Memasuki tahun 2007, barulah terjadi konflik manusia dengan buaya.
Sejak saat itu, korban serangan buaya terus berjatuhan.
Pencari pucuk nipah tak pernah berkonflik dengan buaya.
Baca juga: 6 Meninggal & 7 Luka-luka, Korban Konflik Manusia vs Buaya di Aceh Singkil Sepanjang 2007-2025
Kendati hamparan tumbuhan nipah merupakan habitat buaya.
Pencari pucuk nipah, berada di daratan.
Sehingga mudah menghindar ketika tepergok buaya.
Sebaliknya pencari lokan, udang, dan pakan ternak, harus masuk ke sungai.
Hal itu membuatnya sulit mendeteksi kehadiran buaya.
Tumpang tindihnya ruang hidup atau habitat buaya dengan lokasi warga mencari nafkah menjadi salah satu pemicu konflik buaya versus manusia.
Baca juga: Konflik Berkepanjangan Manusia vs Buaya di Aceh Singkil, Belasan Korban Berjatuhan
Sungai dan laut di Kabupaten Aceh Singkil, beberapa di antaranya diketahui sejak lama merupakan habitat alami buaya.
Belakangan terjadi perluasan wilayah aktivitas nelayan laut dan sungai.
Kondisi itulah menyebabkan tumpang tindih dengan habitat buaya, sehingga menumbuhkan potensi konflik.
"Akibat tumpang tindih ruang hidup atau habitat," kata Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil, Saiful Umar mengungkapkan salah satu faktor penyebab konflik manusia dengan buaya.
Mesti ada solusi agar warga tetap bisa mendapatkan nafkah tanpa harus bersinggungan dengan hewan predator.
Warga secara individu ada yang memulainya dengan membuka paket wisata petualangan melihat buaya di alam liar.