Oleh Tgk. H. Khairul Azhar, S.Ag., MA*)
Ada yang menarik pada 1 Muharram 1447 H di Masjid Agung Baitul Makmur, Meulaboh, Aceh Barat.
Bukan sekadar pergantian tahun hijriah yang disambut dengan doa bersama atau zikir akbar, tetapi hadirnya arah baru dalam pengelolaan kehidupan masyarakat.
Ada Instruksi Bupati, ada instruksi Gubernur Aceh, ada juga hasil Muzakarah Ulama se-Aceh Barat.
Sebuah isyarat kuat bahwa antara ulama dan umara kini mulai menyatukan langkah. Bupati dan Gubernur saling menguatkan.
Ini bukan sekadar salam-salaman di podium, tetapi sinyal bahwa nilai-nilai Islam mulai kembali ke pangkuan kebijakan.
Baca juga: Ini Daftar Para Juara Festival Dalail Khairat se-Banda Aceh, Meriahkan Tahun Baru Islam 1 Muharram
Kami dari Kementerian Agama, yang termasuk salah satu dari empat lembaga yang diinstruksikan, tentu menyambut baik dan mendukung penuh.
Tidak hanya dari balik meja dengan surat balasan formal, tetapi karena kami hadir langsung, menyaksikan semangat yang terpancar dari seluruh elemen masyarakat yang hadir.
Dari situlah penulis mencatat sejumlah hal penting, semacam oase di tengah gersangnya kebijakan yang sering tak menapak bumi.
Kiblat Bukan Pusat Perbelanjaan
Mari kita lihat arah yang sedang ditanam dalam benak warga Aceh Barat. Di tengah dunia yang makin canggih tetapi juga makin bingung, peta hidup sedang digeser.
Bukan lagi ke arah pusat perbelanjaan, melainkan ke arah kiblat. Bukan nostalgia kembali ke masa silam, tetapi kembali ke masjid, tempat ruh dibasuh, jiwa disegarkan, dan pikiran diberi jeda dari bisingnya dunia.
Baca juga: Sambut 1 Muharram 1447 H, Ratusan ASN dan Warga Bireuen Gelar Zikir dan Doa Bersama di Masjid Agung
Itulah inti kebijakan Bupati Aceh Barat yang, kalau boleh jujur, pantas mendapat acungan jempol. Plus sedikit tepuk jidat untuk mereka yang masih nyinyir dari balik layar.
Ada yang sinis berkata, ini romantisme masa lalu. Padahal bukan. Ini bukan ajakan naik unta di zaman tol bebas hambatan, tetapi ajakan kembali ke nilai yang sering kita tinggalkan.
Kita ini bangsa yang kuat sejarah, tetapi kadang lupa kompas.
ASN dan Aparatur Juga Hamba Allah
Dari arah besar menuju pelaksanaan konkret, salah satu poin pentingnya adalah ASN dan aparatur pemerintah kabupaten hingga gampong diinstruksikan ikut salat berjamaah. Ini langkah strategis yang segar.
Di tengah rutinitas kantor yang akrab dengan rapat, kopi, dan absen sidik jari, suara azan hadir memberi makna lain.
Suasana pun berubah. ASN kita, meskipun berdasi dan membawa map, tetaplah manusia biasa. Mereka juga punya rindu kepada Tuhan.
Begitu pula dengan keuchik dan perangkat gampong. Dalam budaya Aceh, jika ulee keumudoe ka dikeu, yang lain biasanya mengekor.
Baca juga: VIDEO - Remaja Diterkam Buaya Saat Mandi di Krueng Meureubo Aceh Barat
Maka semangat ini diharapkan bisa menjalar. Salat berjamaah di sela pekerjaan bukanlah tekanan, melainkan penyegaran.
Refresing rohani. Lima belas menit sujud jauh lebih menenangkan ketimbang lima belas menit scroll berita selebritas.
Magrib Mengaji, Bukan Lagi Netflix
Jika ASN sudah diberi panduan rohani di kantor, maka rumah pun tak boleh ketinggalan. Salah satu ruh perubahan terpenting ada di waktu Magrib.
Dulu, jam Magrib adalah waktunya rebutan remot dan suara sinetron dari segala penjuru. Sekarang, pelan-pelan suara ngaji mulai menggantikan.
Anak-anak yang dulu asyik dengan game online, kini mulai berebut iqra. Bapak-bapak yang biasa di warkop atau panteu keude, mulai punya rutinitas baru yang lebih berkah.
Ini bukan revolusi berdarah, melainkan revolusi sunyi. Tetapi justru karena sunyi, ia lebih dalam meresap.
Aceh Barat sedang mengubah rumah tangga dari yang dulu jadi penonton dunia, kini menjadi pengamal Al-Quran.
Dana Desa, Rasa Surga
Perubahan pun menyentuh soal keuangan. Salah satu titik terang datang dari gebrakan Baitul Mal Gampong.
