Jika pun KIP Aceh mengacu kepada qanun yang lama, KIP juga tidak bisa serta merta menetapkan TMS untuk paslon Om Bus-Syech Fadhil. "Baru dianggap tidak memenuhi syarat, kalau calon yang ketika diundang ke lembaga DPRA dia tidak mau hadir atau tidak hadir tanpa alasan, itu baru bisa," imbuhnya.
Hal lainnya yang menurut Tiyong juga patut dipertanyakan, mengapa KIP Aceh dengan mudahnya mengubah keputusan setelah keluarnya keputusan KPU. "Ini kan aneh. Harusnya jika mereka menganggap telah menjalankan sesuai peraturan perundangan, ya pertahankan dong keputusan yang telah mereka buat," imbuhnya.
Dengan kondisi tersebut, menurut Tiyong terlihat jelas bahwa KIP Aceh tidak netral dan dengan sengaja ingin menggagalkan paslon tertentu. Dia khawatir, jika jajaran anggota KIP Aceh saat ini dibiarkan menjabat, maka tahapan Pilkada Aceh ke depan sampai pada tahap pemilihan nantinya akan bermasalah.
Oleh karena itu, pihaknya akan menyurati Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), agar memerintahkan KPU untuk membekukan KIP Aceh. "Pekerjaan pertama saya setelah dilantik menjadi Anggota DPR RI nanti adalah menyurati DKPP," pungkas Tiyong.(yos)
Forum LSM Minta Pemantau Internasional Perhatikan Aceh
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan juga lembaga pemantau internasional lebih banyak memberi perhatian ke Pilkada Aceh.
“Saya kira pengawasan terhadap kinerja KIP Aceh juga perlu kita tingkatkan, apalagi melihat cara kerja mereka dalam dua hari terakhir. Sikap penyelenggara seperti itu menunjukkan bahwa mereka mudah sekali diintervensi,” kata Sudirman kepada Serambi, kemarin.
Sudriman juga mengklaim Panwaslih Aceh pun tidak sepenuhnya bisa menjadi tumpuan mengingat lembaga itu merupakan produk daerah yang penunjukannya didominasi kekuatan tertentu. Karena itu, Sudirman berharap ada lembaga nasional dan internasional bisa menjadi solusi untuk memperkuat Pilkada Aceh.
“Saya harus katakan hal ini sebab sulit membiarkan Pilkada Aceh hanya ditangani lembaga lokal. Harus ada pengaruh luar yang berperan sebagai pemantau dan pengawas,” tegas Sudirman.
Ia mencontohkan soal perubahan sikap KIP yang begitu cepat terkait keputusannya soal kelolosan paslon gubernur dan wakil gubernur Aceh. Tadinya KIP bersikeras bahwa hanya ada satu pasangan calon yang lolos. Padahal secara nasional sudah ada upaya untuk menghindari calon tunggal.
“Yang terjadi di Aceh sangat aneh. Malah KIP sempat hanya meloloskan satu pasangan saja yang berhak ikut Pilkada. Inikan sangat bertentangan dengan kebijakan,” kata Sudirman lagi.
Anehnya lagi, tambah Sudirman Hasan, alasan tidak meloloskan pasangan itu terkait hal-hal yang tidak substantial. Syukurnya KIP kemudian mengubah keputusannya setelah mendapat penjelasan dari pusat sehingga akhirnya ada dua pasangan calon kepala daerah yang dinyatakan berhak mengikuti Pilkada.
Kinerja KIP Aceh ini semakin memperkuat ancaman bahwa Pilkada Aceh akan banyak menghadapi tantangan. Tantangan itu tidak hanya pada penyelenggara dan pengawas, tapi juga kondisi keamanan di lapangan.
Sebelumnya Aceh sempat heboh dengan adanya pelemparan granat oleh dua orang pria tak dikenal di rumah Bustami Hamzah, salah satu calon gubernur yang ikut pada kontestasi Pilkada Aceh. Berikutnya ada pula ancaman menggunakan pistol kepada salah seorang tim sukses kepala daerah di Aceh Barat.
Ancaman kekerasan lainnya berpotensi mengintai pemilih, tim sukses atau kandidat kepala daerah. Untuk menghindari hal seperti itu, makanya Sudirman berharap lembaga nasional dan internasional meningkatkan perhatian untuk Aceh.(ar)