Jurnalisme Warga

Pemuda dan OTSUS Aceh

Editor: Agus Ramadhan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Peserta diskusi FGD Gerakan Pemuda Shubuh (GPS), Sabtu, 26 Juli 2025.

Catatan Oleh: Burhanuddin Alkhairy (Ketua Gerakan Pemuda Subuh)
Dalam FGD Gerakan Pemuda Shubuh (GPS), Sabtu, 26 Juli 2025.

DALAM diskusi kali, Gerakan Pemuda merekam hal-hal yang menjadi pikiran penting bagi generasi muda Aceh. 

Terutama bagaimana pemuda adalah penentu dari arah perjalanan Aceh kedepannya.

Pemuda harus melalu cara-cara yang tepat dan kuat untuk mendapatkan keberhasilan.

Hal ini disebut dengan istilah Himmah 'aliyah (cita-cita yang tinggi atau kemauan yang kuat).

Baca juga: Komisi II DPR Dukung Perpanjangan Dana Otsus Aceh, Usul Pembentukan Panja 

Dalam diskusi yang diawali oleh Dr. H. Yusrizal Zainal ini, beliau mengutip pandangan syech Sa'id Husain al'fani.

Pengarang Kitab salahul ummah fil ulumil Himmah, tentang karakter pemuda diantara nya adalah;

1. Pemuda senantiasa berkumpul atau berinteraksi dengan ahli ilmu!

Ada ungkapan di dalam dunia bisnis 'penghasilan seseorang itu adalah rata2 gaji 5 kawan yang sering dia berinteraksi".

Maka dari ini , dapat dipahami pula bahwa ada benarnya bahwa untuk mendapatkan pengetahuan/Ilmu maka berkumpul bersama ahli ilmu.

Bersahabat dengan ahli ilmu maka pemuda akan mendapatkan suasana keilmuan yang dapat diserap baik secara praktis maupun sosiologi tentunya.

Dengan demikian berinteraksi dengan orang berpengaruh/berpengetahuan adalah kunci penting bagi pemuda untuk mendapatkan "Himmah/" keberhasilan atau kesuksesan. 

2. Meluruskan visi dan memahami aktivitasnya untuk mewujudkan visi dan misi hidupnya.

Memiliki motivasi yang kuat, lagi visioner Baginda nabi Muhammad Saw, telah mengajarkan kepada kita untuk memiliki visi kehidupan yang tinggi.

Sebagaimana dalam sebuah riwayat nabi bersabda "jika kalian berdoa maka minta lah dalam do'a kalian surga yang tinggi (jannatun firdaus)".

Dimana ketika pemuda menyadari visi-misinya, ia mampu menjadi energi bagi pemuda dan pembelajar ahli ilmu.

Begitu pula dalam kehidupan duniawi kita/pemuda juga harus memiliki orientasi hidup/misi yang jelas dan dapat diraih dengan kesungguhan dan komitmennya.

3. Senantiasa memperbaharui niat, tidak kendor niat dalam belajar.

Dia tidak menginginkan pujian, tidak larut dalam capai apresiasi dan reward. namun ia terus melakukannya dengan itqan, istiqamah dan penuh semangat.

Terus mengulangi pembelajaran dan bersungguh-sungguh dalam mempelajari suatu tema dengan pengulangan.

Bahkan dahulu ada ulama hanya membaca satu kitab saja, namun dilakukan perulangan sampai 500, hingga kemudian dia Sangat memahami/menguasai suatu ilmu melalui kitab tersebut.

Itulah karakter pemuda yang diharapkan dalam Islam tentunya.

Ada ungkapan dalam bahasa Arab, yang terjemahannya: "Tidak ada umat ini akan bangkit, kecuali dengan generasi yang memiliki yang tinggi"

Setiap generasi ada Siklus perubahannya, disetiap siklusnya pasti ada perubahan yang besar. Dan faktor pengubahnya terdapat pada generasi muda.

Bahkan Al-Qur'an juga menyebutkan faktor perubahan itu, dimana motor penggeraknya adalah pemuda.

Diantara sifatnya digambarkan adalah mereka generasi muda yang memiliki keimanan yang tinggi, yang kemudian Allah berikan petunjuk kepada mereka (q.s. Al Kahfi ayat 12)

Atas dasar itu, kita perlu menyadari bahwa perubahan akan terjadi dengan baik dengan memandang/memperhatikan positioning anak muda.

Jika anak muda itu tumbuh dengan standar keimanan yang baik maka akan terlahir generasi yang baik pula.

Dan mereka yang akan menjadi tonggak pembawa perubahan kebaikan kepada umat dan bangsa. Inilah yang menjadi tantangan kita sebagai generasi terdahulu untuk membina generasi muda dengan baik pula.

Perubahan UUPA dan OTSUS Aceh.!

Dalam kasus revisi UU PA, ada banyak sekali konsep awalnya yang perlu dilakukan perubahan, misalnya ada 21 pasal dalam konteks usulan revisi UU PA, namun secara teknis dianggap terlalu banyak pula, karena akan melalui paripurna di DPR RI dikhawatirkan sangat alot dan menyerap energi yang banyak.

