Warga yang pergi mancing atau melintas, acap melihat buaya sedang berjemur.
Laporan: Dede Rosadi I Aceh Singkil
SERAMBINEWS.COM, SINGKIL - Hutan rawa, sungai dan muara yang berada di Singkil, ibu kota Kabupaten Aceh Singkil, merupakan rumah bagi buaya.
Jumlah persisnya belum ada data, lantaran tidak pernah ada survei buaya di kawasan itu.
Namun diyakini binatang bernama latin crocodylus itu, jumlahnya mencapai ribuan.
Hal tersebut berkaca dari fakta di lapangan, ketika menelusuri rawa, sungai dan muara di wilayah Singkil, mudah saja menemukan buaya.
Buaya bahkan berada sangat dekat dengan permukiman penduduk.
Salah satunya di sungai belakang permukiman penduduk Desa Pasar.
Warga yang pergi mancing atau melintas, acap melihat buaya sedang berjemur.
Serambinews.com, pernah menelusuri sungai-sungai kecil yang mengiris hamparan rawa di dekat muara Singkil, menggunakan perahu.
Sungai itu bagai labirin. Setelah masuk ke pedalaman rimbun nipah dan tanaman khas rawa begitu banyak anak cabang sungai.
Hanya penduduk lokal berpengalaman yang mengetahui kemana mengarahkan haluan perahu.
Jika tidak perahu bisa terjebak dalam genangan air sepanjang mata memandang.
Pencarian buaya dengan menulusuri hamparan rawa yang dihubungkan alur sungai di sekitar muara Singkil, sangat mudah.
Buaya berukuran mini hingga dewasa langsung terlihat, jaraknya kurang dari tiga meter dari perahu yang ditumpangi.
Konflik Buaya Versus Manusia
Hamparan rawa, muara dan sungai di Singkil, dikenal sebagai sarang buaya.
Hewan bergigi mirip gergaji itu begitu mudah terlihat, mulai dari ukuran mini hingga raksasa.
Berdasarkan kesaksian para pencari lokan (kerang sungai) mereka kerap menemukan buaya dengan ukuran hampir sama dengan perahu.
Warga lokal menjadikan alur sungai, muara serta rawa sebagai tempat mencari lokan, siput, udang, ikan sungai serta daun nipah.
Di kawasan Singkil Lama, yang dikenal sarang buaya umpamanya. Kaum perempuan mengumpulkan berkarung-karung siput dengan tangan kosong sambil berendam di sungai.
Aktivitas warga mencari nafkah di habitat buaya kerap menimbulkan konflik antara manusia dengan buaya.
Warga bukan tidak tahu jika di lokasi mencari nafkah hidup terdapat buaya.
Namun dorongan kebutuhan, memaksa mereka pertaruhkan nyawa di sarang buaya.
Peristiwa konflik manusia dengan buaya terbaru terjadi di Singkil pada awal 2025 ini.
Pertama buaya menerkam Kaetek perempuan berusia 59 tahun asal Desa Teluk Rumbia, Kecamatan Singkil, diterkam buaya pada 27 Januari 2025.
Korban selamat, setelah mendapat perawatan di Puskesmas Singkil, akibat menderita luka bekas gigitan buaya di bagian lengan.
Korban kedua adalah Sawiyah (63) perempuan asal Desa Rantau Gedang, Kecamatan Singkil.
Sawiyah ditemukan meninggal setelah sempat hilang diterkam buaya.
Sebagai bentuk reaktif di lokasi dipasang perangkap penangkap buaya.
Kegemaran Wisatawan Eropa
Keberadaan buaya di rawa Singkil, ternyata menjadi daya tarik bagi wisatawan asal Eropa Barat, Eropa Timur dan Australia.
Bangsa Eropa itu, jauh-jauh datang untuk melihat dari jarak dekat buaya di alam liar Singkil.
Wisatawan mancanegara yang menggemari wisata petualangan melihat buaya rawa Singkil, antara lain dari Francis, Jerman, Rumania, Belanda, Belgia, Austria, Australia dan sejumlah negara Eropa lainnya.
Dalam berpetualangan melihat buaya, wisatawan tersebut menggunakan perahu dengan pemandu lokal.
"Melihat buaya sudah jadi paket wisata Eropa dan Australia ke Singkil," kata Andang salah satu pemandu lokal wisatawan dengan paket petualangan melihat buaya rawa Singkil.
Sekali berpetualangan para bule itu, mengeluarkan biaya sekitar Rp 500 ribu per orang.
Selain melihat buaya, dengan biaya Rp 500 ribu wisatawan Eropa juga bisa menikmati atraksi budaya lokal.
Seperti pembuatan kain kasab benang emas di Kuala Baru serta kearifan lokal lainnya.
Selesaikan Konflik
Keberadaan buaya satu sisi menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. Sisi lainnya acap menimbulkan konflik dengan manusia.
Problem konflik manusia dengan buaya itu, harus segara diselesaikan. Terutama dengan mengurai alasan warga nekat mencari nafkah di sarang buaya.
Menurut keterangan warga, mereka mencari nafkah di sarang buaya karena impitan ekonomi.
Tentu problem impitan ekonomi inilah yang harus diselesaikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil.
Boleh jadi dengan menjadikan keberadaan buaya liar sebagai industri pariwisata, bisa menjadi solusinya.
Dengan menjadikan warga lokal sebagai bagian dari industri pariwisata.
Bukankah aktivitas warga lokal mencari lokan, mengolah nipah dan menangkap ikan sungai dengan bubu bisa menjadi bagian dari atraksi wisata yang digemari wisatawan.(*)
Baca juga: Santai Berjemur, Buaya di Krueng Meureubo-Aceh Barat Jadi Tontonan Warga