Dana desa yang dulu dikenal lewat plang proyek dan kadang jadi sumber selisih di balai gampong, kini mulai mengalir untuk hal-hal yang lebih menyentuh hati, seperti beasiswa santri, pengadaan mushaf, dan bantuan untuk fakir miskin.
Ekonomi syariah tidak berhenti di seminar dan spanduk. Ia kini turun ke meunasah, dapur dhuafa, dan rumah-rumah sepi yang butuh perhatian.
Semua unsur pemimpin tidak lagi hadir dalam wujud baliho, tetapi dalam bentuk beras yang sampai di tangan orang lapar.
Wisata Syariah, Liburan Tetap Sopan.
Kalau urusan ekonomi sudah mengarah ke syariah, maka sektor wisata pun tak boleh ketinggalan. Aceh Barat punya laut, gunung, dan spot swafoto yang bisa bikin iri Instagram.
Tapi Aceh Barat juga punya harga diri. Maka wisata syariah jadi pilihan logis.
Pantainya tetap biru, tetapi tidak abu-abu dalam pergaulan. Liburan tetap seru, tetapi tak perlu malu.
Iman tidak menghalangi kebahagiaan, justru membingkainya. Menikmati angin laut sambil menjaga aurat bukan sesuatu yang kuno. Itu keren.
Yang kuno itu justru yang pulang liburan dengan kulit terbakar dan dosa bertumpuk.
Keuchik, Dari Tanda Tangan ke Tanggung Jawab, Arah perubahan ini juga menyentuh level pemerintahan paling bawah, para keuchik.
Dulu sibuk urus proposal, sekarang mereka diminta menandatangani komitmen moral. Ini bukan sekadar bubuhan tinta, tetapi semacam ba’iat kecil.
Bahwa jabatan bukan tempat menggali keuntungan, tetapi ladang pengabdian.
Tangan yang dulu akrab mengatur dana, kini mulai akrab mengatur nurani.
Baca juga: Makna Tahun Baru Hijriyah dan Rahasia Bulan Muharram
Huruf Hijaiyah di Tengah Matematika, Di bidang pendidikan, ada juga pembaruan halus tetapi penting.
Mengaji di sekolah bukan hal baru, tetapi kini lebih ditekankan.
Karena anak-anak kita kadang sudah hafal rumus Pitagoras, tetapi belum tentu tahu perbedaan Al-Fatihah dan Al-Baqarah.
Maka pengenalan huruf hijaiyah sejak dini bukan tambahan beban, melainkan fondasi iman. Karena kalau fondasi spiritualnya kuat, maka bangunan akhlaknya akan kokoh.
Satgas Pageu Gampong, Penjaga yang Berdzikir, Gampong-gampong di Aceh Barat juga punya garda terdepan yang diam tetapi bekerja, Satgas Pageu Gampong.
Mereka bukan polisi moral yang galak, melainkan sahabat spiritual yang sopan. Kalau ada remaja yang lupa waktu, mereka datang bukan dengan pentungan, tetapi dengan sapaan.
Kalau ada warga lupa diri, mereka rangkul.
Mereka bukan cuma pegang senter, tetapi juga pegang tasbih. Menjaga malam bukan sekadar menegur, tetapi menenteramkan.
Muzakarah Ulama, Hikmah Duduk Bersama
Di balik semua gerak ini, ada kekuatan utama, ulama. Di zaman debat tak selesai-selesai di media sosial, para ulama di Aceh Barat memilih duduk satu meja.
Mereka tidak saling sindir, tetapi saling menguatkan.
Maka hasil muzakarah bukan hanya notulen, melainkan arah.
Syariat tak lagi hanya bahan khutbah, tetapi menjadi dasar kebijakan. Karena kalau agama hanya jadi retorika di mimbar, realitas akan tetap kosong.
Syariat Tak Kaku, Tapi Mengakar
Tentu saja, ada yang masih sinis. “Ini Islam garis keras,” katanya. Bukan. Ini Islam garis lurus. Tidak ke kiri, tidak ke kanan. Tidak memaksa, tetapi mengajak.
Tidak menakuti, tetapi menuntun. Dari Magrib Mengaji sampai Wisata Syariah, semua bukan bentuk pengekangan, tetapi penyelamatan.
Supaya kita tetap berada di atas rel iman, meski dunia sedang ngebut ke arah sebaliknya.
Dan kalau sudah ada instruksi tetapi masih membandel, ya tinggal tunggu tanggal mainnya. Semesta kadang lebih tegas daripada pejabat.
Penutup, Dari Kertas ke Sajadah
Di negeri ini, terlalu banyak kebijakan yang hidup di atas kertas, tetapi mati di bawah meja.
Namun di Aceh Barat, sebagian kebijakan mulai hidup di atas sajadah. Dan itu patut disyukuri.
Kita mungkin belum jadi negeri surga, tetapi setidaknya, kita sudah ingat jalan pulang ke sana.
*) PENULIS adalah Pimpinan Dayah Zudi Aceh Barat, Ketua Tanfidziyah PCNU Aceh Barat, dan Kasubbag TU Kantor Kemenag Aceh Barat | Email: waledzudi@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI