Meski demikian, anggapan tersebut tidak pernah terbukti hingga sekarang, sejumlah pihak mendesak agar pemerintah mengakui peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM Berat.
Dikutip dari Arsip Serambi Indonesia edisi Juli 1999, saat itu warga yang berkumpul di halaman rumah Tgk Bantaqiah diberondong senjata setelah lebih dulu diperintah tiarap oleh aparat.
Saksi mata yang selamat dalam tragedi penyerangan di Kemukiman Beutong Ateuh, Jumat itu menyatakan, semua personel sulit dikenali karena mukanya bercat hitam.
Akibat "siraman" peluru itu, sekitar 30-an korban yang merupakan santri Tgk Bantaqiah berjatuhan bersimbah darah.
Sementara sebagian lainnya mengalami luka tembak dinaikkan ke dalam truk militer, mereka ditangkap, dihilangkan dan dihabisi di tempat lain.
Belakangan diketahui jumlah korban meninggal mencapai 56 orang, termasuk Tgk Bantaqiah dan anaknya, Usman Bantaqiah serta para santri setempat.
Seperti diungkap dalam “The Practice of Torture in Aceh and Papua, 1998-2007’ (2008), kasus ini kemudian diselesaikan lewat jalan yang sebenarnya sangat politis, yaitu melalui pengadilan koneksitas pada tahun 2000.
Peradilan ini dibentuk untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan militer, padahal kasus ini seharusnya diselesaikan dengan cara yang adil, dikutip dalam catatan KonstaS.org.
Persidangan ini menghadirkan 25 terdakwa dengan 3 perwira di dalamnya: Kapten Anton Yuliantoro, Letnan Dua Maychel Asmi dan Letnan Dua Trijoko Adiwiyono.
Selebihnya berpangkat bintara dan tamtama serta seorang warga sipil.
Meski demikian, terdapat satu orang terdakwa yang tidak dihadirkan ke pengadilan dan tidak diketahui keberadaannya, yaitu Letnan Kolonel Sudjono yang saat itu merupakan Kepala Seksi Intel Korem 011/Lilawangsa.
Proses hukum yang dilakukan melalui Peradilan Koneksitas, alih-alih melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dinilai tidak mampu memberikan keadilan yang substantif dan menyeluruh kepada korban, terutama karena menjadikan kasus ini dianggap sebagai kejahatan pidana biasa bukan sebuah pelanggaran HAM.
Trauma dan perasaan kecewa juga masih melekat pada keluarga korban, sebab pemerintah tidak pernah melakukan upaya pemulihan kepada keluarga korban.
Mekanisme pengadilan ini juga tidak sama sekali memenuhi standar-standar penyelesaian kasus yang berkeadilan untuk korban dan juga penghukuman terhadap pelaku.
Termasuk masih belum terpenuhinya rehabilitasi, restitusi dan kompensasi serta ketiadaan penghormatan terhadap pengalaman traumatis korban dan juga pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa tersebut.