“Ini adalah pelanggaran sistemik yang berpotensi memicu ketegangan pusat-daerah jika tidak disikapi secara hukum dan politik dengan bijak. Aceh bukan sekadar penerima kebijakan, tetapi pemilik hak dalam mekanisme tata kelola wilayah berdasarkan UUPA,” tegasnya.
Tak hanya bersandar pada dasar hukum positif, Muksalmina juga mengingatkan bahwa pada tahun 1992 pernah ada kesepakatan batas wilayah laut antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut, yang diketahui langsung oleh Menteri Dalam Negeri kala itu. “Dokumen itu masih tersimpan dan seharusnya dijadikan dasar yuridis dan historis, bukan diabaikan,” ujarnya.
Muksalmina menilai bahwa keputusan Mendagri ini berpotensi melanggar Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang menjamin pengakuan terhadap kekhususan dan otonomi daerah. Ia menyebut bahwa tindakan administratif seperti ini dapat menjadi preseden buruk dalam relasi pusat dan daerah.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Jika dibiarkan, bisa mencederai semangat rekonsiliasi dan merusak tata kelola kewilayahan yang telah dijamin oleh perjanjian damai MoU Helsinki dan UUPA,” ucapnya.
Muksalmina menyarankan agar Pemerintah Aceh segera menyampaikan keberatan resmi secara tertulis kepada Kemendagri, serta menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila tidak ada peninjauan ulang terhadap keputusan tersebut.
Selain itu, ia juga mendorong pelibatan lembaga-lembaga pemantau pelaksanaan MoU Helsinki, sebagai wujud tanggung jawab moral dan politik terhadap implementasi perdamaian dan keistimewaan Aceh.
“Persoalan ini bukan semata soal geografis empat pulau, tapi menyangkut integritas wilayah Aceh, kewibawaan hukum nasional, dan penghormatan terhadap perjanjian damai yang menjadi fondasi kehidupan politik Aceh saat ini,” pungkasnya
Saat ini, gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat dan lembaga di Aceh terus menguat. Banyak pihak mendesak Pemerintah Aceh untuk mengambil langkah hukum dan politik agar keputusan tersebut dicabut, dan hak Aceh atas keempat pulau dikembalikan sebagaimana mestinya.(*)