Oleh: Mahfudz Y Loethan, ketua Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional Aceh
DI tengah dinamika perubahan ekonomi global, daerah yang ingin bertahan dan berkembang tak cukup hanya bergantung pada sumber daya alam atau anggaran transfer pemerintah.
Daerah harus mampu membaca potensi baru, memupuknya, dan menjadikannya fondasi ekonomi jangka panjang. Salah satu potensi yang selama ini kerap luput dari perhatian adalah sektor ekonomi kreatif (Ekraf).
Aceh, sebagai daerah yang kaya akan sejarah, budaya, dan keberagaman produk lokal, sejatinya memiliki modal kuat untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia. Mulai dari kuliner, fesyen, kriya, seni rupa, pertunjukan, desain komunikasi visual, film, aplikasi digital hingga arsitektur.
Semua subsektor ini hidup dan berkembang di tengah masyarakat, meskipun belum ditopang oleh kebijakan dan pengelolaan yang terstruktur.
Dalam konteks inilah, rencana Pemerintah Aceh di bawah Gubernur Muzakir Manaf atau Mualem dan wakil gubernur Fadhlullah (Dek Fadh) membentuk Dinas Ekonomi Kreatif patut mendapatkan apresiasi tinggi. Langkah ini adalah bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam membaca arah perkembangan ekonomi modern, sekaligus mengakui pentingnya peran ekonomi kreatif sebagai pilar baru penggerak pertumbuhan daerah.
Lebih membanggakan lagi, rencana ini mendapat dukungan kuat dari berbagai pihak, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang turut mendorong penguatan kebijakan untuk ekosistem ekonomi kreatif, hingga kalangan akademisi, khususnya Universitas Syiah Kuala (USK), yang telah menunjukkan komitmen dalam pengembangan riset, pendampingan pelaku kreatif, dan penguatan kapasitas SDM.
Bukan tanpa alasan ekonomi kreatif menjadi perhatian nasional. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (sebelum bergabung ke dalam Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) mencatat bahwa sektor ekonomi kreatif telah memberi kontribusi signifikan bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Pada tahun-tahun sebelum pandemi, Ekraf menyumbang lebih dari Rp 1.200 triliun per tahun, menempatkannya sebagai salah satu sektor dengan pertumbuhan paling stabil dan berdaya tahan di tengah fluktuasi global.
Subsektor seperti kuliner, fesyen, dan kriya selalu menjadi tiga besar penyumbang pendapatan terbesar. Fakta ini tentu seharusnya menjadi dorongan kuat bagi Aceh untuk mengoptimalkan potensi ekonomi kreatifnya, apalagi Aceh memiliki kekayaan budaya dan produk khas yang mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional.
Ruang kolaborasi
Keberadaan Dinas Ekonomi Kreatif akan menjadi kunci utama dalam menciptakan arah pembangunan ekonomi kreatif yang lebih fokus, terencana, dan terukur. Selama ini, pengembangan sektor kreatif di Aceh kerap terpecah-pecah dalam berbagai program lintas dinas tanpa koordinasi yang kuat, sehingga sulit menghasilkan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Dengan adanya dinas ini, semua program pengembangan 17 subsektor ekonomi kreatif, mulai dari pendataan, penguatan kapasitas SDM, promosi produk, akses pembiayaan, perlindungan hak kekayaan intelektual, hingga jejaring pemasaran nasional dan global--bisa dikelola dalam satu atap yang terfokus. Lebih dari itu, dinas ini juga akan menjadi ruang kolaborasi yang ideal bagi semua pihak: pelaku usaha kreatif, pemerintah, akademisi, komunitas, dan swasta.
Sebuah ekosistem yang sehat dan berdaya saing tidak mungkin terwujud tanpa lembaga yang mampu memfasilitasi dan mengoordinasikan seluruh potensi tersebut.
Namun, keberhasilan pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif di Aceh tidak semata terletak pada aspek kelembagaan. Yang lebih penting adalah bagaimana dinas ini mampu menerjemahkan kebijakan ke dalam program-program nyata yang menyentuh kebutuhan para pelaku kreatif di lapangan.
