Pulau Sengketa Aceh Sumut

Kisah Rudini dan Safrizal yang “Bertemu Lagi”

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

WISUDA STPDN – Foto arsip Presiden Soeharto dan Mendagri Rudini pada acara wisuda angkatan I STPDN tahun 1992 di Jatinangor, Jawa Barat, pada 24 Agustus 1992. Putra Aceh, Safrizal ZA menjadi salah satu lulusan terbaik pada wisuda itu. Safrizal dinilai memiliki wawasan kebangsaan, teguh pada pendirian, kredibilitas dan melayani rakyat, serta memiliki kemampuan memimpin di kala darurat.

Oleh: Risman A Rahman*)

NAMA Rudini, kembali terangkat kepermukaan.

Nama mendagri legendaris pada era Presiden Soeharto, menjadi perbincangan, terutama publik di Aceh, karena menjadi kunci kembalinya empat pulau—Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang, ke pangkuan Nanggroe Aceh.

Ya, lewat Kepmendagri yang ditandatangani Mendagri 1988 - 1993 itu 4 pulau kembali lagi menjadi milik Aceh.

Tapi, bukan itu saja yang menjadi plot twist. 

Penemuan Kepmendagri Nomor 111 Tahun 1992 yang sudah tersimpan 33 tahun itu menjadi takdir “pertemuan kembali” Safrizal dengan Rudini.

Rudini, bernama lengkap Jenderal TNI (Purn.) H. Rudini adalah seorang purnawirawan TNI Angkatan Darat dan politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (1983-1986) dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Nama Rudini digunakan sebagai nama balairung di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor. 

Selain itu, namanya beserta istri juga digunakan sebagai nama organisasi Gerakan Pramuka di IPDN (Gugus Depan Racana Rudini-Oddyana 15.073 - 15.074).

Meskipun dikenal secara umum dengan mononim Rudini, majalah ASEAN Forecast meletakkan nama ayah Rudini, Poespohandojo di belakang namanya, sehingga namanya menjadi Rudini Poespohandojo. 

Hal ini dikarenakan mononim tidak lazim digunakan secara internasional dalam korespondensi resmi.

Sementara Safrizal adalah pria kelahiran Banda Aceh, 21 April 1970, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri. 

Safrizal adalah salah satu dari hanya sedikit pejabat Aceh yang saat ini memiliki posisi dan jabatan tinggi di Pemerintah Pusat.

Ia pernah menjabat sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Selatan, Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan Penjabat Gubernur Aceh.

Jadi Dasar Kembalinya 4 Pulau

Pak Rudini sudah lama “berpulang.” 

Itu setahun usai MoU Helsinki. 

Sang Jenderal Bintang 4 ini meninggal 21 Januari 2006. 

Sejak dua pekan belakangan, nama Rudini kembali kerap disebut, di Aceh maupun di Jakarta.

Pasalnya, Kepmendagri yang diteken Pak Rudini inilah yang memantapkan Presiden Prabowo untuk mengembalikan empat pulau kembali menjadi milik Aceh. 

Kepmendagri tentang Penegasan Batas Wilayah antara Sumut dan Aceh itu ditemukan oleh Safrizal Cs di Kemendagri setelah berjibaku selama 4 hari 4 malam. 

Awalnya, mereka fokus mencari dokumen kesepakatan Gubernur Sumut dan Aceh tahun 1992. 

Tapi, yang ditemukan justru dokumen asli Kepmendagri yang diteken Pak Rudini selaku Mendagri. 

“Setelah 4 hari 4 malam, Senin pukul 10.00 WIB ketemu. Dan, yang ditemukan dokomen Kepmendagri,” ujar Safrizal ZA selaku Dirjen Bina Adwil Kemendagri. 

Safrizal merasa seperti bertemu kembali dengan Pak Rudini. 

Pikirannya melayang ke pertemuan pertama dengan Pak Rudini. 

Saat itu, Rudini selaku Mendagri menemani Presiden Soeharto di acara wisuda angkatan I STPDN tahun 1992 di Jatinangor, Jawa Barat, pada 24 Agustus 1992. 

Saat itu, Pak Safrizal adalah salah seorang dari abituren lulusan terbaik karena dinilai memiliki wawasan kebangsaan, teguh pada pendirian, kredibilitas dan melayani rakyat, serta memiliki kemampuan memimpin di kala darurat. 

Dan Pak Safrizal pun berkesempatan berbicang-bincang dengan Pak Harto yang ditemani Pak Rudini. 

