Berita Nasional

Pengusaha Mulai Kurangi Ukuran Tempe Imbas Kenaikan Harga Kedelai, Produsen Khawatirkan Hal Ini

Penulis: Agus Ramadhan
Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja menyelesaikan pesanan tahu di salah satu pabrik tahu di kawasan Geuce, Banda Aceh, Jumat (28/8). Perang dagang mengakibatkan naiknya harga jual kedelai impor. Pengusaha terpaksa mengecilkan ukuran tahu/tempe yang dijual ke konsumen.

Pengusaha Mulai Kurangi Ukuran Tempe Imbas Kenaikan Harga Kedelai, Produsen Khawatirkan Hal Ini

SERAMBINEWS.COM – Perang dagang yang dilancarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump membuat harga kedelai naik, dan menimbulkan dampak nyata di lapangan.

Sejumlah pengusaha tempe mulai mengurangi ukuran produk mereka sebagai langkah bertahan di tengah lonjakan biaya bahan baku.

Langkah ini terpaksa diambil menyusul kenaikan harga kedelai impor, yang menjadi bahan utama dalam produksi tempe. 

Kenaikan tersebut membuat biaya produksi meroket, sementara pengusaha mulai mengkhawatirkan menurunya jumlah pembeli.

Kenaikan harga kedelai itu berdampak pada pembuatan tempe di Sentra Industri Tempe Sanan, Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (22/4/2025).

Sejumlah pedagang mengatakan, kenaikan harga makanan favorit warga Indonesia itu naik sebelum Lebaran Idulfitri 2025.

Tak hanya itu, para produsen juga mulai khawatir akan berkurangnya minat konsumen, karena ukuran tempe yang menyusut bisa memicu ketidakpuasan.

Meski demikian, para produsen tempe mengaku sulit menaikkan harga, karena khawatir kehilangan pembeli.

"Kenaikan ini sejak sebelum Lebaran Idulfitri 2025 atau awal puasa. Dulu harga kedelai Rp 9.100 per kilogram dan terus naik hingga sekarang Rp 9.950 per kilogram," terang Dice Saputro, salah satu perajin tempe di Sanan, Kota Malang, dilansir dari TribunJatim.

Dice mengaku harus mengurangi tebal ukuran tempe yang ia produksi. 

"Semakin lama, semakin menipis hampir setengah centi kita kurangi," jelasnya. 

"Ya mau bagaimana lagi, mau menaikkan harga tempe takut pelanggan mengeluh," tambahnya. 

Dice menambahkan, meski harga naik, namun kualitas tempe tetap dijaga. 

"Ya kita tetap jaga kualitas, maka ukuran yang kita kurangi," tambahnya. 

Selain memperkecil ukuran, di tempatnya, produksi tempe harus dikurangi. 

Yang awalnya dari lima kuintal menjadi empat kuintal per hari. 

Sementara itu, salah satu pedagang tempe, Mustofa tetap berjualan meski ukuran tempe dikurangi. 

"Tetap kita jualan, tapi ukuran tempe yang semakin mengecil banyak. Pelanggan yang protes. Tapi mereka tahu kok kalau naik, jadi tetap dibeli," jelas Mustofa. 

Dirinya menambahkan, meski harga naik, warga tetap membeli tempe miliknya. 

"Di pasar warga kalau dulu beli Rp 50 ribu sekarang jadi Rp 30 ribu," tambahnya.

Terjadi di Banten

Di Kabupaten Pandeglang, Banten, harga kedelai impor yang menjadi bahan baku utama tempe melonjak.

Produsen tempe terpaksa mengurangi ukuran dan terancam gulung tikar.

Kenaikan harga kedelai dirasakan para produsen tempe di Pandeglang dalam beberapa hari terakhir.

Harga kedelai impor yang semula dijual Rp9.000,- per kilogram menjadi 12.000,- per kilogram.

Meski demikian, produsen tempe mengaku sulit menaikkan harga karena khawatir kehilangan pembeli.

Mereka menyiasati dengan memperkecil ukuran tempe.

Namun, jika harga kedelai terus tinggi, produsen tempe terancam gulung tikar karena tidak sesuai dengan ongkos produksi.

Pemerintah diharapkan memberi solusi agar harga kedelai bisa normal lagi.

Di Sulawesi Barat 

Sejumlah pengrajin tahu dan tempe di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar), meradang akibat kenaikan harga kedelai imbas perang tarif dagang Amerika Serikat (AS).

Mereka terpaksa mengurangi produksi dengan keuntungan yang semakin menipis agar tidak gulung tikar.

Seperti dirasakan pengrajin tahu bernama Adrian Hendri Prayoga di Desa Sugihwaras, Kecamatan Wonomulyo, Polman.

Menurut Adrian, kenaikan harga kedelai yang menjadi bahan baku utama pembuatan tahu dan tempe terjadi pascalebaran Idul Fitri kemarin. 

Harga kedelai perlahan melejit menjadi Rp 10.700 per Kilogram (Kg) dari harga awal Rp 9.600 per Kg.

Harga terbaru saat ini sudah tembus Rp 16.500 per Kg berdasarkan data Dinas Perdagangan Polman.

"Kalau dibilang rugi tidak juga, hanya keuntungan memang semakin menipis, jadi terpaksa kita mengurangi saja produksi demi mempertahankan langganan," kata Adrian kepada wartawan, Selasa (22/4/2025), dikutip dari TribunSulbar.

"Ada kenaikan harga kedelai habis lebaran kemarin, dari harga Rp 9.600 naik menjadi Rp 10.700 per Kg," lanjutnya.

Adrian mengaku tidak mengetahui secara pasti pemicu naiknya harga kedelai. 

Dia menduga kenaikan harga dampak perang tarif dagang dilancarkan pemerintah AS sebab pengrajin tahu dan tempe masih bergantung pada kedelai impor.

"Mungkin masalah di luar negeri, perang tarif dagang, Amerika, atau mungkin di sana stoknya memang lagi tidak ada," katanya lagi.

Adrian menyebut selama ini sangat bergantung sama kedelai impor, lantaran produksi kedelai lokal hanya sedikit.

Dia mengaku tidak dapat berbuat banyak untuk menyiasati kenaikan harga kedelai ini. 

Menurutnya, opsi mengurangi produksi jauh lebih baik ketimbang ikut menaikkan harga jual atau mengurangi ukuran tahu dan tempe.

Adrian berharap pemerintah dapat melakukan upaya antisipasi apabila kenaikan harga ini terus terjadi. 

(Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Berita Terkini