Konflik Palestina vs Israel

Netanyahu Didemo Jelang Kongres, Yahudi AS: Itu Bukan Kami, Biarkan Gaza Hidup

Penulis: Sara Masroni
Editor: Faisal Zamzami
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Demonstran memprotes Israel di Gedung Kantor Cannon House di Capitol di Washington, Selasa, 23 Juli 2024.

SERAMBINEWS.COM - Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu didemo jelang pidatonya di kongres gabungan parlemen Amerika Serikat (AS).

Para demonstran yang mengatasnamakan Jewish Voice for Peace dan juga keluarga korban penyanderaan perang Hamas-IDF unjuk rasa di Gedung Kantor Cannon House, Gedung Capitol atau Komplek DPR AS, Selasa (23/7/2024).

Para pengunjuk rasa mengatasnamakan Jewish Voice for Peace itu mengenakan kaus merah identik bertuliskan “Bukan Atas Nama Kami” berkumpul di Gedung Cannon.

“Biarkan Gaza Hidup!” teriak pengunjuk rasa melansir Times of Israel, Rabu siang.

Baca juga: Polisi AS Tangkap 400 Warga Termasuk Rabi saat Demo Desak PM Israel Netanyahu Segerakan Perdamaian

Baca juga: Pembantaian: 270 Jadi Korban usai Israel Serang Kamp Pengungsian Khan Younis, Gaza Palestina

Setelah sekitar setengah jam bertepuk tangan dan meneriakkan yel-yel, petugas dari Kepolisian Capitol AS mengeluarkan beberapa peringatan.

Kemudian lalu mulai menangkap para pengunjuk rasa, mengikat tangan mereka dengan tali pengikat dan membawa mereka pergi satu per satu.

"Demonstrasi tidak diperbolehkan di dalam Gedung Kongres," kata polisi dalam sebuah pernyataan.

"Kami memberi tahu orang-orang yang masuk secara sah untuk berhenti atau mereka akan ditangkap. Mereka tidak berhenti, jadi kami menangkap mereka."

 

 

Tidak jelas berapa banyak pengunjuk rasa yang telah ditahan.

Jewish Voice for Peace mengklaim dalam sebuah tweet bahwa sekitar 400 orang telah ditangkap, termasuk beberapa rabi.

“Saya putri korban Holocaust dan saya tahu seperti apa Holocaust,” kata Jane Hirschmann, penduduk asli Saugerties, New York, yang datang untuk berunjuk rasa bersama kedua putrinya, keduanya ditangkap.

“Saat kami mengatakan 'Jangan Pernah Lagi', yang kami maksud adalah jangan pernah terjadi lagi pada siapa pun.”

Baca juga: Penjajah, PM Israel Netanyahu Terang-terangan Ingin Dirikan Pemerintah Sipil di Gaza Pasca-Perang

Para demonstran memfokuskan sebagian besar kemarahan mereka pada pemerintahan Biden, menuntut agar presiden segera menghentikan semua pengiriman senjata ke Israel.

"Kami tidak fokus pada Netanyahu. Ia hanya sebuah gejala," kata Hirschmann.

"Namun, bagaimana [Biden] bisa menyerukan gencatan senjata ketika ia mengirim bom dan pesawat kepada mereka?"

Sementara Kepala staf untuk Rep Dan Kildee D-Mich Mitchell Rivard mengatakan dalam sebuah pernyataan, kantornya meminta intervensi Kepolisian Capitol setelah para demonstran menjadi pengganggu.

"Memukuli pintu kantor dengan keras, berteriak keras, dan berusaha memaksa masuk ke kantor," ungkapnya

Kildee kemudian mengatakan kepada The Associated Press bahwa dia bingung mengapa kantornya menjadi sasaran.

Dikatakan, padahal dia telah memberikan suara menentang paket bantuan militer tambahan besar-besaran kepada Israel awal tahun ini.

Diketahui kunjungan Netanyahu ke AS telah memicu gelombang aktivitas protes.

