Opini

Konsep Politik Aceh Mengetuk Pintu Langit

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tgk Mukhtar Syafari MA, Alumnus Dayah MUDI dan PPs UIN Ar Raniry dan Pemerhati Politik Aceh

Tgk Mukhtar Syafari MA, Alumnus Dayah MUDI dan PPs UIN Ar Raniry dan Pemerhati Politik Aceh

MENJELANG jadwal pembukaan pendaftaran calon peserta Pilkada serentak yang akan digelar 27 November 2024, lobi-lobi politik semakin gencar dilakukan para bakal calon kepada daerah untuk mendapatkan tiket dari partai politik agar bisa mendaftar ke penyelenggara Pilkada (KPU atau KIP).

Pilkada untuk konteks Aceh harus mendapat perhatian khusus dari para pihak. Sebagai wilayah yang pernah dilanda konflik puluhan tahun dan bencana tsunami. Perdamaian Helsinki mengakibatkan berakhirnya konflik berkepanjangan yang telah menyita energi, pikiran dan jatuhnya korban jiwa begitu besar.

Begitu terasa dalam ingatan bagaimana mencekamnya konflik Aceh ketika itu. Apalagi bagi masyarakat Aceh yang anggota keluarganya menjadi korban keganasan perang selama puluhan tahun. Tentunya ingatan bagaimana kondisi anggota keluarganya ketika menjadi korban akan terus terkenang sampai akhir hayatnya.

Perdamaian sebagai titik balik konflik Aceh sudah berusia 19 tahun pada 15 Agustus 2024. Nota kesepahaman dan perjanjian Pemerintah RI sebagai resolusi konflik sudah termuat dalam MoU dan UUPA serta turunannya sesuai hirarki hukum yang berlaku. Meskipun ada sebagian yang tidak sesuai dengan klausul MoU Helsinki. Implementasi yang masih jalan di tempat merupakan problem lain yang harus segera mendapat solusinya.

Selama ini sepertinya pemerintah pusat tidak begitu ikhlas berdamai dengan Aceh. Sebagaimana perdamaian sebelumnya sejak DI/TII pimpinan Daud Beureueh. Ini berbeda halnya perdamaian antara bangsa Chechnya dengan Pemerintah Rusia atau perdamaian antara Bangsa Moro dan Pemerintah Philipina. Padahal perwakilan Moro beberapa tahun silam belajar dan mengadopsi konsep perdamaian Aceh tetapi mereka sudah lebih maju.

Di sisi lain, Pemerintah Pusat telah mengucurkan anggaran Otonomi Khusus yang cukup besar pasca perdamaian. Meskipun itu tidak sebanding dengan berapa besarnya sumbangan Aceh untuk kemerdekaan RI dan hasil alam Aceh yang dikeruk selama puluhan tahun sejak Aceh dijadikan bagian NKRI (Baca: Pemekaran Berpotensi Mengancam Perdamaian, Serambinews.com).

Selama belasan tahun, pusat telah mengucurkan dana Otonomi Khusus hampir 100 triliun. Aceh sudah bergonta ganti pemimpin pasca perdamaian, baik dipilih secara langsung oleh rakyat dan beberapa Pj Gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah pusat tetapi kondisi Aceh masih terus stagnan dan bahkan dinilai semakin terpuruk dalam banyak sisi kehidupan.
Apa sebenarnya kesalahan masyarakat Aceh sehingga cukup sulit bisa bangkit dari keterpurukan. Apakah Aceh sedang mendapat kutukan sehingga Aceh terus tersungkur dalam kondisi seperti ini?

Belakangan ini sabu, judi online, pencurian, kenakalan remaja dan seks bebas problem besar yang terus menyerang generasi Aceh. Ini lebih parah dari gempa bumi dan tsunami yang menghantam Aceh tahun 2004. Bahkan lebih parah dari kondisi perang Palestina sekalipun. Kalau perang di Palestina dan tsunami, yang rusak adalah bangunan dan umat Islam mendapat syahid. Penderitaannya hanya sementara bagi orang beriman.

Tapi serangan sabu, judi online, pencurian dan pergaulan seks bebas akan menghancurkan kehidupan dan generasi kita nantinya. Hal ini tidak hanya mendapat penderitaan di dunia tapi penderitaan sangat berat yang akan diterima di akhirat kelak dalam waktu yang lama.

Mengetuk pintu langit

Aceh bumoe aulia keuneubah (warisan) raja. Ulama dan Sultan sebagai pendiri dan pemilik Kesultanan Aceh telah mewasiat dan memberi amanah yang harus dijalankan oleh generasi penerus Aceh. Para sejarawan Aceh telah banyak merekam dengan begitu indah dalam banyak tulisannya bagaimana konsep Aceh ini dibangun di masa silam sehingga Aceh mencapai puncak kejayaannya dan menjadi Kesultanan terbesar di Asia Tenggara.

Sejarawan dan tokoh perjuangan Aceh di abad modern Tgk Hasan di Tiro juga menulis dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary, yang penulis kutip sebagai berikut: "Segala sesuatu di Aceh dinilai berdasarkan standar Islami. Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari Aceh. Jika Aceh dalam sekeping koin, Islam adalah sisi lain dari koin itu. Aceh adalah negara yang didirikan atas dasar Islam dan hidup dengan hukum Islam. Sudah seperti ini sebagian besar dari catatan sejarah kita."

Apakah kita sedang kualat (teumeureuka) dengan wasiat endatu dan amanah pejuang Aceh disebabkan belum menegakkan ajaran Islam secara serius? Aceh sudah mendapatkan kewenangan secara khusus dan istimewa yang dijamin konstitusi UUD 45 pasal 18b dan tertuang dalam turunannya, UUPA untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu, sebenarnya pembangunan Aceh harus dimulai dari mana dan apa konsep politik yang cocok untuk Aceh?

Menyaksikan kondisi yang terus stagnan seperti ini, sepatutnya Aceh mengintrospeksi diri dan mengubah konsep politik yang dijalankan selama ini dengan konsep politik "mengetuk pintu langit" atau dengan bahasa lain konsep politik mendekatkan diri kepada Allah. Misi politik dan kepemimpinan Aceh melalui peningkatan ketaqwaan diharapkan ke depan Aceh akan makmur dan sejahtera sebagaimana firman Allah:

Halaman
12

Berita Terkini