Jurnalisme Warga

Mengayuh Asa di Atas Roda, Mengabdi untuk ISBI Aceh di Bulan Ramadhan

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ICHSAN, M.Sn.,  Ketua Jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, juga Anggota FAMe, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar

ICHSAN, M.Sn.,  Ketua Jurusan Seni Rupa dan Desain Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, juga Anggota FAMe, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar

Ramadhan selalu memiliki arti yang mendalam bagi umat Islam di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di bulan yang penuh berkah ini, setiap umat muslim diwajibkan menjalankan ibadah puasa, menahan diri dari makan, minum, dan segala bentuk godaan sejak fajar menyingsing hingga magrib tiba.

Namun, Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, Ramadhan adalah bulan untuk memperkuat iman, memperbanyak ibadah, dan merenungkan perjalanan hidup.

Bagi saya, dosen di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, bulan Ramadhan memiliki makna tersendiri. Selain menjalankan ibadah puasa, saya juga tetap melanjutkan tugas mulia sebagai pengajar. Di sinilah letak perbedaannya. Meski harus menjalani puasa, tugas sebagai dosen tak pernah berkurang. Materi kuliah tetap berjalan seperti biasa, dan saya harus memastikan mahasiswa mendapatkan ilmu yang berguna untuk masa depan mereka.

Namun, ada satu hal yang membuat perjalanan ini menjadi lebih berarti, yaitu prinsip dedikasi untuk anak-anak negeri. Sebagai dosen, saya menyadari betul bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk membangun masa depan bangsa.

Setiap hari saya mengajar dengan sepenuh hati karena saya percaya bahwa generasi muda yang cerdas dan terampil adalah harapan bagi kemajuan negara kita, termasuk Aceh, tempat saya mengabdi.

Tugas ini, meski berat, selalu saya jalani dengan penuh semangat. Bahkan, di tengah kesibukan Ramadhan yang penuh tantangan, saya tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik.

Setiap hari saya tempuh perjalanan jauh dari Lambaro, Banda Aceh, menuju Jantho, tempat Kampus ISBI Aceh berada. Jaraknya hampir 100 km pulang pergi. Melebihi jarak tempuh antara Yogyakarta ke Solo atau hampir sama dengan jarak antara Jakarta ke Bandung. Rute perjalanan ini sudah menjadi rutinitas harian saya.

Biasanya, saya gunakan sepeda motor (sepmor) untuk menempuh jarak jauh ini. Sepmor adalah pilihan yang lebih praktis bagi saya, bukan karena alasan efisiensi anggaran, melainkan karena kenyamanan dan fleksibilitasnya. Saya bisa lebih leluasa melewati jalanan yang terkadang padat dan tidak terduga.

Tentu saja perjalanan panjang ini tidak selalu berjalan mulus. Seperti sebelum Ramadhan lalu, sepmor yang saya kendarai  bocor bannya dan harus saya dorong hampir 5 km untuk mencari tempat tempel ban. Meski sangat melelahkan, saya tidak merasa terlalu terbebani. Bagi saya, setiap perjalanan yang saya tempuh adalah bagian dari dedikasi sebagai pendidik yang mengabdi untuk negeri ini.

Setiap kilometer yang saya lewati adalah langkah kecil menuju masa depan yang lebih baik bagi generasi muda Aceh dan Indonesia secara keseluruhan.

Meski ada tantangan seperti ban bocor atau jalanan rusak, saya selalu merasa bersyukur karena perjalanan ini memberikan banyak pelajaran hidup. Di setiap perjalanan, saya dapat melihat kehidupan masyarakat sekitar, keindahan alam Aceh, serta tantangan dan peluang yang ada. Aceh, dengan segala keindahan alamnya, seolah mengingatkan saya akan pentingnya menjaga tanah kelahiran ini.

Semangat juang yang saya rasakan di atas sepeda motor ini membawa saya pada pemikiran yang lebih dalam tentang masa depan Aceh dan Indonesia.