“Jadi, saya aneuk Aceh merasa ditolong kembali oleh Pak Rudini lewat dokumennya, sehingga 4 pulau bisa kembali lagi menjadi milik Aceh,” ujar Safrizal. 

Padahal, kata Safrizal, sebelumnya sudah juga pernah dicari dokumen pendukug yang asli. Tapi, tidak ketemu. 

Sementara dari Aceh juga tidak ada dokumen asli, hanya dokumen fotocopy berupa peta lampiran. 

Di masa para Dirjen ditetapkan sebagai Pj Gubernur, dan Pak Safrizal ikut dikirim ke Aceh sebagai Pj Gubernur Aceh, otomatis proses revisi Kepmendagri terkait kode tidak ada yang kawal, alias berproses apa adanya. 

Dan, kembalilah ditetapkan 4 pulau masuk dalam wilayah administrasi Tapteng. 

Peta 1992 versi fotocopy inilah yang ikut ditambahkan sebagai bukti kepemilikan 4 pulau milik Aceh. 

Dokumen peta ini disimpan di Dinas Arpus pada Februari 2018. 

Awalnya peta ini disimpan oleh mantan Kepala Biro Pemerintahan Aceh, Drs Soetardji. 

Lalu, diserahkan kepada Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Aceh, Zulkifli Ali SPd, MPd, pada Rabu (15/02/2018). 

Baca juga: ARSIP Berita Serambi - Ketika Soetardji Serahkan Peta Perbatasan Aceh-Sumut, Ke Mana 4 Pulau Itu?

Peta ini lah yang ikut dimasukkan dalam 19 bukti pendukung tambahan. 

Dan, diserahkan kepada tim survei pada Jumat keramat (3/6) di Pulau Panjang. Dokumen ini diterima oleh Direktur Topomini dan Batas Daerah Bapak Sugiarto.

Raja Inal Siregar adalah Gubernur Sumut dari ABRI dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. 

Raja Inal menjadi Gubernur Sumut dari tahun 1988 hingga 1998.

Ini periode ketika Aceh berada dalam status Daerah Operasi Militer (1989-1998). 

Di Aceh, yang menjadi Gubernur pada saat itu adalah Ibrahim Hasan, yang menjabat sejak 1986 s/d 1993. 

Sementara Rudini menjabat sebagai Mendagri sejak 1983 sampai 1993. 

Jika tidak salah ingat Rudini pernah ke Aceh paska pencabutan DOM. 

Saat itu, pertemuan digelar di Kantor Walhi Aceh, yang berkantor di Lampaseh Kota. 

Saya, ketika itu sebagai salah seorang staf Walhi Aceh. (Sekali lagi jika tidak salah ingat). 

Risman Rachman, Direktur Koalisi NGO HAM (2003). (SERAMBINEWS.COM/HANDOVER)

Keputusan Para Jenderal

Waktu bergerak cepat. 

Berbagai peristiwa di nasional dan Aceh mengubah banyak hal. 

Melalui MoU Helsinki, 2005, Pemerintah dan GAM menyepakati perbatasan 1 Juli 1956.

Memang, MoU Heksinki bicara banyak tentang teritorial, termasuk perbatasan 1 Juli. 

Namun, dalam konteks verifikasi batas yang paling diutamakan adalah dokumen kesepakatan asli. 

“Alhamdulillah, yang kita temukan justru dokumen yang lebih penting, yaitu dokumen Kepmendagri tentang penegasan batas, nyang hana pat dakwa le,” tambah Safrizal. 

Plot twist berikutnya adalah. 

Nasib 4 pulau itu diputuskan oleh Prabowo selaku Jenderal Bintang 4, didukung oleh Kepmendagri Pak Rudini yang juga Jenderal Bintang 4, dan disuarakan sebagai milik sah Aceh oleh Muzakir Manaf selaku Gubernur Aceh yang dalam karir militernya di TNA GAM, juga seorang jenderal bingang 4. 

Begitulah sejarah yang tidak pernah mati meski orang-orangnya sudah ada yang lama pergi. 

Dan, Pak Safrizal ZA selaku aneuk Aceh kembali ditolong oleh Pak Rudini sehingga berakhirnya dakwa dakwi. 

Empat pulau yang sempat dimasukkan ke wilayah administrasi Sumut, dikembalikan lagi ke pemiliknya, Aceh. 

Saya duga, Pak Safrizal juga ikut bahagia lagi karena tidak lagi berhadap-hadapan dengan masyarakat kampung sendiri.

 

*) PENULIS adalah Pemerhati Politik dan Pemerintahan.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

 

Berita Terkini