“Masalah batalyon kita itukan kebijakan pertahanan dan merupakan wewenang pemerintah pusat. Tujuan kita inikan membuat suasana daerah aman dan tentram.” Teuku Mustafa Kamal, Kapendam IM
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Kapendam Iskandar Muda (IM) Kolonel Inf Teuku Mustafa Kamal akhirnya buka suara terkait pro kontra pembangunan enam batalyon TNI AD di Aceh. Keenam batalyon itu tersebar di Aceh Singkil, Nagan Raya, Pidie, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Aceh Timur.
Namun belakangan salah satu lokasi yakni di Aceh Singkil dibatalkan, sehingga tersisa lima lokasi. Pembangunan batalyon merupakan program Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI dengan nilai kontrak mencapai Rp238,2 miliar.
“Inikan kebijakan pemerintah pusat. Bagian dari kebijakan pertahanan negara dari ancaman serangan baik itu dari luar maupun gangguan ancaman dari dalam terhadap keutuhan NKRI,” kata Mustafa Kamal kepada Serambi, Senin (30/6/2025).
Menurutnya, wacana tersebut juga tercantum dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengatur tentang tugas pokok TNI. Di mana, pasal tersebut secara umum menyatakan bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan.
“Masalah batalyon kita itukan kebijakan pertahanan dan merupakan wewenang pemerintah pusat. Tujuan kita inikan membuat suasana daerah aman dan tentram,” jelasnya.
Sebelumnya, rencana pembangunan batalyon mendapat sorotan dari Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) asal Aceh, H Sudirman atau Haji Uma. Ia menilai pembangunan batalyon di Aceh merupakan pelanggaran terhadap perjanjian damai MoU Helsinksi.
Tak hanya itu, Haji Uma mengingatkan bahwa berdasarkan MoU Helsinki, jumlah maksimal personel TNI organik yang dapat ditempatkan di Aceh adalah 14.700 personel. Ia juga menyoroti nilai anggaran negara yang digunakan untuk pembangunan fasilitas militer di Aceh yang mencapai lebih dari Rp 238 miliar.
“Aceh saat ini bukan zona perang dan masyarakat saat ini hidup dalam suasana damai, kehadiran militer dalam jumlah besar bisa menimbulkan trauma baru, khususnya di wilayah-wilayah yang pernah terdampak konflik,” ujar Haji Uma.
PKB bersikap netral
Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Aceh bersikap netral soal wacana penambahan batalyon di Aceh. Hal itu disampaikan anggota Komisi I Bidang Politik dan Pemerintahan DPRA dari Fraksi PKB, Dony Arega Rajes kepada Serambi, kemarin.
"PKB siap mendukung bila masyarakat dan Pemerintah Aceh mendukung, ya sama-sama kita bangun batalyon. Tetapi kalau menolak, PKB tetap menolaknya apalagi bila bersangkutan dengan MoU Helsinki," ucap Dony di ruang rapat Fraksi PKB Gedung DPRA, Rabu (2/7/2025).
Dia mengungkapkan bahwa ada sisi positif dari pembangunan bataliyon di Aceh. Selain mendukung program Presiden Prabowo terkait ketahanan pangan, juga membuka lapangan pekerjaan sebab semakin banyak anak-anak di Aceh yang terserap dan menjadi tentara.
Sementara sisi negatifnya mengembalikan rasa takut pada masyarakat, sebab di masa lalu provinsi ini pernah berada dalam konflik yang berkepanjangan.(ra/rn)
MaTA Nilai akan Bebankan Pemerintah Daerah
Terpisah, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menyoroti wacana Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI membangun sejumlah batalyon baru untuk TNI AD di Aceh. Ia menilai, di tengah kondisi fiskal yang tidak sehat, rencana pembangunan batalyon di sejumlah wilayah Aceh ini akan menjadi beban tambahan bagi anggaran pemerintah daerah karena harus menyediakan lahan.
“Walaupun secara anggaran pembangunan baru adalah sumbernya APBN, tetapi dalam konteks daerah bagi pemerintah daerah kan juga akan beban ini. Walaupun misalnya pemerintah daerah tidak mengeluarkan pernyataan secara resmi mereka beban, tapi secara tidak langsung bagi pemerintah daerah ini menjadi beban karena harus menyediakan lahan,” kata Alfian kepada Serambi, Kamis (3/7/2025).
Menurut Alfian, Kemenhan seharusnya membuat kajian lebih mendalam terlebih dahulu sebelum memutuskan program, karena saat ini kondisi keuangan pemerintah daerah sedang tidak baik-baik saja. “Karena seharusnya kan pemerintah daerah hari ini fokus bagaimana memaksimalkan terhadap inflasi, memaksimalkan terhadap fiskal yang memang kita tahu bahwa sedang kacau balau,” ujarnya.
Alfian menyarankan Kemenhan agar dapat mengalihkan anggaran pembangunan batalyon baru tersebut untuk difokuskan pada program-program kolaborasi antara TNI dengan masyarakat, seperti membangun infrastruktur di daerah-daerah yang masih terisolir di Aceh.
“Jadi sangat populer kalau misalnya uang ini Menhan menggunakan misalnya membangun program-program di daerah-daerah telisolir di Aceh, daerah-daerah yang belum tersentuh pelayanan publik yang itu ada kolaborasi antara TNI dengan rakyat Aceh, itu lebih keren saya pikir lebih populer,” jelasnya.
Di sisi lain, Alfian juga menilai wacana pembangunan batalyon baru di Aceh secara tidak langsung memicu persepsi masyarakat bahwa pemerintah pusat masih sangat mencurigai Aceh yang merupakan daerah bekas konflik. Hal tersebut sudah terbukti, sebab sejak awal wacana pembangunan batalyon mencuat, berbagai lapisan masyarakat kompak menyuarakan penolakan.
“Karena perlu diingat bahwa ketika penempatan batalyon dan penempatan pasukan dengan jumlah besar, maka pesan yang ada di benak rakyat Aceh adalah pusat masih mencederai Aceh dan ini akan berpotensi menjadi preseden buruk untuk jangka panjang,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Alfian berharap kepada Gubernur Aceh dan DPRA yang saat ini diisi oleh para pelaku sejarah perdamaian Aceh dapat bersikap bijaksana dalam menyikapi wacana pembangunan batalyon baru ini. “Intinya ini tidak ada penambahan baru, walaupun kita tahu sekarang kan ada upaya dari pemerintah pusat modus berbagai macam soal ketahanan pangan misalnya,” pungkasnya. (ra)