Lalu bagaimana cara memanfaatkan potensi energi bersih tersebut yang akan menjadi sumber bagi masa depan yang berkelanjutan?
Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Bendungan Sumatera I, Fardianti, kepada Serambinews.com menyebutkan, pengelola bendungan tersebut sudah dibentuk dua tahun yang lalu.
“Proyek itu juga berfungsi sebagai sumber irigasi, intensifikasi untuk menambah pola tanam dan ekstensifikasi untuk menambah suplai irigasi baru, melalui bendungan. Kemudian fungsi lainnya untuk penyediaan air baku dan PLTA,” ujar Fardianti.
Tapi untuk kedua hal tersebut mungkin nantinya kata Fardianti, bisa bekerja sama PDAM dengan PLN.
“Tugas kita sampai menyelesaikan bangunan dan mengisi (air). Untuk mengisi itu, butuh waktu pengamatan selama dua tahun. Lalu kita akan lakukan sertifikasi OP-nya, setelah keluar sertifikasi OP, baru bendungan itu bisa berfungsi, bisa dioperasionalkan,” katanya.
Sebab, harus dilihat perilaku dari bendungan tersebut, jadi harus dilakukan pengamatan.
“Kalau selesai tahun ini, baru bisa kita operasionalkan tahun 2026, itupun setelah keluar sertifikasi OP-nya,” katanya.
Sertifikat tersebut dikeluarkan Oleh Komisi Keselamatan Bendungan (KKB) yang juga berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Jadi, semua bendungan yang dibangun pemerintah dan swasta harus mendapat izin dari KKB.
Namun, menurut Ketua Program Studi Magister Energi Terbarukan Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh, Dr Adi Setiawan MT, inisiator dalam pembangunan PLTA di Bendungan Keureuto adalah Pemerintah Daerah.
Dengan cara diajukan terlebih dahulu ke dalam Rencana Induk Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Induk Energi Aceh (RUEA).
“Pemkab lebih memahami kondisi dan potensi daerah dan kebutuhan utama terhadap energi listrik,” ungkap Dr Adi.
Menurut Dosen dengan bidang keahlian Teknik Konversi Energi ini, Pemerintah berperan penting dalam menyusun kebijakan energi dan menyusun rencana pembangunan dengan melibatkan anggota legislatif, akademisi dan perwakilan badan usaha/ pihak asosiasi industri energi nasional.
Dalam pelaksanaan pembangunan PLTA lanjut Dr Adi, memerlukan peran pihak swasta sebagai pelaksana project Engineering, Procurement, and Construction (EPC) yang ditawarkan melalui PT PLN (Persero), atau dapat melalui skema Independent Power Producer (IPP), Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), atau juga dengan skema lain, seperti sewa beli (Build, Lease and Transfer).
Lulusan Doktor Newcastle Of University Australia itu juga mengungkapkan pembangunan PLTA dapat dilakukan, tentunya setelah konstruksi bangunan bendungan telah lolos uji kelayakan operasional.
Karena ada sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan di antaranya; ketersediaan air, kapasitas penyimpanan air, ketersediaan tinggi muka air (head), aksesibilitas lokasi, kemudian jarak dari pusat beban/ interkoneksi jaringan listrik dan jenis lahan lokasi.