Kupi Beungoh

Di Balik “Megahnya” Wacana Ekraf Aceh

Sebelum Ekonomi kreatif digalakkan, UMKM juga sering dijadikan jargon sebagai solusi strategis untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Aceh

Editor: Amirullah
ist
Akhsanul Khalis - Direktur Bidang Politik dan Kebijakan Publik, Lembaga ESGE Study Center 

Aceh kembali mendapat angin segar: daerah ini ditetapkan sebagai prioritas ekonomi kreatif nasional. Melalui seminar, roadshow, dan media massa, Menteri Ekonomi Kreatif, melalui staf khususnya bertekad menjadikan Aceh sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kreatif nasional.

Pemerintah pun mengajak generasi muda Aceh—mulai dari pemilik brand kecantikan, parfum, musisi, seniman, hingga fotografer—untuk terlibat langsung dan menjadi influencer penggerak kreativitas.

Wacana ini patut diapresiasikan, namun yang namanya wacana kebijakan juga perlu ditelisik lebih dalam, agar tidak sunyi dari “kritikan”, karena wacana pengembangan ekonomi kreatif selama ini ternyata saling berkelindan dengan pola lama pengembangan UMKM, kendati terdapat perbedaan, namun keduanya bisa dikatakan sama terkait dengan moda produksi. 

Sebelum Ekonomi kreatif digalakkan, UMKM juga sering dijadikan jargon sebagai solusi strategis untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Aceh, yang berdasarkan data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Aceh mencapai 6,27 persen pada 2023, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berada di kisaran 5,45 % . 

Memang konteks nasional, tingkat ekonomi kreatif menunjukkan pertumbuhan impresif. Menurut data dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari Rp700 triliun pada 2013 menjadi lebih dari Rp1.400 triliun pada 2023. Tiga subsektor utama: kuliner, fashion, dan kriya mendominasi pertumbuhan tersebut (Bekraf, 2023). 

Di Aceh, sub-sektor kriya juga memiliki potensi kuat melalui bordir, songket, dan kerajinan tangan lainnya. Selain itu, kategori fashion juga menunjukkan geliat positif, misalkan produksi parfum lokal di Aceh yang berbahan baku nilam, seperti brand Minyeuk Pret mampu memproduksi hingga 300 botol parfum per hari dan sudah menembus pasar internasional, sedangkan Geunara dan Neelam masing-masing memproduksi 30 hingga 300 botol parfum per bulan dengan harga jual yang bersaing. 

Pesatnya tren parfum lokal di Aceh, alhasil Pemerintah Aceh dan Kementerian Ekonomi Kreatif berinisiatif menjadikan Banda Aceh sebagai pusat industri parfum di Indonesia. Akibat pengaruh trend itu, kita patut menduga bahwa kedepan, pemerintah berpotensi banyak memfasilitasi kegiatan seremonial, misalkan merayakan cerita kesuksesan bisnis kreatif dan lomba UMKM, pelatihan daring, sertifikat digital dan sebagainya. 

Hal yang sama yang pernah saya ingat beberapa tahun silam, dalam sebuah diskusi antara akademisi dan pemerintah daerah, mengenai topik"konektivitas lulusan perguruan tinggi dan dunia kerja", dalam diskusi itu, alih-alih membahas kebijakan penyerapan tenaga kerja, seorang narasumber dari Pejabat Dinas Tenaga Kerja justru menyarankan dan memotivasi agar menjadi wirausahawan sukses, lulusan sarjana harus berani berinovasi dan kreatif dalam membangun usaha mandiri. 

Kendati demikian dibalik megahnya kisah sukses dan angka-angka fantastis bisnis UMKM berbasis ekonomi kreatif, tersembunyi realitas pahit yang dialami pelaku usaha dan para pekerja di sektor tersebut, satu hal mendasar sering luput dibicarakan yaitu jaminan pekerja informal.

Sebagian besar pekerja informal adalah usia kerja produktif yang kemudian didorong menjadi pelaku usaha kreatif, pada hakikatnya mereka adalah “pekerja cadangan” hanya semata demi keluar dari status pengangguran. 

Berdasarkan kerangka teori Guy Standing (2011), mereka tergolong sebagai “kelas prekariat”—yaitu kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian, tanpa kepastian pendapatan, pekerjaan, atau masa depan. 

Dalam konteks ini juga, kritik Muhtar Habibi dalam Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran (2016) menjadi sangat relevan. Habibi menyoroti bagaimana negara-negara berkembang yang mengikuti jalur neoliberal biasanya menjadikan UMKM sebagai alat pelampiasan surplus tenaga kerja. 

Para pekerja informal diakomodasi dalam sektor yang tidak memiliki akses terhadap proteksi kerja atau jaringan produksi yang kuat. Mereka tidak benar-benar menjadi entrepreneur, melainkan buruh yang menyaru sebagai pengusaha—tanpa modal, tanpa perlindungan, dan tanpa arah.

Banyak pelaku bisnis dan pekerja yang bergantung hidup dari UMKM berbasis ekonomi kreatif dalam kondisi tidak menentu. Bagi pemilik usaha: rentan fluktuasi pasar beresiko bangkrut. Sedangkan bagi pekerja: jam kerja panjang, upah kecil, tanpa kontrak kerja yang jelas, tanpa jaminan kesehatan dan sosial. 

Penulis meyakini bahwa sebagian besar pekerjaan di Aceh yang tersedia bersifat informal: tanpa jaminan sosial ketenagakerjaan, dan minim keberlanjutan. Secara kualitatif, kita bisa menilai lewat wawancara pekerja informal misalkan di Banda Aceh, pemilik usaha di bidang ekonomi kreatif susah payah mempertahankan bisnisnya tanpa jaminan apapun, mereka berusaha untuk sukses, alhasil bisnisnya resiko gulung tikar, melanjutkan bisnis  terbentur oleh modal yang tentu tidak sedikit. Akhirnya mereka kembali menjadi prekariat. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved