Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM - Lupa kolektif (bersama-sama) terhadap sebuah peristiwa adalah lumrah di kalangan masyarakat tertentu. Apalagi bila peristiwa itu semakin jauh berjarak dengan generasi penerus yang kini eksis.
Peristiwa tsunami dahsyat pada tahun 2004 yang melanda Aceh misanya, kini sudah memasuki usia hampir 20 tahun. Dengan jarak kejadian yang sudah dua dekade itu, besar kemungkinan orang-orang mulai melupakan peristiwa tersebut.
Akan tetapi, para ilmuwan dari Center for Southeast Asian Studies
(CSEAS) Kyoto University, Jepang, punya cara jitu untuk merawat ingatan itu agar terap terjaga.
CSEAS memperkenalkan aplikasi MemoryGraph pada masa menjelang 20 tahun pascatsunami Aceh.
"Aplikasi MemoryGraph ini membantu orang untuk mengambil foto-foto yang berkomposisi sama dengan foto referensi, serta mencari identitas lokasi di mana foto arsip yang tidak diketahui di mana diambil," kata Assoc Prof Dr Yoshimi Nishi dari CSEAS Kyoto University yang sudah hampir seminggu berada di Banda Aceh mengisi serangkaian presentasi.
Salah satunya ia menjadi narasumber pada sebuah workshop di Balai Arsip Statis dan Tsunami (BAST), kawasan Bakoy, Aceh Besar.
Baca juga: Mulai Tinggalkan Media Sosial, Shin Tae-yong Akui Kehilangan Banyak Pengikut
Yoshimi Nishi mengatakan, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital,
pendokumentasian sejarah dan budaya semakin mudah dengan adanya aplikasi inovatif.
Salah satu aplikasi dimaksud adalah MemoryGraph. Aplikasi ini dikembangkan oleh
ROIS-DS Center for Open Data in the Humanities dan Center for Southeast Asian Studies
(CSEAS) Kyoto University, Jepang.
Dengan adanya CSEAS yang memperkenalkan aplikasi MemoryGraph pada masa menjelang 20 tahun pascatsunami Aceh, Nishi mengharapkan kerja sama antara instansi/lembaga di Aceh kiranya dapat ditingkatkan demi memfasilitasi pemulihan memori kolektif di ambang terlupakan pascatsunami, pascakonflik, dan pascarekonstruksi.
Lembaga yang diharapkan Nishi menjalin kerja sama itu adalah CSEAS Kyoto University bersama Tsunami and Disaster Mitigation Research Center Universitas Syiah Kuala (TDMRC USK) serta Balai Arsip Statis dan Tsunami (BAST) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Tak terkecuali Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh.
Baca juga: Ragu dengan Jumlah Rakaat dan Lupa Sujud Sahwi, Begini Hukum Shalatnya Menurut UAS
"Kolega saya di Universitas Kyoto, Doktor Yamamoto Hiroyuki pernah menulis dalam bukunya bahwa, 'Bentang alam bukan hanya ruang fisik dan geografis, melainkan juga tempat di mana kenangan didasarkan dan budaya dilestarikan',” ujar Nishi.
Artinya, lanjut Nishi, pemandangan atau lanskap di suatu daerah adalah tambatan atau fondasi bagi memori kolektif di lokasi setempat.
Kalau ada perubahan lanskap mendadak, artinya tambatan kenangan daerahnya juga ikut hilang.
"Kenangan daerahnya hilang, itu bermakna dasar ikatan di antara warga setempat juga ikut hilang, sehingga kenangan bersama hilang di antara warga, ikatan komunitasnya juga terancam hilang," tambah Nishi.
"Dengan pengertian ini, kita boleh mengatakan bahwa korban bencana alam seperti gempa dan tsunami mengalami keterputusan hubungan dengan komunitasnya sendiri minimal dua kali, yaitu saat terjadi bencana dan saat selesai rekonstruksi yang mengakibatkan perubahan lanskap secara mendadak," tambahnya.
Ia mencontohkan korban tsunami di Aceh. Pertama, mereka kehilangan dasar kenangan kehidupan sebelum tsunami. Kedua, sesudah selesai rehabilitasi dan rekonstruksi, tidak ada lagi sisa-sisa tempat terjadi tsunami, kecuali beberapa situs tsunami.
Melihat lanskap sekarang di Aceh, kata Nishi, orang tidak bisa membayangkan bahwa Kota Banda Aceh pernah mengalami bencana alam berskala besar. Khususnya bagi generasi muda dan juga bagi pendatang ke kota ini.
"Ini artinya, komunitas di Kota Banda Aceh sedang menghadapi risiko bahwa pengalaman atau kenangan kolektif mereka terkait tsunami berada di ambang perpecahan," kata Nishi yang sebelum tsunami pernah meneliti peran ulama sepanjang sejarah di Aceh.
Menurutnya, di situlah muncul pentingnya peranan kearsipan untuk merekam proses perubahan lanskap.
"Telusuri foto-foto yang memberikan bukti adanya kesinambungan antara Banda Aceh zaman dulu dan Banda Aceh masa kini," kata Nishi yang pernah tahunan tinggal di Banda Aceh.
Ia tambahkan bahwa penduduk yang memiliki ketertarikan terhadap foto-foto, akan membantu mereka memahami kesinambungan sejarah kota.
"MemoryGraph adalah aplikasi yang membantu kegiatan kearsipan tersebut," imbuh Nishi.
Ia berharap dengan foto-foto MemoryGraph, akan bangkit komunikasi antara masyarakat tentang masa lalu, baik kenangan manis maupun pahit, sehingga pada saat menggambarkan masa depan Aceh, masyarakat bisa mendasarkan pada pengalaman diri sendiri, bukan dengan cara menutupi segala yang pahit dan yang sedih.
"Saya juga bergembira melihat banyak wakil dari lembaga di Aceh yang berkiblat ke kearsipan, ke perpustakaan, dan ke edukasi mitigasi bencana hadir dalam workshop yang kita laksanakan tanggal 21 dan 22 Agustus lalu di BAST," kata Yoshimi Nishi.
Workshop yang dimaksud Nishi adalah workshop yang bertajuk "Dari Foto ke Memori: Pemanfaatan MemoryGraph dalam Mempertahankan Ingatan Kolektif".
Workshop ini diadakan pada tanggal 21 Agustus 2024 di Gedung BAST-ANRI, kawasan
Bakoy, Aceh Besar.
Esoknya, 22 Agustus, para peserta dibawa ke lapangan, ke situs-situs tsunami, untuk mempraktikkan penggunaan aplikasi MemoryGraph. Antara lain ke kawasan Lampulo, tempat situs tsunami "boat di atas atap rumah warga" berada, juga ke kawasan terdamparnya Kapal PLTD Apung di Punge Blangcut, Banda Aceh. (*)