuk menjabat Presiden Hilal Ahmar (Palang Merah) Liga Arab.

Atas permohonan dan kegigihan beliaulah Mahkamah Mekkah memberi izin kepada Nazhir untuk membangun ulang gedung yang ada di atas dua tanah wakaf agar lebih representatif (menjadi hotel berbintang lima dan empat).

Atas permohonan beliau pula Mahkamah Mekkah memberi izin kepada Nazhir untuk tidak menempatkan jamaah haji asal Aceh di hotel-hotel tersebut, tetapi memberikan uang hasil sewa hotel tersebut kepada jamaah haji asal Aceh sebagai pengganti biaya hotel mereka selama di Mekkah.

Tetapi sebelum rencana ini terealisasi beliau wafat karena usia tua. Tugas kenaziran oleh Mahkamah diserahkan kepada anaknya Munir bin Abdul Ghani al-Asyi dengan didampingi oleh dan dibantu oleh seorang ulama yang wara’, Syekh Dr Abdul Latif Baltou.

Dua Nazhir inilah yang datang ke Aceh sesudah tsunami dan bertemu dengan Wakil Gubernur Azwar Abubakar membahas teknis penyerahan uang wakaf kepada jamaah haji asal Aceh.

Para ulama Aceh bertemu dengan Pengelola wakaf Baitul Asyi, Syeikh Abdul Latif Baltou, Minggu (19/11/2023). (Serambinews.com/Handover)

Beberapa tahun yang lalu Nazhir Munir bin Abdul Ghani juga wafat, sehingga estafet kenadziran diserahkan oleh Mahkamah kepada Dr Abdurrahman bin Abdullah al-Asyi dengan tetap didampingi oleh Syeikh Abdul Latif Baltou.

Jadi uang yang nanti diterima jamaah di Mekkah yang diserahkan oleh Nazhir, adalah uang hasil wakaf seorang dermawan asal Aceh (Habib bin Bugak), bukan hadiah dari Pemerintah Arab Saudi dan juga bukan uang tambahan belanja dari Pemerintah Indonesia.

Karena merupakan uang hasil tanah wakaf, maka gunakanlah untuk sesuatu yang betul-betul bermanfaat.

Lebih dari itu sebagai jamaah haji asal Aceh, hendaknya tidak sekedar menikmati hasil wakaf salah seorang leluhur kita dahulu, tetapi marilah kita berusaha untuk menghidupkan dan menggalakkan kesadaran dan kemauan berwakaf di daerah asal kita masing-masing.

Dengan demikian berbagai kegiatan keagamaan dan berbagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat dapat dibiayai dengan hasil wakaf, tidak mesti bergantung kepada bantuan pemerintah atau sedekah/infak lepas masyarakat. Wallahu a`lam bish-shawab.(*)

Berita Terkini