Opini

Arah Pembangunan Subulussalam ala Rasyid Bancin: Menjemput Sejahtera di Bawah Naungan Syariat

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Apridar Menyerahkan Buku ke-40 Model PRITIA sebagai konsep pembangunan Aceh.

Oleh: Prof Dr Apridar SE M Si*)

SUARA rakyat Subulussalam telah berbicara. H. M. Rasyid Bancin kembali dipercaya untuk memegang amanah sebagai Wali Kota untuk periode 2025-2030. Kemenangan ini bukan sekadar euforia politik sesaat, melainkan sebuah mandat besar untuk mewujudkan janji yang terpatri dalam visinya: “Mewujudkan Kota Subulussalam yang Sejahtera, Aman, dan Islami.”

Visi tersebut, meski terdengar familiar di telinga, mengandung lapisan makna dan tantangan yang sangat dalam. Ia bukanlah tiga pilar yang berdiri sendiri, melainkan sebuah tritunggal yang saling menguatkan. Kesejahteraan yang ingin dicapai adalah kesejahteraan yang berlandaskan keamanan, dan keduanya dijiwai oleh nilai-nilai keislaman yang menjadi identitas kolektif masyarakat Kota Subulussalam. 

Pertanyaannya, seperti apa wajah pembangunan yang diusung Rasyid Bancin untuk mewujudkan trilogi ambisius ini?

Memaknai Islami dalam Tata Kelola

Pertama, kita harus jernih memaknai kata “Islami”. Dalam konteks pembangunan, Islami seringkali terjebak pada simbol-simbol eksternal. Namun, dari misi yang dicanangkan, terlihat bahwa Rasyid Bancin berusaha menerjemahkannya lebih substantif. Pelaksanaan syariat Islam tidak boleh berhenti pada ranah privat dan simbolis semata, tetapi harus menjadi etos dalam mengelola pemerintahan dan membangun kota.

Konsep bijak yang berarti membangun infrastruktur dengan prinsip keadilan dan pemerataan, sehingga tidak ada satu wilayah pun yang tertinggal. Ini berarti mengelola anggaran dengan prinsip amanah dan transparansi, memerangi korupsi sebagai perbuatan yang jelas-jelas haram. 

Ini berarti setiap kebijakan harus diuji dengan nilai-nilai kejujuran (shiddiq), keterpercayaan (amanah), komunikatif (tabligh), dan kecerdasan (fathanah). Sebuah kota yang Islami adalah kota dimana warganya tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga merasakan keadilan sosial, mudah mengakses layanan publik, dan dilindungi hak-haknya. 

Inilah fondasi yang akan menciptakan keamanan yang hakiki, bukan hanya aman dari kriminalitas, tetapi aman dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Membangun Manusia Subulussalam yang Unggul

Misi peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan adalah jantung dari pembangunan manusia. Kesejahteraan mustahil dicapai jika sumber daya manusianya lemah secara intelektual dan fisik. 

Dalam pendidikan, tantangannya adalah melampaui sekadar pembangunan gedung sekolah. Arahnya harus pada peningkatan kualitas guru, kurikulum yang integrative, menggabungkan ilmu umum dan agama secara harmonis  serta perluasan akses pendidikan tinggi dan kejuruan yang relevan dengan potensi lokal.

Pendidikan vokasi yang berkualitas, misalnya, akan menyiapkan tenaga-tenaga terampil untuk sektor perkebunan, perikanan, dan pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi Subulussalam. Ini adalah investasi jangka panjang untuk memutus mata rantai kemiskinan.

Di sektor kesehatan, fokus harus pada penguatan layanan dasar di puskesmas dan posyandu, penurunan angka stunting, serta promosi hidup sehat yang juga bagian dari ajaran Islam. 

Warga yang sehat secara fisik dan mental adalah prasyarat untuk bisa bekerja secara produktif dan beribadah dengan khusyuk. Dengan memperkuat dua sektor ini, Rasyid Bancin pada dasarnya sedang menyiapkan “modal manusia” yang akan menjadi pelaku utama pembangunan dan penikmat kesejahteraan di masa depan.

Mendorong Ekonomi Kerakyatan: Dari Bawah ke Atas

Misi peningkatan ekonomi kerakyatan patut diapresiasi karena menempatkan warga sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan. Model ekonomi trickle-down effect (menetes ke bawah) yang sentralistik seringkali gagal. Rasyid Bancin tampaknya ingin membalik logika itu dengan membangun dari bawah (grassroot).

Potensi Subulussalam dalam sektor perkebunan (karet, kelapa sawit), perikanan, dan hasil hutan bukanlah rahasia lagi. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan nilai tambahnya. Daripada hanya menjual bahan mentah, pembangunan harus diarahkan untuk mendukung industri pengolahan skala kecil dan menengah (IKM). Misalnya, mendukung petani karet untuk membuat produk olahan karet sederhana, atau nelayan untuk memiliki teknologi pengawetan ikan.

Pemerintah kota dapat berperan sebagai fasilitator dengan memberikan akses permodalan melalui KUR syariah, pelatihan manajemen dan pemasaran, serta membuka akses pasar yang lebih luas. Membangun pasar digital untuk produk-produk lokal Subulussalam bisa menjadi terobosan. 

Dengan menguatkan ekonomi di tingkat tapak, uang akan berputar lebih lama di dalam kota, yang pada akhirnya akan menggerakkan roda perekonomian secara lebih inklusif dan berkeadilan.

Infrastruktur dan Tata Kelola: Pengikat Seluruh Misi

Dua misi terakhir yaitu peningkatan tata kelola pemerintahan dan pembangunan infrastruktur yang merata merupakan pengikat dari semua misi sebelumnya. Infrastruktur adalah urat nadi ekonomi. Jalan yang baik menghubungkan petani ke pasar, listrik yang stabil mendukung industri kecil, dan internet yang cepat membuka akses pada informasi dan pasar global. 

Prinsip “merata” di sini krusial. Pembangunan tidak boleh lagi terpusat di wilayah tertentu. Daerah pinggiran dan pedesaan harus mendapat porsi yang sama untuk memastikan tidak ada kesenjangan baru yang lahir.

Sementara itu, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) adalah software-nya. Infrastruktur sehebat apapun akan sia-sia jika dikelola oleh birokrasi yang lamban, berbelit, dan koruptif. Modernisasi pelayanan publik melalui e-government, penerapan sistem pengadaan barang/jasa yang transparan, dan pemberian pelayanan yang pro-rakyat adalah wujud nyata dari misi ini. 

Birokrasi yang bersih dan efisien akan menciptakan lingkungan usaha yang sehat, mempermudah investasi, dan pada akhirnya mempercepat laju pembangunan. Konsep cerdas sejalan dengan Model PRITIA merupakan cara cerdas dalam membangun peradaban yang lebih baik di Negeri Syariah.

Tantangan dan Harapan Ke Depan

Jalan menuju Subulussalam yang Sejahtera, Aman, dan Islami tentu tidak landai. Tantangan anggaran, konsistensi implementasi, dan koordinasi antar dinas akan menjadi ujian berat. Butuh political will yang sangat kuat dari sang Wali Kota untuk memastikan seluruh jajarannya bergerak dalam koridor visi yang sama.

Rakyat Subulussalam telah memberikan kartu hijau. Kini, saatnya untuk bekerja. Arah pembangunan ala Rasyid Bancin telah digariskan dengan cukup jelas dan komprehensif, mencakup aspek spiritual, manusiawi, ekonomi, dan fisik. Ia menawarkan sebuah model pembangunan yang holistik dan berkarakter lokal (Model PRITIA).

Keberhasilan periode ini akan diukur bukan dari gemerlap proyek fisik semata, tetapi dari seberapa jauh kesejahteraan itu dirasakan oleh nelayan di Pantai Haloban, petani karet di Simpang Kiri, pedagang kecil di pusat kota, dan anak-anak yang bersekolah di pelosok Kampung Badar. Jika seluruh misi ini dijalankan dengan konsisten, integritas, dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat, maka Subulussalam tidak hanya akan menjadi contoh kota Islami di Aceh, tetapi menjadi contoh kota yang berhasil memadukan kemodernan dengan kearifan lokal dan spiritualnya. 

Semoga Allah meridhai Langkah bijak dan cerdas pemimpin masadepan Rakyat Subulussalam, amin.  

*) PENULIS Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

 

 

Berita Terkini