Dengan demikian perlu disederhanakan agar fokus pada apa yang paling penting, inti nya proses yang dirasa cepat hanya melalui di komisi III saja.

Hingga kemudian terus bergulir pada pintu 'diplomatis' yang saat ini dirasa sedikit beruntung pada hubungan Gub dan wagub antara presiden dan partai nya masing-masing.

Baik di DPR RI, kementerian dan DPR Aceh tentunya.

Sehingga saat ini, semakin mengkerucut, pembahasan/pengusulan revisi UU PA yaitu hanya pada status Otsus, dimana hal ini berkaca kepada kasus Papua, yang dianggap baik proses transisi otsus mereka.

Dengan demikian secara teknis berhubungan dengan bargening Pemerintah Aceh melalui tawaran awal yaitu pada angka-angka 2,5 persen>.

Tentunya angka 2,5 % bukan batas deal or no deal. Tapi batas planing pemerintah pada skenario pertama untuk melanjutkan pembangunan di Aceh dengan berbagai bentuk skema penggarannya pula.

Secara teknis proses selanjutnya dibahas di biro hukum. Terbatas pada apa yang menjadi fokus yang ingin diharapkan

Catatan Jalannya FGD Dari Penanggap

Selama 20 tahun yang sudah berjalan dengan adanya Otsus ini.

Memang ada dampaknya pada infrastruktur, pendidikan, pelayanan pemerintah dan keamanan.

Namun problem Aceh juga tidak patut untuk selalu bergantung pada Otsus.

Karena selama kita tidak memulai dari nol, tetapi memulai dari minus (pasca konflik dan tsunami.

Sehingga sudut pandang pemerintah Aceh diminta memaklumi dalam memulai pembangunan di Aceh tidak sama dengan daerah lain tentunya.

Maka ini yang menjadi bagian evaluasi dan refleksi tim pemerintah, baik Pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat.

Harus bertemu pada garis pemahaman serupa pula. Jika berbeda maka akan ada pembelokan keputusan yang bisa mengkhawatirkan sekali.

Prosesi revisi UU PA tidak masuk pada tahun ini, tapi sudah masuk dan pada rencana Prolegnas tahun 2026.

Sehingga waktu sangat mepet dan terbatas pula, dan kita berada pada posisi kritis saat ini dan sangat krusial, baik dari konsul-konsul maupun dinamika lainnya yang mungkin tidak harapkan oleh kedua belah pihak (Aceh - Jakarta).

Dimana kita (pemerintah Aceh) berurusan sangat kompleks, misalnya secara politik, positioning gubernur dan wakil yang saat ini, menjadi hal yang dianggap potensial/peluang bahkan intervensi dari berbagai apek dinamis lainnya.

Namun oleh karena itu pula, pemerintah Aceh memerlukan langkah langkah yang sifatnya antisipasi dengan berbagai kemungkinan dan pilihan yang tersedia.

Siap tidak siap,  kita (pemerintah Aceh) harus memliki alternatif lainnya.

Mencari celah dan peluang lain jika tidak berlanjut Otsus Aceh kedepannya.

 Atau kemungkinan terburuk jika tidak dapat diantisipasi, akan bergeser terurainya soliditas keAcehan dengan opsi-opsi Pemekaran ataupun lainnya.

Maka Ini pula yang dipelajari oleh pemerintah melalui rancangan yang lebih baik, apapun yang terjadi Aceh harus kuat secara ekonomi dan keuangan.

Tidak tergantung pada OTSUS maupun market ekonomi dari luar pula.

Dalam konteks keAcehan, terdapat beberapa substansial yang mendapatkan keistimewaan dan kekhususan yang dapat dipertimbangkan oleh pusat.

Yang dirasa menjadi instrumen pemersatu dan perbaikan kedepannya. Sperti bidang pendidikan, sosial, adat dan budaya Islam di Aceh. Kita harus melihat hal itu melalui pendekatan inspirasi Islam yang kaffah. 

Walaupun ketika kita berbicara tentang Aceh, agak dilematis. ada apa dengan Aceh yang memiliki indikator kemiskinan tertinggi di Sumatera?

Menurut penanggap, berhubungan dengan mentalitas. Pertama, terutama mentalitas kepemimpinan/pemimpin di Aceh.

Dimana saat masyarakat kewalahan dengan harga beras misalnya,  namun pejabat nya berlomba-lomba untuk membeli mobil dinas dan aspek kemewahan lainnya. Inilah menjadi faktor GAP perputaran uang di Aceh yang tidak menyentuh rakyat bawah.

Kedua Mentalitas kita selaku masyarakat sesama muslim, kita mengatakan sebagai muslim, diantaranya dimanapun harus dipikirkan.

Maupun baik yang dekat maupun yang jauh. Memperkuat lingkungan keluarga dan tetangga. Konsep ta'awun dilingkungan masyarakat yang sudah meredup.

Sehingga hari ini kita seperti hidup yang egois, tidak lagi saling peduli satu sama lainnya.

Demikian catatan ini penulis rekam sebagai upaya merawat buah pikiran dari kegiatan Gerakan Pemuda Subuh. Gerakan anak muda pinggiran yang memandang Aceh dengan cara yang tak biasa pula. (*)

Berita Terkini