Beberapa demonstrasi mengecam Israel dan yang lainnya menyatakan dukungan tetapi menekan Netanyahu untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dan membawa pulang para sandera yang masih ditahan oleh Hamas.

Israel Makin Terisolasi: Dibenci Dunia, Diusir Mahkamah Internasional

Sebelumnya diberitakan, Israel semakin terisolasi. Dibenci dunia karena genosida yang dilakukan dengan membunuh warga sipil, perempuan dan anak kecil, kini diusir Mahkamah Internasional karena menduduki wilayah Palestina secara ilegal.

Mahkamah Internasional (ICJ) mengusir atau meminta Israel angkat kaki dari wilayah Palestina karena sudah melanggar hukum.

Dilansir dari Anadolu Agency, keputusan pengadilan tinggi PBB soal pendudukan Israel atas wilayah Palestina dapat mengubah kalkulasi politik di Barat.

Selain itu dapat membuat Israel lebih terisolasi dalam hubungan internasional menurut para ahli hukum.

Diketahui Hakim Ketua ICJ, Nawaf Salam memutuskan, keberadaan Israel di Wilayah Palestina adalah ilegal.

"Pengadilan memutuskan keberadaan Israel di Wilayah Palestina adalah ilegal," kata Nawaf Salam di Den Haag, Jumat (19/7/2024).

Sebanyak 52 negara menyampaikan argumen mereka di ICJ dengan mayoritas mendukung pandangan bahwa kebijakan Israel di wilayah pendudukan melanggar hukum internasional.

Pendapat pengadilan tersebut tidak akan mengikat secara hukum, tetapi memiliki pengaruh politik yang besar.

Gerhard Kemp, seorang profesor di University of the West of England, Bristol, percaya hasil yang paling mungkin adalah pendapat bahwa Israel secara tidak sah menduduki wilayah Palestina.

“Selain itu, ada kemungkinan ICJ akan menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan apartheid Israel yang diberlakukan terhadap rakyat Palestina di OPT (Wilayah Pendudukan Palestina),” ungkap Kemp kepada Anadolu.

Hal ini, kata dia, akan menguntungkan perjuangan penentuan nasib sendiri Palestina secara politik dan diplomatik.

"Jelas tidak akan diterima dengan baik di Israel. Dalam jangka pendek atau bahkan menengah, saya tidak berpikir pendapat penasihat tersebut akan berdampak langsung pada perilaku Israel, tetapi mungkin membantu mengubah kalkulasi politik di Barat," ujar Kemp.

Israel Terisolasi

Sementara Pakar Hukum Internasional Universitas Westminster, Marco Longobardo mengatakan, pendapat ICJ menjadi instrumen yang ampuh untuk memperjelas kerangka hukum pendudukan Israel.

"Lebih dari sekadar masalah permanensi, inti permasalahannya adalah apakah pendudukan itu sah. Jika pengadilan menyatakan bahwa seluruh pendudukan itu melanggar hukum, ini akan mempersulit negara ketiga untuk mendukung pendudukan Israel yang sedang berlangsung," kata dia kepada Anadolu.

“Berurusan dengan praktik Israel di wilayah pendudukan mungkin menjadi 'radioaktif' dalam hubungan internasional. Lebih banyak negara mungkin memutuskan untuk tidak mendukung Israel, khususnya di bidang kerja sama ekonomi dan pertahanan.”

Meski Tel Aviv kemungkinan besar akan mengabaikan pendapat tersebut, hal itu tetap berdampak ke Israel.

"Membuat Israel semakin terisolasi dalam hubungan internasional," tegas Longobardo.

Longobardo menjelaskan bahwa pengadilan tinggi PBB akan membahas “legalitas seluruh pendudukan wilayah Palestina oleh Israel berdasarkan hukum humaniter internasional, hukum hak asasi manusia internasional, prinsip penentuan nasib sendiri masyarakat, dan aturan hukum internasional lainnya.”

Secara formal, pendapat tersebut tidak mengikat negara karena tidak ditujukan kepada negara.

