Opini

Masa Depan Aceh di Pundak Gen-Z dan Alpha 

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Zulkarnaini Masry, 10 tahun menjadi jurnalis di Harian Kompas, kini mengasuh media startup digital Bisnisia.id. Warga Aceh Utara, korban konflik yang kini menetap di Aceh Besar.

Oleh: Zulkarnaini Masry*)

KONFLIK Aceh panjang sejak era kolonial, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah membuat Aceh tertinggal jauh dibandingkan provinsi lain. 
 
Konflik berdampak pada banyak sektor kehidupan, seperti terhambatnya pembangunan infrastruktur, buruknya pengembangan pendidikan, lemahnya pelayanan kesehatan, hingga terhambatnya investasi dan aktivitas ekonomi.

Semua dampak tersebut membuat pembangunan sumber daya manusia di Aceh berjalan lambat.
 
Selain kekerasan fisik dan pelanggaran hak asasi manusia, dampak sosial dan psikologis bagi rakyat Aceh tidak boleh dianggap sepele.

Dampak ini justru terbawa hingga waktu yang panjang dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan membentuk pola pikir, perilaku, dan bahkan arah kepemimpinan di masa damai.
 
Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan klasifikasi kelompok generasi Aceh yang merasakan dampak dari konflik era Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Setiap generasi memiliki pengalaman hidup yang berbeda, tetapi saling memengaruhi. Pengalaman hidup generasi sebelumnya ikut menentukan kualitas hidup generasi selanjutnya.
 
Saya membagi tiga kelompok generasi, yakni: generasi lahir 1960–1970-an, lahir 1980–1990-an, dan generasi yang lahir pascaperdamaian 2005 - sekarang.
 
Generasi 1960–1970-an: Pejuang dan Korban
 
Ketika Hasan Tiro dan rekan-rekan mendeklarasikan GAM di Gunung Halimon, Pidie, pada 1976, konflik belum memanas. Anggota GAM masih sedikit dan belum ada perang terbuka.

Baca juga: Gubernur dan Wagub Ikuti Zikir Peringatan 20 Tahun Damai Aceh di Masjid Raya Baiturrahman

 Masyarakat masih beraktivitas relatif normal karena belum terjadi operasi militer besar-besaran.
 
Namun, generasi yang lahir pada 1960–1970-an inilah yang kelak menjadi tulang punggung perjuangan bersenjata.

Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi tokoh penting, seperti Syech Muharram (1975) bupati Aceh besar, Ismail A. Jalil (1979) bupati Aceh Utara, dan Sarjani Abdullah (1970) bupati Pidie.
 
Kehidupan generasi ini sangat keras karena saat mereka beranjak dewasa, konflik kian memanas. Mereka menjadi sasaran kaderisasi GAM dan mereka juga kelompok sasaran kekerasan oleh aparat.

Generasi yang lahir pada periode ini tumbuh di tengah tekanan ekonomi yang berat dan ancaman keselamatan yang selalu membayangi. 
 
Hanya sedikit dari kelompok ini yang sempat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, karena panggilan untuk bergabung dengan gerilyawan lebih nyaring terdengar.

Umumnya, hanya keluarga yang mapan secara ekonomi yang mampu membiayai pendidikan tinggi. Bahkan, sebagian yang kuliah pun tetap terlibat dalam perjuangan GAM, seperti Kautsar Muhammad Yus (lahir 1977) dan Muhammad MTA (lahir 1979).
 
Generasi 1980–1990-an: Generasi Terluka
 
Mereka yang lahir di awal 1980-an sebagian bergabung dengan GAM, umumnya ketika duduk di bangku sekolah menengah atas. Bisa dikatakan, inilah generasi terakhir yang menjadi kombatan GAM.

Sementara itu, mereka yang lahir pada 1990-an masih berusia remaja awal ketika konflik mencapai puncaknya.
 
Generasi inilah yang paling merasakan dampak konflik. Saat masa kanak-kanak dan remaja—fase emas pembentukan karakter—mereka menghadapi puncak kekerasan, terutama saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) 1989–1998.

Dunia mereka dipenuhi suara tembakan, sekolah yang terbakar dan ayah yang jarang di rumah atau bahkan hilang. Ruang bermain hilang, kasih sayang terputus, dan banyak yang menjadi yatim.
 
15 Agustus 2005, GAM dan Pemerintah RI berdamai. Akan tetapi, perdamaian itu tidak serta-merta memulihkan luka generasi ini.

Mereka memasuki usia dewasa dengan warisan pahit: masa kecil yang direbut dentuman senjata, kesempatan belajar yang sempit, serta kehilangan orang-orang tercinta.

Akibatnya, mereka tumbuh rapuh, kalah bersaing, dan tertinggal jauh dari rekan sebaya di provinsi lain. 
 
Damai memang memberi mereka panggung, tetapi tanpa bekal emosional, pengetahuan, dan keterampilan, panggung itu justru terasa seperti arena pertarungan yang timpang.
 
Menariknya, generasi inilah yang kini menduduki panggung kepemimpinan Aceh di berbagai level.

Mereka menjadi bupati atau wali kota, duduk di kursi legislatif, memimpin bidang strategis di dinas, menjabat kepala sekolah, berdakwah sebagai ustaz, membangun usaha, hingga menggerakkan organisasi kemasyarakatan.

Namun, kualitas kepemimpinan mereka tak bisa dilepaskan dari kualitas hidup yang dibentuk di masa konflik.
 
Minimnya akses pendidikan yang layak, trauma psikologis, dan terbatasnya interaksi dengan dunia luar di masa lalu menciptakan tantangan serius: banyak yang berpikir dalam kerangka bertahan hidup, bukan membangun visi jangka panjang.

Halaman
12

Berita Terkini