Salah satu tantangan besar yang perlu segera diatasi adalah masih rendahnya tingkat literasi ekonomi kreatif, bahkan di kalangan pelaku itu sendiri.
Banyak pelaku usaha di Aceh yang sebenarnya sudah terlibat dalam industri kreatif-- kuliner, kriya, fesyen, hingga konten digital--namun belum memahami dengan baik ekosistem ekonomi kreatif.
Mulai dari manajemen bisnis, perlindungan hak kekayaan intelektual, pemasaran berbasis digital, hingga pengembangan brand produk. Akibatnya, produk yang berkualitas sering kali tidak mampu bersaing secara berkelanjutan di pasar yang lebih luas.
Inilah mengapa, penguatan literasi ekonomi kreatif harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan dinas nantinya. Literasi yang kuat akan melahirkan pelaku industri yang bukan hanya kreatif, tetapi juga cerdas dalam membaca pasar, mengelola bisnis, serta menjaga orisinalitas karya.
Jika ekosistem ini bisa dibangun dengan serius, Aceh tidak hanya menjadi penonton, tetapi akan tampil sebagai pemain utama dalam peta industri kreatif nasional bahkan global.
Dalam kaitan itu, Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (Gekrafs) telah mendorong lahirnya institusi ekonomi kreatif di Aceh, karena Aceh memiliki potensi yang sangat besar di sektor ini.
Tidak hanya itu, Gekrafs juga merupakan organisasi yang menginisiasi dan mendorong penetapan Hari Ekonomi Kreatif Nasional (Hekrafnas), yang kini diperingati setiap 24 Oktober.
Hekrafnas menjadi momentum penting untuk memperkuat kesadaran bersama, bahwa ekonomi kreatif bukan sekadar pelengkap ekonomi daerah, melainkan telah menjadi salah satu sumber penghasilan penting bagi negara, sekaligus penggerak ekonomi masa depan republik tercinta ini.
Bangga produk lokal
Di tengah maraknya produk luar yang membanjiri pasar, sudah saatnya kita berani dan bangga mengenakan, mengonsumsi, dan mempromosikan produk-produk hasil kreasi anak Aceh sendiri. Produk yang lahir dari tangan-tangan kreatif masyarakat Aceh bukan hanya menawarkan kualitas, tetapi juga mengusung nilai identitas, sejarah, dan kebanggaan daerah.
Kelak, kita akan sangat berbangga hati melihat jenama-jenama atau brand lokal Aceh, mulai dari fesyen muslim yang kuat dengan sentuhan desain identitas keacehan, kuliner khas yang dikemas modern, hingga produk kriya dan kerajinan lainnya, terpajang di etalase-etalase gerai ritel nasional.
Lebih dari itu, akan menjadi momen membanggakan ketika kita menyaksikan produk kreatif buatan anak Aceh bersaing di pasar global, membawa nama Aceh harum di tingkat dunia.
Sinergi antara pemerintah, legislatif, akademisi, komunitas, dan pelaku industri akan menjadi fondasi kokoh bagi pertumbuhan ekonomi kreatif di Aceh.
Dukungan dari DPRA dalam penguatan regulasi, serta peran perguruan tinggi seperti USK dalam pengembangan SDM dan riset, akan mempercepat lahirnya ekosistem kreatif yang sehat, berkelanjutan, dan berdampak luas bagi perekonomian Aceh.
Rencana pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif di Aceh adalah sebuah langkah maju yang patut kita dukung bersama. Kehadiran dinas ini bukan hanya tentang menata administrasi, melainkan tentang menciptakan ruang bagi inovasi, kolaborasi, dan kebanggaan akan karya lokal.
Ekonomi kreatif adalah tentang masa depan. Dan masa depan Aceh sudah dimulai hari ini, lewat kebijakan yang tepat, dukungan yang nyata, dan kebanggaan terhadap produk buatan anak Aceh.