"Namun, temuan hukum dari pendapat penasihat memiliki kewenangan signifikan karena pendapat tersebut diberikan oleh badan peradilan utama PBB," tegas Longobardo.

Longobardo, yang telah menulis buku berjudul The Use of Armed Force in Occupied Territory, juga percaya waktu munculnya pendapat tersebut sangat penting dalam konteks saat ini.

“Jalur Gaza adalah bagian dari wilayah Palestina dan berada di bawah pendudukan Israel. Israel tidak mengakui tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan di wilayah tersebut,” kata dia.

“Pendapat tersebut akan memperjelas masalah ini dan kemungkinan akan mempertanyakan hak Israel untuk mempertahankan kendali atas Jalur Gaza.”

Dalam gambaran yang lebih luas, temuan hukum tersebut juga akan “berdampak pada proses atas tanggung jawab individu dan negara di hadapan Mahkamah Pidana Internasional dan ICJ,” pungkasnya.

Netanyahu Terang-terangan Ingin Dirikan Pemerintah Sipil di Gaza

Sementara diberitakan sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu secara terang-terangan menyampaikan ingin mendirikan pemerintah sipil di Gaza pasca-perang tanpa melibatkan Otoritas Palestina (PA).

Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam beberapa minggu terakhir secara pribadi telah menarik kembali penentangannya terhadap keterlibatan individu-individu yang terkait dengan Otoritas Palestina dalam mengelola Gaza setelah perang melawan Hamas.

Hal ini sebagaimana disampaikan tiga pejabat yang mengetahui masalah tersebut kepada The Times of Israel, dilansir pada Selasa (2/7/2024).

Perkembangan ini terjadi setelah kantor Netanyahu selama berbulan-bulan mengarahkan lembaga keamanan untuk tidak memasukkan otoritas Palestina dalam rencana apa pun untuk pengelolaan Gaza pasca-perang.

Dua pejabat Israel itu mengatakan, perintah tersebut secara signifikan menghambat upaya untuk menyusun proposal realistis pasca-perang yang dikenal sebagai "hari setelahnya."

Secara terbuka, Netanyahu terus menolak gagasan kekuasaan otoritas Palestina atas Jalur Gaza.

Dalam wawancara yang dimuat Channel 14 minggu lalu, perdana menteri Israel itu tidak akan mengizinkan negara Palestina didirikan di wilayah pesisir tersebut.

"Tidak siap untuk memberikan [Gaza] kepada PA," ucap Netanyahu.

Sebaliknya, dia mengatakan kepada jaringan sayap kanan bahwa ia ingin mendirikan pemerintahan sipil di Gaza.

“Pemerintahan sipil, jika memungkinkan dengan warga Palestina setempat dan mudah-mudahan dengan dukungan dari negara-negara di kawasan tersebut,” ucap Netanyahu.

Namun secara pribadi, para pembantu utama Netanyahu menyimpulkan, individu-individu yang memiliki hubungan dengan PA adalah satu-satunya pilihan yang layak bagi Israel jika ingin mengandalkan warga Palestina setempat untuk mengelola urusan sipil di Gaza pasca-perang.

Hal itu sebagaimana dikonfirmasi dua pejabat Israel dan satu pejabat AS selama seminggu terakhir.

“Warga Palestina Lokal adalah kode untuk individu yang berafiliasi dengan PA,” kata seorang pejabat keamanan Israel.

Dua pejabat Israel menjelaskan, individu yang dimaksud adalah warga Gaza yang digaji oleh PA yang mengelola urusan sipil di Jalur Gaza hingga Hamas mengambil alih kekuasaan pada 2007, dan sekarang sedang diselidiki oleh Israel.

Pejabat Israel lainnya mengatakan kantor Netanyahu mulai membedakan antara pimpinan PA yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dengan pegawai Otoritas Palestina tingkat bawah yang merupakan bagian dari lembaga yang sudah ada di Gaza untuk urusan administratif.

Otoritas Palestina yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas dianggap belum secara terbuka mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.

(Serambinews.com/Sara Masroni)

BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkini