Oleh: Tgk. Khairul Amri Ismail, M.H
ACEH bukan sebatas bagian dari peta Indonesia, tetapi Aceh adalah lembar awal sejarah peradaban Islam di Nusantara.
Di tanah inilah Syariat Islam pertama kali ditegakkan dalam struktur kenegaraan.
Di tanah ini pula, ulama dan umara dahulu berjalan seiring dalam membangun masyarakat yang berilmu, berakhlak dan berdaulat.
Karena itulah ketika Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam disahkan, sesungguhnya ia bukan sekadar produk hukum, melainkan peneguhan kembali posisi strategis Aceh sebagai penjaga garda depan peradaban Islam di Indonesia.
Di antara seluruh kandungan Qanun ini, pasal tentang tarbiyah (pendidikan) adalah jantung peradaban yang sesungguhnya.
Sebab tidak ada peradaban yang kokoh tanpa pendidikan yang unggul dan berlandaskan syariat.
Aceh telah melafazkan cita-cita pendidikan dalam Pasal 26 Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, bahwa pendidikan di Aceh harus bersifat Islami, mengakomodasi budaya lokal, melahirkan manusia yang beriman, bertakwa, cerdas dan berakhlak mulia.
Ini adalah misi besar, namun sayang hingga hari ini, cita-cita itu belum menjadi prioritas utama.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh masih tertinggal, tingkat literasi dan numerasi rendah dan ketimpangan mutu pendidikan antarwilayah masih lebar.
Lebih dari itu, penguasaan dasar-dasar keislaman seperti kemampuan membaca Al-Qur’an pun masih menjadi tantangan serius.
Apakah ini wajah dari sistem pendidikan Islami yang dicita-citakan oleh Aceh.?
Realitas ini harus menjadi alarm moral bagi para pemangku kebijakan, khususnya Gubernur Aceh, Dinas Pendidikan Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan jajaran Pemerintah Aceh lainnya.
Karena ini bukan hanya soal administrasi pendidikan, tetapi ini adalah soal wibawa Syariat dan martabat peradaban.
Gagal membangun pendidikan Islami yang unggul berarti gagal menjaga warisan besar peradaban Islam yang pernah dibanggakan dalam sejarah Nusantara.
Karena itu, menjalankan amanah Qanun ini bukanlah pilihan politis, melainkan kewajiban etis dan tanggung jawab sejarah. Amanah ini tidak boleh ditunda, apalagi diabaikan.
Pendidikan Islami bukan sekadar menambahkan jam mata pelajaran agama, tetapi ia adalah integrasi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, antara nilai-nilai ketuhanan dan kompetensi duniawi.
Anak-anak Aceh perlu dibentuk sebagai pribadi yang tidak hanya paham fikih dan akhlak, tetapi juga mampu menguasai persaingan teknologi dan pembenahan ekonomi.
Di sinilah pemerintah perlu membangun kembali filosofi kurikulum pendidikan Aceh dengan menjadikan Syariat sebagai dasar, dan kemajuan sebagai arah.
Bahkan dalam pasal 30 Qanun ini, Aceh telah menggariskan harapan pendidikan yang bermutu.
Maka kualitas guru adalah kunci dari semua harapan ini.
Aceh memerlukan para pendidik yang tidak hanya menguasai ilmu, tetapi juga memiliki integritas moral dan kapasitas membimbing generasi dalam menghadapi kompleksitas dunia modern dengan nilai-nilai Islam sebagai kompas utama, bukan hanya sekedar seminar dan FGD yang kosong tanpa perubahan yang nyata.
Menjalankan amanah pendidikan Islami di Aceh bukan perkara sederhana.
Namun bukan pula sesuatu yang mustahil. Yang dibutuhkan adalah kemauan politik yang kuat, keberanian untuk berbenah dan komitmen moral untuk membuktikan bahwa Syariat Islam benar-benar mampu melahirkan sistem pendidikan yang unggul dan berdaya saing yang tinggi.
Kita sedang dihadapkan pada dua pilihan: membiarkan sistem berjalan seadanya hingga kita kehilangan generasi, atau bangkit bersama menyusun ulang fondasi peradaban melalui pendidikan yang benar.
Pemerintah Aceh hari ini memegang kunci arah sejarah.
Jika pendidikan Islami yang diamanahkan Qanun ini ditegakkan dengan sungguh-sungguh, maka inilah identitas bangsa Aceh yang tampil sebagai panutan Nasional, bukan hanya dalam menerapkan Syariat, tetapi juga dalam menghasilkan generasi Islam yang mampu menjadi pemimpin berakhlak mulia dan kompeten.
Maka, tidak ada waktu untuk ragu atau menunda. Pendidikan Islam Aceh adalah warisan, amanah dan peluang yang tidak boleh disia-siakan. (*)
*) PENULIS adalah Mahasiswa Doktor Filsafat Universitas Islam Sultan Syarif Ali Brunei Darussalam.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Artikel KUPI BEUNGOH lainnya baca DI SINI