Prof Dr Ir Muhammad Irham SSi MSi, Wakil Dekan III FKP Universitas Syiah Kuala
SEJAK penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, Aceh memasuki babak baru dalam sejarahnya, yaitu dari konflik bersenjata menuju perdamaian dan pembangunan. Namun, hampir dua dekade setelahnya, janji-janji dalam perjanjian tersebut belum sepenuhnya terwujud. Pembangunan Aceh masih terjebak dalam simbolisme tanpa substansi yang nyata.
Pasca berakhirnya konflik melalui MoU Helsinki (2005) dan disahkannya UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11 Tahun 2006), Aceh mendapat status istimewa, termasuk kewenangan syariat Islam dan pembagian pendapatan migas yang besar. Selama tahap awal masa otonomi khusus, pembangunan Aceh sering ditandai oleh pendekatan simbolik, penekanan pada identitas “Serambi Mekkah”, penerapan syariat, dan kewenangan khusus secara formal.
Namun belakangan ini Pemerintah Aceh mendorong peralihan ke pendekatan yang lebih berbasis data dan capaian nyata. Hal ini tercermin dari pernyataan resmi Pemprov Aceh bahwa data BPS menjadi “landasan merumuskan program kerja sesuai kebutuhan pembangunan” dan “cermin kinerja pemerintah”. Fokus utamanya kini adalah penurunan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, dengan berbagai program kerja konkret yang diukur melalui indikator statistik.
Ekonomi Aceh tumbuh moderat dalam beberapa tahun terakhir, namun masih relatif tertinggal dibanding provinsi lain di Sumatra. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 4,23 persen pada 2023 (kumulatif dari triwulan I-IV), sedikit meningkat dari 4,21 persen pada 2022. Pada 2024 pertumbuhan diperkirakan lebih tinggi mencapai 4,66 persen. Meskipun membaik, laju tersebut menempatkan Aceh di peringkat delapan dari sepuluh provinsi Sumatra (kontribusi 5,02?ri perekonomian Sumatra).
Perekonomian Aceh masih didominasi sektor pertanian (kontribusi ~31 persen PDRB Aceh), diikuti perdagangan (~15 persen ) dan administrasi pemerintahan (~9 % ). Sektor-sektor lain menunjukkan pertumbuhan signifikan, misalnya jasa keuangan (+22,0 % ), transportasi (+16,8 % ), dan pertambangan (+11,2 % ). Dengan demikian, diversifikasi ekonomi menjadi agenda penting; upaya pengembangan pariwisata halal dan investasi infrastruktur (seperti peningkatan aksesibilitas jalan dan pelabuhan) terus digalakkan untuk mendorong pertumbuhan baru.
Dari aspek ketenagakerjaan, ada perbaikan meski tantangan tersisa. Jumlah angkatan kerja Aceh meningkat menjadi 2,66 juta orang pada Agustus 2024, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) 65,11 % . Akibatnya, jumlah penduduk yang bekerja mencapai 2,50 juta, sementara pengangguran turun menjadi sekitar 153 ribu jiwa. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh kini sebesar 5,75 % (Agustus 2024), menurun dari 6,03 % setahun sebelumnya.
Penurunan pengangguran ini sejalan dengan perbaikan aktivitas ekonomi di triwulan-triwulan terakhir. Namun, masih terdapat disparitas antarwilayah; misalnya Lhokseumawe memiliki TPT tertinggi (~8,8 % ), sedangkan Bener Meriah terendah (~2,5 % ) pada 2022. Upaya penguatan keterampilan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru dalam industri lokal menjadi prioritas untuk menurunkan pengangguran lebih jauh.
Indikator kesejahteraan masyarakat yang lain menunjukkan kemajuan, namun masih perlu ditingkatkan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh terus naik menjadi 74,70 pada 2023, meningkat 0,59 poin (0,80 % ) dari tahun sebelumnya. Rata-rata pertumbuhan IPM Aceh selama 2020–2023 adalah +0,64 % per tahun. Prestasi ini menempatkan Aceh sedikit di atas rata-rata nasional (IPM Indonesia 2023 sekitar 74,4).
Namun demikian, BPS menyatakan peningkatan ini masih jauh dari merata; disparitas pembangunan manusia antar kabupaten/kota Aceh masih tinggi. Misalnya, Banda Aceh dan Lhokseumawe memiliki nilai IPM kategori sangat tinggi (>77), sedangkan banyak kabupaten masih berada di kisaran 68–72. Hal ini menunjukkan perlunya fokus pada peningkatan kualitas layanan publik di daerah pedalaman dan terpencil.
