Oleh: Tuanku Warul Waliddin, SE, Ak*)
GEKRAFS (Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional) adalah gerakan masyarakat dan para pelaku ekonomi kreatif yang memiliki visi bersama yakni belajar, bersinergi, berdaya guna menjadikan Ekonomi Kreatif sebagai masa depan, menuju Indonesia Emas 2045.
Gekrafs berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia.
Organisasi ini memperjuangkan hak dan perlindungan hukum bagi para pelaku ekonomi kreatif, serta mempromosikan keberagaman budaya dan seni Indonesia.
Gekrafs secara aktif mendorong inovasi, pendidikan, dan kolaborasi antara pelaku ekonomi kreatif, pemerintah, dan sektor swasta.
Gekrafs berfokus pada 17 sub sektor ekonomi kreatif yang mencakup seni pertunjukan, seni visual, desain, mode, arsitektur, film dan animasi, musik, permainan, penerbitan, radio dan televisi, kuliner, kerajinan tangan, kerajinan digital, seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, serta seni rakyat.
Organisasi ini menyadari bahwa keberagaman ini adalah aset berharga yang mendefinisikan kekayaan budaya Indonesia.
Jika kita mengacu pada 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka Gekrafs Aceh sangat memiliki sinergi yang kuat didalam memenuhi cita-cita Bersama mewujudkan kemandirian.
Kemandirian bukan sekadar berdiri di atas kaki sendiri, tapi tentang bagaimana kita menciptakan ekosistem yang hidup, berkelanjutan, dan berdampak.
Di Aceh, geliat ekonomi kreatif yang digerakkan oleh Gekraf (Gerakan Ekonomi Kreatif) bukan cuma tentang seni, musik, kuliner, atau fashion—ini tentang masa depan.
Kalau kita bicara Sustainable Development Goals (SDGs), mungkin kesannya jauh dan global. Tapi sebenarnya, pencapaiannya dimulai dari langkah-langkah kecil di level lokal.
Di sinilah peran Gekrafs Aceh jadi sangat relevan. Komunitas yang bergerak dengan semangat kolaborasi, inovasi, dan keberdayaan lokal, perlahan tapi pasti sedang membangun fondasi untuk pencapaian tujuan global itu.
Baca juga: Kemen Ekraf Fasilitasi Pendaftaran HKI kepada 75 Pelaku Ekonomi Kreatif di Banda Aceh Gratis
Misalnya, kemandirian pelaku UMKM kreatif secara langsung mendukung SDGs poin 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), SDGs poin 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur), dan bahkan poin 11 (Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan).
Jadi, setiap kali ada pameran kreatif, workshop pelatihan, atau kolaborasi lintas sektor yang digagas Gekraf Aceh, itu bukan cuma kegiatan—itu investasi masa depan.
Apakah ini cukup? Tentu belum. Tapi ini awal yang baik. Karena saat komunitas kreatif mulai bergerak tanpa harus menunggu, itu tanda bahwa kita tidak lagi bergantung—kita sedang membangun.
Kemandirian hari ini bukan hanya soal bertahan, tapi soal tumbuh dan memberi dampak.
Dan siapa sangka, dari Aceh, dari ruang-ruang kreatif yang mungkin sederhana, kita sedang ikut menentukan arah dunia esok hari, sejatinya Aceh kerap kali menjadi Inspirasi Nasional didalam berbagai Gerakan Kemajuan.
Kali ini Gekrafs Aceh harus kembali memberi warna tersendiri bagi Gerakan Ekonomi Kreatif ditataran lokal maupun nasional.
Pembangunan berkelanjutan bukan hanya persoalan infrastruktur dan kebijakan makro; ia juga terwujud dalam dinamika lokal yang tumbuh dari inisiatif masyarakat.
Dalam konteks ini, ekonomi kreatif memiliki posisi strategis sebagai katalisator perubahan, dan Gekraf (Gerakan Ekonomi Kreatif) Aceh menjadi salah satu contoh nyata bagaimana sektor ini dapat berkontribusi langsung terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Ekonomi kreatif adalah sektor yang berbasis pada ide, pengetahuan, budaya, dan teknologi. Ia menyentuh banyak aspek pembangunan: dari penciptaan lapangan kerja layak (SDG 8), penguatan industri dan inovasi (SDG 9), pengurangan kesenjangan (SDG 10), hingga pelestarian budaya dan pembangunan komunitas berkelanjutan (SDG 11).
Gekraf Aceh, dengan berbagai inisiatifnya, menunjukkan bahwa kreativitas bukan sekadar ekspresi, tetapi juga solusi.
