Bagi generasi muda, terutama yang usia balita saat konflik atau yang lahir diatas tahun 2005 akan sulit membayangkan bagaimana konflik Aceh. Sehingga menceritakan kepada mereka apa yang terjadi, betapa buruknya keadaan masyarakat pada saat konflik akan membantu membangun kesadaran sejarah konflik di Aceh. Ini juga yang sedang dilakukan oleh KKR Aceh dengan menghimpun pernyatan korban maupun pelaku pada saat konflik yang sudah diterbitkan dalam sejumlah laporan (lihat buku Peurala Damee).
Ini bertujuan untuk mencatat sejarah, bukan membuka luka lama dan berpotensi muncul konflik kembali, namun menceritakan luka dan menggambarkan betapa tercerabutnya kemanusiaan saat itu pada generasi muda agar mereka tidak mengulangi hal yang sama dan melihat perdamaian di Aceh sebagai anugerah yang harus disyukuri dan dijaga.
Atas dasar itu menempatkan generasi muda pada garda terdepan dalam merayakan perdamaian Aceh menjadi penting. Sebab ditangan mereka perdamaian ini akan bergantung, sehingga melibatkan orang muda dalam menikmati dan merayakan damai dapat membantu mereka untuk terhindar dari kekerasan dan godaan untuk mengangkat senjata.
Mengutip pernyataan Fauzan Azima, “pada masa konflik orang yang paling bijaksana sekalipun berpeluang melakukan kesalahan” sehingga menurut Fauzan perdamaian adalah tugas panjang seluruh masyarakat Aceh. Setelah 15 Agustus 2005 meminta maaf wajib dilakukan dan memberikan kemaafan sedikit banyak dapat membantu kita untuk sembuh bersama dan secara tegas menolak segala bentuk kekerasan. Terus membicarakan damai dan anti kekerasan juga dapat membantu generasi muda dimasa mendatang memperjuangkan hak hak mereka melalui jalur budaya (non kekerasan).
Semoga perdamaian ini abadi.