Sektor pendidikan dan pemberdayaan masyarakat menjadi fokus yang terabaikan dalam implementasi MoU Helsinki. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan sektor pendidikan, kualitas pendidikan di Aceh masih tertinggal. Infrastruktur pendidikan yang rusak pasca-konflik dan tsunami belum sepenuhnya diperbaiki, sementara anggaran untuk sektor ini sering kali terpotong atau dialihkan untuk proyek-proyek yang tidak mendesak.
Oleh karena itu, kualitas bidang pendidikan masih menjadi hambatan utama. Studi menunjukkan prestasi Aceh pada ujian nasional masuk perguruan tinggi (UTBK SBMPTN) jauh di bawah provinsi lain. Rata-rata nilai TPS lulusan Aceh masih rendah, mencerminkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang perlu perbaikan. Anggaran besar untuk bidang pendidikan (termasuk program beasiswa dan infrastruktur sekolah) belum sepenuhnya diikuti oleh hasil yang signifikan.
Begitu juga dengan sektor kesehatan, masalah gizi anak dan layanan medis masih mengkhawatirkan. Meskipun Pemerintah Aceh meningkatkan anggaran Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) hingga lebih dari Rp1 triliun pada 2021, fasilitas kesehatan di banyak daerah masih terbatas. Aceh menempati peringkat ketiga nasional untuk masalah stunting anak pada 2021, yang menunjukkan gizi buruk dan rendahnya akses pelayanan kesehatan. Ketersediaan dokter spesialis, perawat, dan sarana medis dasar di banyak rumah sakit kabupaten masih di bawah standar. Hal-hal ini mengindikasikan bahwa investasi di bidang pendidikan dan kesehatan harus lebih difokuskan pada peningkatan kualitas dan pemerataan layanan, bukan sekadar simbol anggaran besar.
Bukan hanya simbol
Apakah kekhususan Aceh sejauh ini mendorong pembangunan substansial? Secara finansial, Aceh memang mendapat “perlakuan istimewa” dari pusat. Sejak 2008 hingga 2023, Aceh menerima Dana Otonomi Khusus (Otsus) sekitar Rp95,93 triliun suatu jumlah yang sangat besar. Selama 15 tahun sejak 2008, Aceh mendapatkan alokasi DAU sebesar 2?ri total nasional, yang kini (mulai 2023) dikurangi menjadi 1 % hingga berakhirnya Otsus pada 2027. Dana-dana ini seharusnya membiayai pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Namun, analisis akademis mengkritik efektivitas pemanfaatan dana tersebut. Menurut penelitian, meskipun dana Otsus dikeluarkan besar, pengalokasiannya belum mampu mengurangi kemiskinan secara signifikan maupun meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan secara substansial. Contohnya, saat BPS pada 2021 menyatakan Aceh sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatra (15,33 % penduduk miskin), hal ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap target dan pelaksanaan program Otsus.
Penelitian menyebut korupsi, lemahnya perencanaan, koordinasi antar daerah, dan perubahan regulasi yang sering terjadi sebagai penyebab dana Otsus tidak efektif mencapai sasaran. Selama kurun waktu 2017 hingga semester I 2018, tercatat total kerugian negara akibat korupsi di Aceh mencapai 349,9 miliar rupiah. Jumlah ini setara dengan 4.374 unit rumah sederhana untuk warga miskin.
Dalam praktiknya, banyak inisiatif pemerintah daerah yang masih bersifat simbolik. Misalnya, penegakan syariat Islam dan promosi pariwisata halal memang menegaskan identitas Aceh, tetapi capaian riil dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan manusia perlu lebih diutamakan. Data juga menunjukkan bahwa Aceh masih masuk kategori provinsi termiskin Sumatra dengan persentase penduduk miskin sekitar 14–15 % , meski ada tren penurunan tipis. Juga, meski IPM meningkat, Aceh belum mencapai tingkat ketahanan masyarakat seperti di provinsi dengan IPM tertinggi (di atas 80).
Secara keseluruhan, Aceh perlu menggeser fokus dari retorika identitas semata ke strategi pembangunan berbasis data dan hasil nyata. Pemerintah Aceh kini tampak menyadari hal ini dengan menekankan program yang “diukur melalui data BPS”. Misalnya, peningkatan infrastruktur (jalan, bandara, pelabuhan) terus dilakukan untuk membuka akses ekonomi. Investasi di SDM melalui pelatihan tenaga kerja dan peningkatan kualitas guru/dokter juga menjadi agenda.
Ke depan, upaya transformasi menuju pembangunan substansial harus terus didorong oleh indikator terukur seperti pertumbuhan ekonomi yang inklusif, IPM dan rata-rata lama sekolah yang meningkat, turunnya angka kemiskinan dan pengangguran, serta kualitas pelayanan publik yang dapat diakses merata di seluruh kabupaten/kota. Dengan pendekatan seperti ini, diharapkan “istimewanya Aceh” benar-benar memberi dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, bukan hanya simbol formalitas.