Kemandirian yang mulai tumbuh dalam tubuh Gekraf Aceh—melalui penguatan kapasitas pelaku, kolaborasi antar komunitas, hingga lahirnya produk dan layanan berbasis kearifan lokal—menjadi indikator penting.
Ini bukan hanya bukti bahwa ekonomi kreatif dapat bertahan di tengah tantangan, tetapi juga bahwa sektor ini mampu menjadi tulang punggung pembangunan daerah yang inklusif dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, Gekraf Aceh membuka ruang bagi generasi muda untuk terlibat aktif dalam pembangunan. Mereka tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi pelaku yang menciptakan perubahan.
Keterlibatan ini menghidupkan semangat SDG 17 (Kemitraan untuk Mewujudkan Tujuan), karena keberhasilan ekonomi kreatif membutuhkan sinergi antara pemerintah, swasta, komunitas, dan akademisi.
Dengan kata lain, kemandirian yang sedang dibangun hari ini adalah pondasi menuju masa depan yang lebih baik.
Jika ingin melihat sejauh mana kita akan mencapai tujuan-tujuan global di masa depan, lihatlah sejauh mana kita memberi ruang tumbuh bagi ekonomi kreatif hari ini.
Baca juga: Di Balik “Megahnya” Wacana Ekraf Aceh
Ketika dunia berbicara tentang Sustainable Development Goals (SDGs), seringkali diskusi mengarah pada kebijakan internasional, pembangunan infrastruktur, dan reformasi sistemik.
Namun, salah satu elemen kunci yang justru menentukan keberhasilan SDGs adalah kekuatan komunitas lokal.
Di Aceh, inisiatif Gerakan Ekonomi Kreatif (Gekraf) menjadi salah satu manifestasi nyata bagaimana gerakan masyarakat berbasis kreativitas dapat memainkan peran sentral dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Ekonomi kreatif adalah sektor yang berbasis pada ide, inovasi, dan budaya. Di dalamnya terdapat potensi luar biasa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian nilai-nilai lokal.
Dalam konteks SDGs, ekonomi kreatif relevan dengan banyak indikator: SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), SDG 9 (Industri, Inovasi dan Infrastruktur), SDG 10 (Mengurangi Kesenjangan), hingga SDG 11 (Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan). Lebih dari itu, ekonomi kreatif yang berakar pada partisipasi masyarakat turut memperkuat kemitraan dan kolaborasi lintas sektor (SDG 17).
Kemandirian Gekraf Aceh: Pilar Lokal untuk Pencapaian SDGs Global
Gekrafs Aceh tidak hanya menggerakkan sektor kreatif secara ekonomi, tetapi juga memperkuat kemandirian pelaku dan komunitas.
Melalui pelatihan, fasilitasi pasar, dan pengembangan ekosistem digital, para pelaku kreatif di Aceh diberdayakan untuk tidak hanya bertahan, tetapi berkembang.
Produk lokal, seni pertunjukan, konten digital, hingga inovasi kuliner, semuanya menjadi bagian dari rantai ekonomi yang menyerap tenaga kerja, terutama anak muda.
Kemandirian ini bukan hal yang instan. Ia lahir dari semangat gotong royong dan kesadaran akan pentingnya peran komunitas dalam pembangunan.
Ketika pelaku kreatif diberi ruang dan dukungan untuk tumbuh, mereka bukan hanya menjadi kontributor ekonomi, tetapi juga agen perubahan sosial.
Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan disrupsi teknologi, ekonomi kreatif memberikan pendekatan yang adaptif, kolaboratif, dan berkelanjutan.
Baca juga: Ekraf Membuka Jalan Masa Depan Aceh
Aceh, dengan warisan budaya yang kaya dan semangat kolektivitas yang kuat, memiliki posisi strategis dalam mendorong ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.
Jika dikelola secara sistematis dan inklusif, sektor ini dapat menjadi motor penggerak utama dalam pencapaian SDGs.
Kunci utamanya adalah keberlanjutan: keberlanjutan program, kesinambungan kolaborasi, dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan—termasuk pemerintah daerah, dunia usaha, komunitas, dan akademisi.
Ke depan, Gekrafs Aceh dapat menjadi model nasional dalam mengintegrasikan ekonomi kreatif ke dalam agenda pembangunan berkelanjutan.
Kemandirian yang ditunjukkan hari ini, meskipun masih dalam tahap berkembang, adalah fondasi penting yang akan menentukan arah pembangunan kita di masa depan.
Sebab pada akhirnya, keberhasilan SDGs bukan hanya soal angka di laporan global, melainkan tentang bagaimana masyarakat lokal hidup lebih baik, lebih adil, dan lebih bermakna.
*) PENULIS adalah Ketua DPW Masyarakat Adat Nusantara Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI