“Pantai di Aceh itu tenang, airnya jernih, belum terlalu ramai, dan nuansanya asli. Rasanya seperti punya pantai pribadi,” ungkapnya.
Salah satu hal yang membuat JJ betah berlama-lama di Aceh adalah keramahan warganya.
Meskipun sempat khawatir soal keamanan dan perbedaan budaya, ia menemukan Aceh justru aman dan ramah.
“Orang Aceh itu tulus, ramah, bahkan sering mempertahankan harga lokal untuk wisatawan. Itu jarang ditemukan di banyak destinasi,” kata JJ.
Pengalaman ini membuatnya ingin menghapus stigma negatif yang kadang melekat pada Aceh, dan menunjukkan bahwa provinsi ini layak menjadi tujuan wisata utama.
Kuliner sebagai Pintu Masuk Budaya
Bagi JJ, makanan adalah gerbang awal untuk memahami budaya setempat.
Ia merekomendasikan Mie Aceh sebagai menu pertama yang wajib dicoba wisatawan.
“Mie Aceh itu punya rasa khas. Di tiap daerah beda-beda racikannya, tapi semua tetap mempertahankan cita rasa lokal,” jelasnya.
Menurut JJ, mencicipi kuliner langsung di tempat asalnya memberi sensasi yang berbeda, karena kita juga menyerap suasana dan interaksi sosial yang ada di sekitarnya.
Berbeda dari banyak travel blogger yang bepergian solo, JJ sering membawa suami dan anaknya dalam perjalanan.
Hal ini membuatnya harus pintar menyeimbangkan antara petualangan dan keamanan.
“Kalau bawa anak, biasanya pilih perjalanan sehari atau tempat yang lebih aman. Tapi tetap bisa seru, karena petualangan itu bisa disesuaikan,” tuturnya.
Perjalanan keluarga ini juga memberi perspektif baru dalam membuat konten, karena ia bisa melihat bagaimana destinasi ramah anak dan nyaman bagi semua anggota keluarga.
Meski terpesona oleh keindahan alam Aceh, JJ mengingatkan bahwa destinasi ini juga menghadapi tantangan, terutama soal kelestarian lingkungan.
Ia menyebut masalah sampah di pantai dan penebangan pohon yang berlebihan sebagai ancaman serius.