Serambi Spotlight

Jelang 20 Tahun Damai Aceh, Munawar Liza: MoU Helsinki Semakin Hambar!

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki 2005, Munawar Liza Zainal,(kiri) dalam program Serambi Spotlight dipandu News Manajer Serambi Indonesia Bukhari M Ali di Studio Serambinews.com, Rabu (13/8/2025).

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Menjelang peringatan 20 tahun damai Aceh pada 15 Agustus 2025, Serambinews menghadirkan Munawar Liza Zainal, Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki 2005, sebagai narasumber.

Dalam perbincangan yang dipandu oleh Bukhari M Ali, News Manager Serambi Indonesia.

 Munawar menegaskan bahwa perdamaian Aceh adalah hasil dari pengorbanan panjang yang tidak boleh disia-siakan.

“Salah satu makna penting dari perdamaian Aceh adalah bahwa pengorbanan orang dulu itu ada harganya. Perjuangan mereka adalah mempertahankan identitas keacehan, sebagai orang muslim yang berakhlak, punya harkat dan martabat,” ujar Munawar dalam podcast Serambi Spotlight pada Rabu (13/8/2025).

Ia mengingatkan bahwa perang yang berlangsung dari 1976 hingga 2005 telah mengorbankan darah, harta, jiwa, dan seluruh sektor kehidupan masyarakat Aceh.

 Kesepakatan damai yang ditandatangani di Helsinki memuat prinsip “penyelesaian masalah Aceh yang bermartabat untuk semua” pada paragraf pertamanya.

Namun, Munawar menilai bahwa setelah dua dekade, banyak hal yang tidak berjalan sesuai kesepakatan.

“Hari ini saya melihat bahwa semakin jauh dari MoU Helsinki, sepertinya semakin hambar, tidak terasa asinnya perdamaian,” ungkapnya.

Menurutnya, MoU Helsinki memberi kewenangan luas bagi Aceh untuk mengelola diri sendiri, termasuk sumber daya alam, dengan hanya enam urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat. 

Meski begitu, implementasinya dinilai belum optimal.

“Memang bukan semua salah Jakarta, tapi salah Jakarta banyak juga. Yang jadi kendala adalah tidak sinkronnya antara apa yang dijanjikan dalam MoU dengan yang diimplementasikan,” kata Munawar.

Ia menyoroti tiga kelompok yang seharusnya menjadi prioritas MoU, yakni 3.000 mantan kombatan GAM, tahanan politik, dan masyarakat sipil korban konflik.

 Berdasarkan kesepakatan, mereka berhak atas tanah pertanian layak, pekerjaan atau jaminan sosial.

Namun, menurutnya, hal ini belum terlaksana dengan baik.

Munawar menutup dengan ajakan untuk mengevaluasi perjalanan dua dekade damai Aceh.

 “Kita perlu kembali ke 2005, melihat apa yang disepakati antara Republik Indonesia dan GAM, lalu meluruskan apa yang tidak lurus,” pungkasnya. (an)

Baca juga: Dua Dekade MoU Helsinki, Jubir KPA: Eks GAM Komit Rawat Perdamaian Aceh

 

Berita Terkini