Di setiap perjalanan panjang ini, saya selalu teringat akan cita-cita saya sebagai pendidik. Saya ingin melihat anak-anak bangsa tumbuh menjadi pribadi cerdas, terampil, dan berakhlak mulia. Mereka adalah masa depan Indonesia. Setiap kali mengajar, saya selalu berusaha untuk tidak hanya memberikan pengetahuan teknis, tetapi juga membentuk karakter dan mentalitas mereka. Saya ingin mahasiswa saya tidak hanya sukses di bidang akademik, tetapi juga menjadi pribadi yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

Sebagai bulan penuh berkah, Ramadhan memperkuat tekad saya untuk mengabdi. Saya percaya bahwa di bulan yang mulia ini, doa-doa yang dipanjatkan akan lebih mudah dikabulkan.

Oleh karena itu, saya selalu mendoakan agar generasi muda Aceh dapat menjadi anak-anak mulia, yang kelak akan membawa perubahan positif bagi negeri ini. Saya juga berharap kehidupan masyarakat Aceh makin sejahtera, agar kami, para pengajar, bisa lebih mudah menjalankan tugas tanpa harus menempuh perjalanan jauh setiap hari. Impian sederhana saya adalah memiliki rumah di sekitar Jantho, sehingga saya tak perlu lagi menempuh jarak yang begitu jauh setiap hari (pp Banda Aceh-Jantho).

Ramadhan bagi saya adalah waktu untuk merenung. Dalam perjalanan panjang itu, saya sering merenung tentang apa yang masih harus saya perjuangkan dan bagaimana cara terbaik untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar.

Setiap langkah yang saya ambil, baik itu di atas sepmor atau dalam kehidupan sehari-hari, adalah bentuk pengabdian saya untuk bangsa dan negara.

Di bulan Ramadhan, saat hati lebih lapang dan pikiran lebih jernih, saya semakin yakin bahwa pengabdian ini adalah jalan hidup yang harus saya tempuh.

Ramadhan juga mengajarkan saya tentang kesabaran dan ketekunan. Dalam menjalani kehidupan sebagai dosen, sering kali saya mengalami tantangan yang tidak mudah. Namun, Ramadhan mengajarkan saya untuk terus berusaha dan tidak mudah menyerah.

Setiap hari yang saya lewati, meskipun penuh tantangan, saya coba untuk jalani dengan penuh syukur. Saya menyadari, setiap kesulitan yang saya hadapi adalah bagian dari ujian hidup dan saya harus melewatinya dengan sabar serta ikhlas.

Di atas sepmor saya selalu berdoa untuk diri saya, juga untuk anak-anak bangsa. Saya berharap mereka menjadi pribadi bijaksana, berani menghadapi tantangan, dan memiliki hati yang tulus dalam mengabdi.

Saya juga berharap Aceh semakin sejahtera dan maju. Saya percaya bahwa melalui pendidikan dan pengabdian, kita semua dapat membawa perubahan yang positif.

Sepmor yang saya kendarai, meskipun sederhana, memiliki arti yang sangat penting bagi saya. Bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga simbol perjuangan. Setiap kali saya mengendarainya, saya merasa bahwa saya sedang mengayuh asa untuk masa depan yang lebih baik. Roda yang berputar membawa saya menuju harapan, menuju perubahan yang lebih baik, untuk diri saya, mahasiswa, maupun untuk Aceh dan Indonesia.

Perjalanan 94,6 km setiap hari itu adalah bentuk pengabdian yang harus saya jalani dengan penuh ikhlas. Tidak ada yang lebih berharga selain mengabdi untuk anak-anak bangsa dan Indonesia yang lebih baik.

Perjalanan ini tidaklah mudah, tetapi saya bahagia karena dapat mengabdi, berbagi ilmu, dan bahagia karena saya tahu setiap langkah yang saya ambil adalah untuk kebaikan bersama. Di atas roda sepmor, saya tidak hanya mengayuh jarak, tetapi juga mengayuh harapan untuk masa depan yang lebih cerah.

Ramadhan tahun ini memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Sebagai dosen, Ramadhan adalah waktu untuk merenung, berdoa, dan mengabdi.

Dalam setiap langkah dan setiap doa, saya yakin bahwa kita semua bisa membawa perubahan yang berarti, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk negeri tercinta ini.

Berita Terkini