Dari sisi fiskal, Dicky mengingatkan bahwa besaran anggaran Rp 300 triliun, sekitar 10 persen dari gabungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sektor kesehatan dan pendidikan, baru layak disebut layak (worth it), jika ada bukti nyata peningkatan kesehatan anak.
SERAMBINEWS.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) disebut sebagai upaya nasional mengatasi stunting dan malnutrisi.
MBG adalah inisiatif pemerintah Indonesia yang mulai dilaksanakan sejak 6 Januari 2025, sebagai bagian dari visi Indonesia Emas 2045.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pemenuhan gizi yang baik, terutama bagi kelompok rentan.
Program ini dijalankan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dan didukung oleh berbagai kementerian serta pemerintah daerah.
Sejak diluncurkan, program ini langsung menyita perhatian publik.
Mulai dari temuan kasus makanan basi hingga keracunan massal.
Tak tanggung-tanggung, anggaran yang diplot untuk MBG untuk tahun 2026 mencapai Rp 300 triliun.
Dengan sebab akibat yang ditimbulkan, apakah anggaran tersebut cukup layak atau malah menjadi pemborosan?
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi sorotan publik, dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya menekan stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Baca juga: Tinjau Program MBG di Kuala Batee, Dandim Abdya Serap Aspirasi Siswa
Namun, menurut pakar kesehatan global sekaligus peneliti Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, program ini harus dijalankan dengan kehati-hatian ekstra agar anggaran besar tidak berakhir sia-sia.
Dicky, yang memiliki pengalaman panjang di bidang kesehatan global, perencanaan pembangunan, hingga kerja sama internasional, menegaskan bahwa secara teori dan praktik, MBG memiliki manfaat besar bagi kesehatan masyarakat.
"Yang jelas ada manfaat utama dari makan bergizi gratis ini yang secara teori dan praktis tentu bisa berkontribusi pada penurunan stunting, anemia, kekurangan energi kronis, dan juga perbaikan gizi mikro sampai makro," kata Dicky pada Tribunnews, Kamis (14/8/2025).
Selain dampak langsung pada kesehatan anak, Dicky menyoroti potensi multiplier effect ekonomi yang dapat muncul jika program ini terkelola baik.
Pemberdayaan petani, pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), penyedia pangan lokal, hingga industri distribusi makanan dapat menjadi bagian integral dari rantai pasok MBG.
Namun, ia mengingatkan bahwa potensi tersebut belum maksimal karena pelaksanaan di lapangan masih menyisakan tantangan.
Baca juga: LPPOM MPU Aceh Dorong Kehalalan Dapur MBG di Aceh, Diimbau untuk Urus Sertifikat Halal
Keracunan Massal Jadi Sinyal Bahaya
Salah satu catatan kritis yang disampaikan Dicky adalah masih terjadinya kasus keracunan makanan di program serupa, meski jumlahnya relatif kecil.
Baginya, satu kasus keracunan massal saja sudah cukup untuk menandakan kegagalan sistem keamanan pangan.
"Satu kejadian keracunan massal sudah berarti kegagalan sistem keamanan pangan atau food safety breach dan mengindikasi lemahnya kontrol mutu," tegas Dicky.
Menurutnya, insiden seperti ini tidak boleh dianggap sepele, karena dalam perspektif kesehatan masyarakat, hal tersebut menunjukkan adanya kelemahan kontrol kualitas dan pengawasan keamanan pangan.
Baca juga: MPU Aceh Siap Membantu Dapur MBG di Seluruh Aceh Dapat Sertifikat Halal
Efisiensi Anggaran Jadi Kunci
Dari sisi fiskal, Dicky mengingatkan bahwa besaran anggaran Rp 300 triliun, sekitar 10 persen dari gabungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sektor kesehatan dan pendidikan, baru layak disebut layak (worth it), jika ada bukti nyata peningkatan kesehatan anak.
"Nilainya akan worthy hanya jika outcome kesehatan anak itu terukur meningkat signifikan. Jadi bukan sekadar terserapnya anggaran," ujarnya.
Dicky menegaskan, pemerintah harus melakukan evaluasi obyektif dan penghitungan dampak program secara berkala.
Serapan anggaran tinggi tanpa peningkatan indikator kesehatan anak, menurutnya, adalah tanda bahaya.
Meski penuh catatan, Dicky tetap optimistis MBG bisa menjadi pilar penting pembangunan SDM Indonesia.
Namun, ia memberi syarat jelas,reformasi mekanisme pengadaan, penguatan kontrol mutu, dan sistem monitoring yang transparan.
Ia menekankan, tanpa perbaikan tata kelola, anggaran besar rawan pemborosan dan tidak memberikan hasil yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Baca juga: Dapur Baru Dibangun, Program MBG Siap Menjangkau Semua Kecamatan di Sabang
Standar gizi
Makan pagi: menyumbang 20–25 persen kebutuhan gizi harian
Makan siang: menyumbang 30–35 % kebutuhan gizi harian
Menu dirancang sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional
Sasaran PMB
Peserta didik dari PAUD hingga SMA/sederajat, termasuk pesantren dan pendidikan khusus.
Balita (anak usia di bawah lima tahun).
Ibu hamil dan menyusui.
Wilayah 3T (terpencil, terdepan, dan terluar).
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Anggarkan Rp 300 Triliun di 2026 untuk Program Makan Bergizi Gratis, Worth It atau Boros Anggaran?,