Opini

Hukum Waris ala Artificial Intelligence

Editor: mufti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Afridal Darmi SH LLM, Advokat dan pembela HAM berdomisili di Aceh Besar

Afridal Darmi SH LLM, Advokat dan pembela HAM berdomisili di Aceh Besar

KETIKA sedang menimbang-nimbang selik-melik praktik hukum di zaman disrupsi informasi digital ini, tak pelak penulis sebagai seorang advokat sering bertanya-tanya tentang berbagai aspek hukum yang rumit dari perspektif artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Misalnya, beberapa waktu lalu, timbul pertanyaan yang tidak biasa di benak penulis: “Bagaimana ya, pendapat hukum yang akan diberikan AI jika dikonsultasikan soal kasus hukum waris?”

Hukum waris Islam dikenal sebagai sistem hukum yang sangat rinci dan sistematis, sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an, hadis Nabi SAW, serta hasil ijtihad para ulama melalui ilmu faraid. Dalam konteks keluarga Muslim, warisan bukan sekadar soal harta benda, melainkan juga menyangkut tanggung jawab moral dan nilai-nilai syar’i yang diwariskan antar generasi.

Namun, bertanya soal warisan sering kali dianggap tabu. Banyak orang enggan mengangkat topik ini kepada tokoh agama, penghulu, bahkan kepada keluarga sendiri. Ada rasa sungkan, takut dikira tamak, atau bingung harus memulai dari mana.

Di tengah kebekuan komunikasi ini, teknologi AI muncul sebagai pilihan yang cepat, anonim, dan mudah diakses. Tak sedikit yang akhirnya mencoba bertanya kepada AI tentang siapa ahli waris yang sah, bagaimana proporsi pembagian harta, atau apakah cucu berhak menerima warisan bila ayahnya sudah wafat terlebih dahulu.

Ketika penulis mencoba menguji AI dalam menjelaskan hukum waris Islam, secara umum AI mampu memberikan penjelasan dasar yang cukup informatif. AI menjabarkan bahwa Surah An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, dan 176 memuat ketentuan eksplisit tentang hak waris, seperti bagian anak laki-laki yang dua kali lipat dari anak perempuan, hak istri seperempat atau seperdelapan tergantung kondisi pewaris, serta bagian orang tua dan saudara kandung.

AI bahkan dapat mengenalkan istilah teknis seperti ‘ashabah dan dzawil arham, menjelaskan perbedaan antara wasiat dan hibah, serta menampilkan skema perhitungan waris berdasarkan struktur keluarga tertentu. Ini tentu sangat membantu bagi orang awam yang ingin belajar atau memahami dasar hukum waris Islam.
Namun, di sinilah muncul batasannya. AI bekerja berdasarkan logika sistem dan data. Ia tidak memiliki empati, tidak memahami emosi manusia, tidak bisa membaca konteks sosial atau budaya yang melatarbelakangi sebuah keluarga.

AI tidak tahu apakah dalam keluarga itu ada konflik lama, ada utang yang belum dibayar, atau ada anak yang dengan setia merawat orang tua hingga akhir hayat mereka.

Hukum waris Islam bukan hanya tentang angka. Ia mengandung nilai keadilan, silaturahmi, dan keberkahan. Dalam banyak kasus, pembagian waris yang tampak adil secara matematis bisa menjadi sumber perpecahan bila tidak dilandasi dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. AI, dengan segala kecanggihannya, tidak mampu mengenali dimensi-dimensi halus ini.

AI bukan mufti. Ia bukan qadhi. AI bukan orang tua kita, bukan guru yang mengenal siapa kita. Ia tidak bisa mengeluarkan fatwa, tidak bisa menjadi penengah sengketa, dan tentu saja tidak memiliki otoritas syar’i.
Penulis teringat sebuah kasus nyata. Seorang ibu yang baru saja kehilangan suami menghadapi perbedaan sikap anak-anaknya soal warisan.

Sebagian anak ingin segera membagi harta secara kaku sesuai hitungan, sementara si ibu berharap ada musyawarah yang mempertimbangkan kondisi keluarga. Ada rumah yang ditempati bersama, ada anak yang belum mandiri, ada kenangan yang tidak ingin dilepas begitu saja. Dalam situasi seperti ini, AI tak bisa membantu banyak. Yang dibutuhkan bukan hanya hitungan, tapi rasa hormat, kasih sayang, dan kepemimpinan moral dalam keluarga.

Soal amanah

Hal penting lainnya adalah bahwa pemahaman hukum waris sering kali bercampur dengan adat, mazhab, dan praktik sosial tertentu. Misalnya soal anak angkat, harta gono-gini, utang piutang yang belum tercatat, atau konflik lama yang memengaruhi kepercayaan antar anggota keluarga. AI tidak akan mampu membaca lapisan-lapisan tersebut.

Meski demikian, kita tak boleh serta-merta menolak AI. Sebagai alat bantu belajar, AI sangat bermanfaat. Banyak orang yang awalnya awam menjadi tertarik mempelajari hukum Islam karena terpancing oleh jawaban dari AI. Mereka kemudian menyusun pertanyaan lanjutan, mencari rujukan kitab, dan akhirnya berkonsultasi dengan ulama atau ahli faraid.

Dalam konteks ini, AI dapat berperan sebagai jembatan awal. Ia seperti buku pintar yang tersedia 24 jam. Tapi keputusan akhir dalam urusan hukum waris harus berada di tangan mereka yang berwenang, yang paham hukum agama dan paham manusia. Sebab warisan menyangkut hak orang lain dan berdampak bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.

Halaman
12

Berita Terkini